Jumat, 24 Februari 2012

sanksi hukum

Sanksi Hukum
1.   Pendapat Para Pakar tentang Hukum dan Sanksi
Bila kita berbicara mengenai sanksi, maka perhatian kita memasuki ranah hukum positif. Hukum dan sanksi dapat diibaratkan dua sisi uang yang satu saling melengkapi. Hukum tanpa sanksi sangat sulit melakukan penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa norma sosial tanpa sanksi hanyalah moral, bukan hukum,  sebaliknya sanksi tanpa hukum dalam arti kaidah akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa.
Sanksi selalu terkait dengan norma hukum atau kaidah hukum dengan norma-norma lainnya, misalnya norma kesusilaan, norma agama atau kepercayaan, norma sopan santun (Zainuddin, 2008 : 43).  Dengan sanksilah maka dapat dibedakan antara norma hukum dengan norma lainnya  sebagaimana dikatakan oleh  Hans Kelsen berikut, bahwa 
Perbedaan mendasar antara hukum dan moral adalah : hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni sebuah tatanan norma yang berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial kepada perilaku yang sebaliknya; sedangkan moral merupakan tatanan sosial yang tidak memiliki sanksi semacam itu. Sanksi dari tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang sesuai norma dan ketidaksetujuan terhadap perilaku  yang bertentangan dengan norma, dan tidak ada tindakan paksa yang diterapkan sebagai sanksi, Kelsen ( 2007 : 71)

Selain norma hukum, terdapat norma sosial yang mengatur perilaku manusia terhadap sesamanya, yang biasa disebut ”moral” dan disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami dan menjelaskannya disebut ”etika”. Antara keadilan dan kepastian hukum tercakup hubungan moral dengan hukum positif. Bila keadilan merupakan dalil atau tujuan dari moral, maka kepastian hukum merupakan tujuan dari  hukum positif. Di mana tidak ada kepastian hukum, di situ tidak ada keadilan. Bila keadilan bersifat relatif, maka kepastian hukumlah yang menjadi kebenaran. norma adalah sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berprilaku dengan cara tertentu ( Kelsen, 2007 : 5)

Sebuah negara merupakan sebuah komunitas hukum yang berkeadilan. Bila keadilan sejati tidak ada, maka hukum juga tidak ada. Karena apa yang diperbuat oleh hukum, diperbuat pula oleh keadilan, dan apa yang dilakukan secara tidak adil, berarti terjadi pelanggaran hukum. ”Namun apakah keadilan itu?” Keadilan adalah kebaikan yang memberikan apa yang menjadi hak semua orang. Hukum merupakan tatanan pemaksa yang adil dan dibedakan dari tatanan pemaksa pada kalangan perampok lantaran isinya yang berkeadilan. ( Kelsen, 2007 : 55 ).

Darji Darmodiharjo mengutip Lyons (1995 :14) bahwa ”Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya”. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Kelsen (2007 : 78 ) bahwa ”norma hukum bisa dianggap valid sekalipun ia berlainan dengan tatanan moral.” Kemudian Darmodiharjo, mengutip John Austin ,  bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara yang menentukan apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan. Kekuasaan penguasa itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain kearah yang diinginkannya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu  (1)  perintah (command), (2) Sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty),dan (4) kedaulatan (sovereignty). ( Darmodiharjo,  2006 :114 )
Kaum positivisme termasuk Hart memandang hukum sebagai perintah dan menempatkan sanksi sebagai suatu yang melekat pada hukum, mengaitkan antara unsur paksaan dengan hierarki perintah secara formal. Mereka membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya karena pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi. (Marzuki,  2008 : 73).    
Hukum termasuk sollenskatagori atau sebagai keharusan, bukan seinskatagori atau sebagai kenyataan. Orang menaati hukum karena memang seharusnya ia menaati sebagai perintah negara. Melalaikan perintah akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan sanksi. Aliran hukum positif memberikan penegasan terhadap hukum yaitu bentuk hukum adalah undang-Undang, isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan, sistematisasi norma hukum menurut Hans Kelsen adalah hierarki norma hukum. Rasjidi, (2003:120-121)
Wirjono Prodjodikoro memberikan uraian terhadap hukum pidana, bahwa
...ada dua unsur pokok hukum pidana. Pertama, adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan (kaidah). Kedua, adanya sanksi (sanctie) atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana...norma-norma yang disertai sanksi pidana berada dalam salah satu atau lebih dari tiga bidang hukum, yaitu hukum perdata (privaatrecht, burgerlijk recht), hukum tatanegara (staatsrecht), dan atau hukum tata usaha negara (administratief recht). Prodjodikoro, (2009 : 13)

