Selasa, 12 Juli 2011

hukum laut

I. Sejarah lahirnya Konsep Hukum Laut Wilayah dan Laut Bebas

Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum menimbulkan persoalan perlintasan laut, karena kekuatan Romawi sebagai kekuasaan kekaisaran (imperium) masih menguasai Laut Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi pada waktu itu.

Tujuan penguasaan laut oleh kekaisaran Romawi adalah agar semua manusia dapat menfaatkan laut tanpa ada ancaman dari bajak laut. Konsep ini disebut “Res Communis omnium” atau hak bersama seluruh umat manusia. Kemudian konsep ini berkembang menjadi anggapan, bahwa laut tidak ada yang memiliki atau dikenal dengan istilah “Res Nullius”. Dari sinilah lahir istilah Laut bebas dari penguasaan negara.

Pada masa abad pertengahan imperium Romawi runtuh, maka bermunculanlah negara-negara yang menuntut sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain Venetia mengklaim Laut Adriatik, Genoa mengklaim laut Liguria dan Pisa mengklaim laut Thyrrhenia. Klaim negara-negara ini menimbulkan keadaan yang menyebabkan laut tidak lagi menjadi milik bersama, sehingga diperlukan peraturan untuk menjelaskan kedudukan hak-hak atas laut menurut hukum.

Pada masa abad pertengahan ini, timbul teori-teori, konsep-konsep, doktrin tentang penguasaan laut, antara lain :

1. Teori Bartolus yang membagi laut menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

- Laut Wilayah, yaitu laut yang berada pada kekuasaan kedaulatan negara pantai.

- Laut Lepas, yaitu laut bebas dari kekuasaan negara manapun.

2. Konsep Baldus yang membagi laut atas 3 (tiga) penguasaan, yaitu :

- Pemilikan laut

- Pemakaian laut

- Yurisdiksi laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.

3. Doktrin Laut Tertutup ( Mare Clausum ) dan Laut Bebas ( Mare Liberum )

a. Grotius ( 1609 ) mengemukakan, bahwa

- Doktrin Mare Liberum berdasarkan asas kebebasan laut ( freedom of the seas ). Hal ini dimaksudkan untuk

menyangkal politik Portugal dan Spanyol yang melarang negara lain berlayar ke Timur jauh. Padahal laut harus terbuka

bagi siapapun karena tidak ada yang memiliki. Laut harus bebas digunakan untuk berlayar ( freedom of navigation ) dan

bebas untuk menangkap ikan.

- Doktrin Mare Clausum merupakan doktrin yang dianut oleh kerajaan-kerajaan Portugal, Spanyol, Denmark dan

Inggeris yang menganggap bahwa laut sebagai miliknya, sehingga laut tertutup untuk pihak lain (dominio maris).

b. Pontanus mengajukan teori kompromi dari kedua doktrin tersebut, yang kemudian dikenal dalam hukum laut modern

sebagai Laut Teritorial dan Laut Lepas, yaitu:

- Laut yang berdekatan dengan pantai merupakan laut kedaulatan negara pantai tersebut atau disebut laut territorial

- Laut yan jauh dari pantai suatu negara adalah laut bebas

Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah berapa lebar laut territorial yang dapat dikuasai oleh negara pantai. Pada

permulaan sejarah hukum laut dikenal 3 (tiga) cara penetapan lebar Laut Teritorial, yaitu :

- Ukuran tembakan meriam

- Ukuran pandangan mata

- Ukuran “marine league”


4. Konsep Jarak Tembakan Meriam dan penentuan 3 mil Laut

Teori jarak tembak meriam yang banyak dibicarakan orang, teori ini mengira, bahwa lebar laut teritorial sejauh 3 mil adalah sama dengan ukuran tembakan meriam, walaupun ada juga sarjana yang membedakan antara keduanya. Pada abad ke 19 dan 20 konsep lebar laut territorial yang beralaku secara umum adalah 3 mil atau sama dengan tembakan meriam. Dan di luar dari itu termasuk laut lepas atau laut bebas. Untuk kepastian hukum laut, beberapa negara telah mengadakan konprensi kodifikasi Hukum Laut di Den Haag pada tahun 1930.


II. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum Laut

A. Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930

Salah satu masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah perairan teritorial (territorial water).