Menurut pandangan positivisme hukum dari John Austin yang mengajarkan bahwa apa yang disebut hukum adalah aturan yang dibuat oleh penguasa, suatu aturan tingkah laku yang tidak dibuat oleh ”penguasa formal” bukanlah hukum, dan pada masyarakat yang tidak mengenal organisasi formal tidak dikenal adanya hukum. ( Marzuki, 2008 : 49) 

Pendapat para ahli tersebut di atas mengatakan bahwa hukum adalah perintah negara melalui penguasa yang harus ditaati dan melekatkan sanksi pada hukum. Antara hukum dan sanksi seakan-akan tidak ada pemisahan, dapat diibaratkan sebuah mata uang logam, di mana sisi yang satu merupakan bagian dari sisi yang lain. Bila suatu norma hukum tidak memiliki sanksi, maka normanya hanya dapat dikategorikan sebagai norma moral.

2.      Subjek Hukum
Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari manusia atau natuurlijke persoon dan badan hukum atau rechtspersoon (Tutik, 2006:50-54).
Sanksi tidak terlepas dari subjek hukum dan objek hukum (perbuatan hukum). Objek hukum berupa perbuatan melawan hukum harus terlebih dahulu dirumuskan unsur-unsurnya dalam suatu undang-undang atau hukum tertulis  baru sanksi dapat diterapkan, bila tidak, sulit untuk mencapai kepastian hukum. Sanksi pun harus dituangkan ke dalam suatu rumusan undang-undang atau hukum tertulis demi menjaga pelanggaran hak-hak asasi setiap individu dari penguasa.
Di muka telah dipaparkan penjelasan para ahli bahwa sanksi merupakan syarat mutlak adanya bagi suatu hukum. Beranjak dari paradigma ini, kita akan berfokus pada 2 (dua) hal sebagai kunci pokok, yaitu perbuatan yang dilanggar (perbuatan melawan hukum) dan pelaku atau subjek hukum yang melakukan pelanggaran. Subjek hukum dapat berupa perseorangan (manusia atau natuurlijke persoon) dan dapat juga sebagai korporasi. Korporasi dapat berbadan hukum dan non-badan hukum. Badan Hukum terdiri atas Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Privat/perdata.

a.  Orang (natuurlijke persoon) sebagai subjek Hukum
Setiap orang atau natuurlijke persoon sejak lahir sampai dengan meninggalnya sebagai subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Zainuddin Ali mengatakan bahwa
Hukum berurusan dengan hak dan kewajiban...Hak dan kewajiban  mengandung pengertian pilihan. Seseorang yang mempunyai hak menurut hukum, ia diberi kekuasaan untuk mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta kepada pihak lain untuk menjalankan kewajiban tertentu. Di sini terlihat, bahwa tergantung kepada pemegang hak untuk menentukan apakah ia akan mewujudkan haknya itu, Zainuddin ( 2008 : 33)

Subjek hukum pendukung hak dan kewajiban, dapat melakukan tindakan hukum, kecuali orang yang belum dewasa atau belum sampai umur 18 tahun atau orang yang tidak sehat pikirannya atau berada di bawah pengampuan (Zainuddin, 2008 : 34).
Penulis tidak sependapat dengan Zainuddin Ali yang  mengatakan hak dan kewajiban mengandung pengertian pilihan. Bila yang dimaksud adalah hak, itu benar, tetapi bila kewajiban juga diberikan ruang pilihan, maka seseorang dapat menghindar untuk tidak memenuhi kewajibannya. 

b.  Badan Hukum Sebagai subjek Hukum
Subjek hukum atau subject van een recht, yaitu ”orang” yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, (Soejono Dirdjosisworo, 2008 : 128) 

Abu Ayyub Saleh mengutip kutipan Chidir Ali dari Saleh Djindang  menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri – suatu personifikasi. Ini berarti bahwa korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masingnya (Abu A.S, diktat 3, 2008 :17)
 
Badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana tidak sama halnya dengan ”manusia” (naturlijke persoon) sebagaimana yang dikatakan oleh  Dwidja Priyatno sebagai berikut :
Sistem pertanggungjawaban korporasi di Indonesia dewasa ini, tidak dikenal dalam hukum pidana umum atau tidak terdapat di dalam KUH Pidana. Hal ini dikarenakan KUH Pidana masih mempergunakan subjek tindak pidananya adalah ”orang” dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon)... secara tegas kebijakan legisasi tentang masalah pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Priyatno ( 2004:8-9)

Pengaturan pidana dan pemidanaan Badan Hukum sangat berbeda dengan ”manusia” sebagai subjek hukum, karena badan hukum tidak dapat dijatuhi pidana mati, penjara, tetapi dapat dijatuhi denda sebagai pidana pokok dan pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan. Sistem pertanggungjawaban badan hukum juga tidak diatur dalam KUHP yang berarti pelanggaran yang dilakukan oleh Badan Hukum tidak termasuk sebagai tindak pidana umum, tetapi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang khusus, misalnya perseroan terbatas diatur dalam undang-undang perseroran terbatas. Koperasi diatur dalam undang-undang no 25/1992. Perbankan diatur dalam Undang-undang no 7/1992 yang direvisi dengan undang-undang No 10/1998.  Sedangkan subjek hukum yang bukan badan hukum (korporasi non badan hukum), bila melakukan perbuatan melawan hukum, maka sanksi pidana dibebankan kepada pengurusnya sebagai subjek hukum.
Badan hukum memilki syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, seperti:
-       Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya
-       Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggota-anggotanya
Badan hukum juga memilki dasar-dasar yang diatur oleh hukum berlaku, misalnya
-       Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Bab III bagian ketiga Buku I KUHD (WvK).
-       Koperasi, diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 1992
-       Yayasan, (Yurisprodensi) dan sesuai dengan kebiasaan yang dibuat dalam akte notaris
-       Perbankan, diatur dalam Undang-undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
-       Bank Pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang mengatur pendiriannya.
-       Organisasi Partai Politik dan Golongan Karya diatur dengan Undang-undang No 3 Tahun 1975 yang telah diubah dengan Undang-undang No 3 Tahun 1985
-       Pemerintah Daerah Tingkat I, II dan Kecamatan diatur dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
-       Negara Indonesia diatur dengan konstitusi Undang-undang Dasar 1945.
Pelaku-pelaku atau subjek hukum ”orang” yang melakukan tindak pidana atau delik, dapat diancam sanksi pidana yang terdiri atas :
a.  pidana pokok;
-       pidana mati;
-       pidana penjara;
-       pidana kurungan;
-       pidana denda
-    pidana tutupan
b. pidana tambahan
-    pencabutan hak-hak tertentu;
-    perampasan barang-barang tertentu;
-    pengumuman putusan hakim. (Pasal 10 KUHP)
 3. Perbuatan Melawan Hukum (delik)
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yakni delictum, dalam bahasa Belanda delict. Delik diberi batasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Perbuatan yang dapat dihukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. 
Delik dibagi menjadi 2 (dua)  jenis, yang diuraikan sebagai berikut : Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, di sini rumusan dari perbuatan jelas. Misalnya Pasal 362 tentang pencurian. Adapun delik meteril adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan. Misalnya Pasal 338 tentang Pembunuhan (Leden Marpaung, 2008 : 8)

Delik yang dimaksud Leden Marpaung tersebut di atas adalah delik yang pelaku atau subjek untuk tindak pidana umum atau tindak pidana umum bagi  ”orang” sebagai natuurlijke persoon  karena di atur di dalam KUHP, sedangkan pelaku atau subjek hukumnya adalah korporasi di atur di luar KUHP atau undang-undang khusus.
Khusus korporasi, Abu Ayyub Saleh (Hakim Agung) telah menerangkan tentang perbuatan yang dapat dihukum, sebagai berikut :
...perbuatan yang dapat dihukum adalah seluruh perbuatan yang diancam hukuman oleh peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara tegas dan terang...untuk dapat menentukan sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi atau apakah korporasi telah melakukan tindak pidana, akan sangat bergantung pada peraturan perundang-undangan yang ada hari ini. Sehingga untuk perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dalam aktifitas kesehariannya yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas, jika belum diatur dan terumuskan dalam sebuah produk undang-undang, maka terhadap perbuatan tersebut tidak dapat dilakukan langkah-langkah yuridis...asas legalitas yang berbunyi ”nullum delictum, nulla poena sine praivea lege poenali” artinya peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu (Abu Ayyub Saleh, 2008 )

Abu Ayyub  Saleh (2008 : 2) mengutip kutipan Setiyono dari Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager bahwa ”Kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana”.