Walaupun di dalam konferensi ini belum diperoleh kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian,

sudah ada rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah laut,.

Konferensi ini menetapkan :

1. wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi ruang udara di atas laut

territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus batasan ruang

udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa

negara tersebut.

2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang jangkar,

mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of

innoucense)

3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing

4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggarB. Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945)

a) Sesudah perang dunia kedua, ada 2 (dua ) hal yang dipermasalahkan, yaitu

1. Proklamasi Presiden Amerika Serikat tahun 1945 (Truman), menyatakan

Continental self (landas continental) menjadi bagian wilayah laut negara yang bersangkutan. Tujuannya untuk

mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan

dan gas bumi) Kontinental self dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk

mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan

wilayah ini tidak untuk mengganggu pelayaran bebas melalui perairan di atasnya yang tetap sebagai status laut lepas.

Dengan adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman ini , walaupun dianggap tindakan sepihak Amerika Serikat,

tetapi membawa akibat yang besar atas perkembangan hukum laut internasional, karena banyak diikuti oleh negara-

negara lain. Proklamasi Truman ini mendorong untuk diadakannya konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna

menentukan batas-batas dan isi yang pasti dari continental shelf .


(Gambar 1)


2. Perikanan

Walaupun Perikanan tidak sepenting dengan continental self, tetapi dari sudut adanya kebebasan menagkap ikan di laut

lepas merupakan contoh pemanfaatan hak suatu negara menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya.

Suatu monument sejarah yang terjadi pada tahun 1951, yaitu sengketa antara Inggeris dan Norwegia tentang pemilikan

dan pemanfaatan laut. Norwegia menetapkan batas wilayah laut dengan cara straight baselines (garis pangkal lurus).

Inggeris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai keabsahan penetapan batas Perikanan exclusif yang

ditetapkan sepihak oleh Norwegia tahun 1935 sebagai hukum internasional. Gugatan Inggeris bukan lebar laut yang

ditetapkan Norwegia sepanjang 4 mil, tetapi cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar

pada pantai Norwegia (straight baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris dan

menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia dapat dibenarkan sebagai penetapan dari suatu

kaidah Hukum Internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus. Keputusan Mahkamah Internasional ini

menjadi salah satu sumber hukum internasional (yurisprodensi).


(Gambar 2)


b). Strategy Indonesia pada Bidang Hukum Laut

Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang membuat hukum laut secara sepihak melalui proklamasi Presiden Truman tentang

continental self (Gambar 1) dan Norwegia yang menetapkan straight baselines (Gambar 2), Indonesia setelah Perang Dunia

ke dua, yaitu tahun 1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 13

Desember 1957 tentang Hukum Laut. Hal ini dilakukan karena ketentuan peninggalan Belanda Kringen Ordonansi 1939

mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya sebagai negara kepulauan, karena masing-masing pulau mempunyai

laut sendiri yang disebut perairan Nusantara, sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas


Dengan demikian, pertimbangan deklarasi Djuanda adalah :

1. Bila diantara pulau-pulau terdapat laut bebas, maka Indonesia tidak dapat melakukan kedaulatannya secara penuh di

perairan Indonesia.

2. Dapat membahayakan integritas negara kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda, merupakan strategi Indonesia dan

mengandung 4 (empat) hal, yaitu :

1. Seluruh kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan dan laut antara pulau-pulau Indonesia dianggap perairan

pedalaman.

2. Lalulintas damai bagi Kapal asing dimungkinkan diperairan pedalaman (hak lintas damai = right of innocence passage),asal

tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah, mondar-mandir

3. Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil laut

4. Penentuan lebar laut wilayah diukur dari garis yang menghubungkan titik pulau-pulau terluar.

- Laut wilayah ----à laut yang terletak sebelah luar pulau

- laut perairan pedalaman adalah laut yang terletak sebelah dalam pulau-pulau


C. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958 (UNCLOS I)

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tanggal 21 Februari 1957 menyetujui untuk mengadakan konferensi

internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958. Konferensi ini akhirnya diadakan pada tanggal24 Februari sampai

dengan 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS atau United Nations

Convention on the Law of the Sea. Konferensi UNCLOS I 1958 melahirkan 4 (empat) buah konvensi, yaitu :

1. Konvensi tentang laut territorial dan jalur tambahan (convension on the territorial sea and contiguous zone). Hal ini belum

ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan pada UNCLOS II

2. Konvensi tentang Laut Lepas (convention on the high seas)

a. Kebebaan Pelayaran

b. Kebebasan menangkap ikan

c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa

d. Kebebasan Terbang di atas laut lepas

Konvensi ini telah mendapat persetujuan peserta konferensi.