 . Sanksi administratif, berupa :

-       Pencabutan atau pembubaran seluruh atau sebagian fasilitas yang telah atau dapat diperoleh perusahaan, berupa pencabutan izin;
-       Tindakan Tata tertib, berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan;
-       Pembekuan operasional selama waktu tertentu.

.  Sanksi Perdata (ganti kerugian).
Sanksi pidana, yang dapat diterapkan dapat  berupa :
-       Pidana penjara. Untuk jenis ini hanya dapat dijatuhkan terhadap pengurus korporasi
-       Pidana denda
-       Pidana tambahan, berupa :
        - pencabutan hak-hak tertentu;
        - penyitaan benda-benda tertentu;
        - pengumuman putusan hakim.

4.   Ajaran Melawan Hukum
Ciri pertama, yang lazin dijumpai pada semua tatanan sosial yang diistilahkan sebagai “hukum” ialah bahwa semua tatanan itu merupakan tatanan perilaku manusia. Ciri kedua ialah bahwa semua tatanan itu merupakan tatanan pemaksa (Kelsen, 2007 : 37) . Penulis tidak sependapat dengan pernyataan ini karena saat ini tidak semua tatanan sosial yang disebut hukum itu selalu dapat menerapkan tindakan paksa sebagaimana halnya yang terjadi pada ajaran melawan hukum formil.
Dosen mata kuliah Tindak Pidana Umum Sitti Zubaedah, tanggal 26 Nopember 2011  mengajarkan “teori ajaran melawan hukum” yang terbagai atas 2 (dua) jenis, yaitu ajaran melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materil.
a.     Ajaran melawan Hukum Formil
Menurut Ajaran melawan hukum formil  (fungsi  negatif) mengatakan, jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh masyarakat yang diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, maka hukumnya tidak berlaku  contoh permainan tinju, menurut pasal  351 KUHP  tentang penganiayaan diancam dengan hukuman paling lama dua tahun delapan bulan, kalau luka berat  ancaman hukumannya maksimum lima tahun, sama juga dengan merusak kesehatan. Tapi kenyataannya, pasal KUHP ini tidak berlaku bagi permainan tinju, walaupun saling menyakiti badan/tubuh lawan (menganiaya), karena masyarakat menganggap wajar-wajar saja atau biasa-biasa saja dan dilakukan atas kehendak masing-masing. Leden Marpaung (2008 : 49) telah mengutip pendapat Bemmelen, yang menyatakan bahwa
Apabila seseorang telah bertindak sesuai dengan kepatutan, dalam arti orang tersebut telah bertindak sesuai dengan yang diharapkan orang darinya, tindakannya itu harus dianggap sebagai tidak onrechmatig, walaupun secara formil ia telah melakukan pelanggaran terhadap suatu ketentuan pidana menurut undang-undang. 