3. Konvensi tentang Perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and convention

of the living resources of the high seas

4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental self)


D. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982

Pada tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960 diadakan konferensi UNCLOS II untuk membicarakan hal-hal yang belum

disepakati pada UNCLOS I. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut territorial dan zone tambahan Perikanan. Namun

konferensi ini masih mengalami kegagalan mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan lagi konferensi melalui UNCLOS III


Pada konferensi UNCLOS III ini akhirnya menghasilkan konvensi internasional tentang Hukum Laut yang disetujui di Montego

Bay, Jamaica (10 Desember 1982) dan ditanda tangani oleh 119 negara. Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar, Amerika

Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Canada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal

dan Republik Malagasi.


Setelah konferensi UNCLOS III, disetujui dan ditanda tangani oleh 119 negara, menghasilkan konvensi hukum laut III dan

dikodifikasi sebagai Hukum Laut Internasional. Dan Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi telah menanda

tangani konvensi tersebut dan termasuk 15 negara yang memiliki ZEE besar (zone ekonomi eksklusif), sehingga dalam hal ini,

perlu dipertegas batasan-batasan Hukum Laut Indonesia, sebagai berikut :

1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal (straight baseline) kepulauan Indonesia.

2. Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

3. Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut territorial Indonesia, sebagaimana

ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di

bawahnya, dan air di atasnya dengan bbatas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia.

4. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia,

dan perairan pedalaman Indonesia.

5. Landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan wilayah Republik Indonesia sasmpai

kedalaman 200meter atau lebi, dimana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi kekayaan alam.

hukum kontrak internasional

Hukum Kontrak Internasional


I. Pengertian :

Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara.


II. Dasar Hukum Kontrak Internasional

Yang menjadi dasar hukum untuk melakukan kontrak internasional Menurut Munir Fuadi sebagai berikut :

1). Provision contract

2). General contract

3). Specific contract

4). Kebiasaan Bisnis

5). Yurisprodensi

6). Kaidah Hukum Perdata International

7). International Convention, misalnya UNCITRAL, ICC


Ad 1. Kontrak Provisions :

a). Hal-hal yang diatur di dalam kontrak harus disepakati oleh para pihak, para pihak bebas menentukan isi kontrak yang dibuat di antara mereka ( freedom of contract ). Hal ini sesuai dengan pasal 1338 KUHPdt.

b). Para pihak bebas menentukan kepada siapa dia akan mengadakan perjanjian ( kontrak ) atau para pihak bebas menentukan lawan bisnisnya.


Ad 2. General Contract Law

Menurut Buku III Tentang Perikatan.

Perikatan bersumber dari :

a). Perjanjian : bernama dan tidak bernama.

b). Undang-undang


Ad 3. Specific contract

Hukum Kontract International selain mengatur ketentuan-ketentuan umum, juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenan dengan kontrak-kontrak tertentu, misalnya ketika kontrak Internasional dibuat dan diatur hukum Indonesia, maka berlakulah pasal-pasal KUHPdt. Bila masalah yang diperjanjikan menyangkut hal yang baru dan tidak ditemukan dalam pasal-pasal KUHPdt (termasuk perjanjian tidak bernama), maka berlakulah asas kebebasan berkontrak.


Ad 4. Kebiasaan Bisnis

Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, dan hal ini juga terjadi pada hukum bisnis internasional dan kebiasaan bisnis ini dapat menjadi panduan dalam mengatur prestasi kontrak bisnis internasional dengan syarat :

a). Kebiasaan tersebut terjadi perulangan

b). Apa yang dilakukan berulang itu diterima sebagai hukum sehingga disebut hukum kebiasaan (accepted as law )


Ad 5. Yurisprodensi

Dasar hukum yurisprodensi jarang digunakan para pelaku bisnis internasional, karena mereka lebih menyukai lembaga Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Mereka tidak menyukai penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui Pengadilan karena berperkara melalui pengadilan terbuka untuk umum yang dapat merusak reputasi bisnis mereka.

Ad 6. Kaidah Hukum Perdata Internasional

Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lebih banyak digunakan, karena transaksi bisnis internasional melibatkan berbagai pihak dari berbagai negara. Bila terjadi sengketa bisnis yang tidak diatur dalam kontrak, maka digunakanlah kaidah-kaidah hukum perdata internasional yaitu Kaidah The most characteristic connection. Kaidah ini digunakan bilamana para pihak tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam kontrak, yaitu kaidah hukum negara bagi pihak yang memberikan prestasi yang paling karakteristik, misalnya eksportir dari Indonesia, importir dari Jepang, maka yang digunakan adalah hukum Indonesia.


Ad 7. International Convention

- UNCITRAL ( United Nation Convention International Trade Law ).

- ICC (International Chamber of Commercial): melahirkan Arbitrase misalnya di Indonesia BANI, Kadin


III. Teori Pengembangan Kaidah Hukum Kontrak Internasional.

Kaidah Hukum kontrak Internasional lebih banyak menggunakan kaidah hukum perdata internasional dan telah mengalami proses pengembangan yang dimulai dari Lex loci contractus, kemudian lex loci solutionis, dan the prover law of contract akhirnya menjadi the most characteristic connection.

1). Lex loci contracts disebut juga teori mail box, bahwa hukum yang berlaku bagi para pihak yang terikat dalam kontrak internasional yang tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam perjanjian/kontraknya adalah hukum tempat kontrak itu dibuat. Kesulitan terjadi kemudian, bila kontrak dibuat di beberapa tempat, dan dibuat melalui telpon, sehingga timbul teori k-2

2). Lex Loci Solutionis artinya hukum yang berlaku bagi para pihak yang terikat dalam suatu kontrak internasional yang tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam perjanjian/kontraknya adalah hukum tempat pelaksanaan kontrak. Kesulitan kemudian timbul dengan adanya doktrin offer and acceptance (Penawaran dan penerimaan). Kemudian timbul teori ke-3

3). The prover law of contract, apabila suatu kontrak yang dibuat dalam bahasa tertentu dan di dalam kontrak tersebut tidak tercantum klausula hukum yang digunakan, maka hukum yang digunakan adalah hukum negara yang menggunakan bahasa tersebut, misalnya kontrak dalam bahasa Indonesia, maka hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia. Kesulitan timbul juga bila kontrak dalam bahasa Inggeris, karena ada beberapa negara yang menggunakan bahasa Inggeris dan kemungkinan para pihak bukan berasal dari negara yang memakai bahasa Inggeris, maka timbullah teori-4.

4). The Most Characteristic connection

Sampai saat ini, teori ini dipakai bila suatu kontrak internasional tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan.


IV.Tahap-tahap Pembuatan Kontrak Internasional

Pembuatan kontrak Internasional melalui tahap-tahap Set up phase ( tahap penyusunan ), implementation/ Performance, dan emforcement (penegakkan).


A. Set up phase atau tahap penyusunan meliputi :

1). planning

- kepada siapa pelaku bisnis membuat hubungan dagang.

- apa yang dipersiapkan

- Objek kontrak

- Tidak semua negara dapat berbisnis dengan kita

2). Negosiation ;

- tawar-menawar

- apakah kontrak bisa dibuat/tidak

- ada kesulitan karena ada perbedaan :

a). legal system---substansinya

- Anglo Saxon ----à arbitrase

- Eropah Continental -àPengadilan

- Sistem Hukum Islam

b). Trade Practice : kebiasaan dagang/ performance.

c). Legal culture = kebiasaan hukum/ budaya hukum -à opini masyarakat terhadap hukum.

3). Documentations :

a). Penyusunan kontrak

b). Penyimpanan/dokumentasi

Kedua hal ini merupakan instrument hukum.


B. Implementtion/performance= pelaksanaan

Perjanjian merupakan sekumpulan janji dari para pihak mengenai hak dan kewajiban. Jika terjadi perbedaan antara

harapan dan pelaksanaan, maka diperlukan tahapan Enforcement.


C. Emforcement = Penegakan

Sengketa bisnis terjadi karena adanya pihak yang wanprestasi berupa :

- Tidak melaksanakan prestasi

- Melaksanakan tapi tidak semua

- Melaksanakan tapi terlambat


Di dalam kontrak internasional tercantum klausula penyelesaian sengketa melalui kesepakatan, apakah ditempuh cara :

- Litigasi = pengadilan

- Non litigaasi : arbitrase, negosiasi, konsialisi dan mediasi.


V. Arbitrase

a). Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada

perjanjian/kontrak tertulis yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa ( Undang-undang no 30 tahun 1999 ). Hanya

sengketa bisnis yang dapat diserahkan kepada Arbitrase yaitu sengketa yang memungkinkan dapat ditempuh jalan

damai. Putusan arbitrase bersifat final and binding atau terakhir dan mengikat. Di dalam kontrak harus diawali dengan

tertulis mengenai pilihan forum (choice of forum). Di Indonesia arbitrase diatur dalam Undang-undang no 30 tahun 1999.


Bentuk arbitrase ada 2 macam, yaitu :

1). Arbitrase institusional :

- arbitrase permanen

- arbitrase melembaga

2). Arbitrase ad hoc :

- sementara

- khusus

- valunter = sukarela


b). Bentuk perjanjian arbitrase ada 2 macam :

1). Factum de compromittendo, yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak, sebelum

adanya sengketa dan klausula dibuat/dicantumkan di dalam perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase selalu didahului

dengan perjanjian pokok, tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan, sehingga perjanjian arbitrase

disebut perjanjian assesori (perjanjian lanjutan/tambahan)

2). Kebalikan dari factum de compromittendo, yaitu Perjanjian arbitrase dibuat setelah terjadi sengketa.


VI. Kelabihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dari pada Pengadilan

Terdapat beberapa alasan sehingga pelaku bisnis negara-negara maju menyelesaikan sengketa bisnisnya melalui arbitrase,

yaitu :

1). Tidak terdapat badan peradilan internasional yang dapat mengadili sengketa-sengketa dagang internasional.

2). Penyelesaian sengketa arbitrase cepat dan murah. Sifat cepat dan murah berhubungan dengan proses dan prosedur

arbitrase yang cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan prosedur peradilan. Sifat ini sangat dibutuhkan

masyarakat bisnis yang bersifat efisien dan berorintasi pada profit

3). Dapat dihindari efek negative suatu publikasi.Hal ini sangat penting dengan sifat konfidentio daripada pertimbangan

arbitrase dalam memutuskan perkara. Tidak seluruh hal yang berkaitan dengan sengketa yang diputus adalah baik untuk

diketahui umum karena berkaitan dengan bonafiditas perusahaan. Pelaku bisnis enggan menyelesaikan sengketa bisnis

mereka melalui pengadilan, karena salah satu asas dalam berperkara melalui pengadilan adalah sidang terbuka untuk umum,

bila tidak terbuka untuk umum maka putusan pengadilan tidak sah. Pelaku bisnis tidak menyukai sengketa bisnis mereka

dipublikasikan,mereka selalu menjaga reputasinya. sehingga ditempuh cara penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga

arbitrase yang relative lebih tertutup.

4). Kekhawatiran terhadap kualitasa forum peradilan nasional. Pengusaha asing cenderung merasa unsafe (tidak aman)

menggunakan hukum nasional negara tertentu. Mareka merasa kurang paham dan kurang yakin terhadap perlindungan

hukum yang akan diperolehnya. Hal ini berhubungan dengan citra umum kwalitas hukum nasional suatu negara.

5). Pembebasan diri dari forum hakim nasional, dilakukan dengan menetapkan “arbitrase clause” dalam kontrak, yaitu klausula

tentang forum yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Melalui klausula ini para pihak menentukan bahwa jika

kelak timbul sengketa dari ikatan bisnis yang dibentuknya, akan menggunakan forum arbitrase luar negeri, seperti arbitrase

menurut ICC di Paris.

6). Pencegahan terjadinya “forum shopping” = forum penyelundupan = itikad buruk untuk mengalihkan persoalan. Hal ini

terjadi di pengadilan umum, sehingga harus berperkara melalui arbitrase

7). Pencegahan peradilan ganda terhadap kasus yang sama, hal ini sering timbul akibat perbedaan penafsiran para pihak.


=========================================00000===================================