Demikian pula halnya, dengan cipika-cipiki seperti yang terjadi pada tamu-tamu yang datang pada pesta pernikahan anak presiden kita baru-baru ini, apakah melanggar kesusilaan atau tidak ? Norma agama islam yang mengatur hal ini mengatakan bahwa berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim adalah haram. Norma agama ini masih dipegang teguh sebagian besar anggota masyarakat pedesaan, namun berbeda halnya dengan sebagian masyarakat perkotaan yang modern dan intelek, tampaknya tindakan cipika-cipiki antara wanita dan laki-laki dianggap wajar-wajar saja atau biasa saja. Kalau dasarnya hanya norma agama, tidak dikenakan sanksi di dunia,  sanksinya dihari kemudian. Tetapi bila kita telusuri KUHP (hukum positif), ditemukan satu pasal, yaitu Pasal 281 yang isinya menyatakan,  bahwa
Diancam hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
1.  Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan.
2.  Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Permasalahannya apakah cipika-cipiki antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim di anggap oleh masyarakat Indonesia  melanggar kesusilaan. Kalau menurut pandangan agama islam yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia, jelas melanggar kesusilaan. Tetapi ini norma agama yang tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan sanksi pada pelaku. Tapi bila perbuatan cipika-cipiki antara perempuan dengan laki-laki di muka umum, termasuk yang diancam dengan pasal 281 KUHP tersebut di atas, maka menurut ajaran melawan hukum formil  (fungsi  negatif) mengatakan, jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, maka hukumnya tidak berlaku, seperti halnya permainan tinju.
Barang kali hal ini memerlukan suatu kajian khusus yang lebih mendalam, karena melanggar norma agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat  Indonesia dan norma hukum positif. Mungkin  berbeda  halnya kalau cipika-cipiki dilakukan dinegara Belanda khususnya atau Eropa pada umumnya. Yang penulis ingin katakan, bahwa bila dengan cipika-cipiki masyarakat menganggap biasa-biasa saja, maka Pasal 281 KUHP tidak berlaku dan inilah yang disebut ajaran melawan hukum formil.
Bila ajaran melawan hukum formil ini dirujuk ke dalam pelaksanaan Program DEP PEMP, di mana kelompok nelayan tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati dalam suatu perjanjian tertulis antara Koperasi Nelayan dengan ketua-ketua kelompok nelayan.Koperasi nelayan telah menuding Kelompok nelayan atau anggotanya telah melanggar perikatan karena perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap (legal capacity), Objek tertentu yang diperjanjikan dan causa yang halal. Menurut Koperasi Nelayan pengingkaran perjanjian yang telah disepakati berarti melanggar Undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata tentang adanya kebebasan berkontrak dan merupakan Undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Apabila anggota nelayan tidak memenuhi kewajibannya dengan alasan bahwa belakangan setelah perjanjian dibuat diketahui bahwa DEP PEMP 2006 adalah dana hibah dari APBN yang sebenarnya tidak perlu dikembalikan. Apakah Hal ini dapat menggugurkan kewajiban nelayan untuk memenuhi prestasinya terhadap koperasi nelayan? Ataukah karena alasan masyarakat pesisir yang sudah terbiasa mendapat bantuan dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan, sehingga bila mereka tidak memenuhi kewajiban yang sudah diperjanjikan di anggap biasa-biasa saja. Bila memang demikian, maka berlakulah ajaran melawan hukum formil (fungsi negatif)

b.     Ajaran melawan hukum materil (fungsi positif)
Menurut ajaran melawan hukum materil, bahwa bila suatu perbuatan tercela yang dilakukan melanggar norma-norma tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat, tetapi tidak diatur di dalam hukum positif atau hukum tertulis pada masyarakat tersebut, maka menurut Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-undang Darurat No 1 tahun 1951 Jo UU No 1/1962 bahwa jika suatu perbuatan menurut hukum yang hidup di dalam masyarakat, namun tiada bandingannya di dalam KUHP, maka terhadap perbuatan tersebut dapat diberikan hukuman 3 bulan penjara atau jika masyarakat dan keyakinan hakim menyatakan sebagai pelanggaran berat dapat dihukum setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun penjara. Hukuman tambahan bagi pelakunya, dikucilkan atau dicemoh oleh masyarakat, contoh hidup bersama tanpa ikatan nikah (kumpul kebo). Menurut norma agama hukumnya haram berkumpul dalam suatu kamar antara laki-laki dengan perempuan tanpa ikatan nikah dan bukan muhrim. Walaupun hal ini tidak diatur dalam hukum positif atau KUHP namun tetap dapat dipidanakan. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
Menurut hemat saya sebaiknya tidak secara mutlak dilarang atau diperbolehkan analogi dalam hukum pidana, tetapi harus pada tiap-tiap soal in concreto dilihat pada maksud dan tujuan sebenarnya dari pembentuk undang-undang mengenai soal khusus yang bersangkutan…sikap saya terhadap memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana sampai di luar undang-undang, jadi harus ditinjau soal-soal tertentu satu persatu, apakah analogi diperbolehkan atau tidak ( Wirjono Prodjodikoro, 2009 : 100).

Penulis sependapat dengan Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas, khusus untuk kesusilaan ( kumpul kebo) yang tidak diatur dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya. Kumpul kebo dianggap melanggar kesusilaan dan norma agama yang meresahkan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat  di analogkan melanggar kesusilaan yang diatur dalam pasal 281 ayat 1, bahwa “diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda…barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar “kesusilaan” atau dengan ancaman Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-undang No 1 tahun 51 jo UU No 1 tahun 1962 tersebut di atas.
            Kembali kita merujuk ajaran melawan hukum materil (fungsi positif) terhadap perjanjian yang dibuat antara Koperasi Nelayan dengan ketua-ketua kelompok nelayan. Di dalam Surat Keputusan Menteri No 18/Men/2004 tentang Pedoman Umum PEMP 2006 tidak dicantumkan sanksi bagi nelayan yang tidak memenuhi kewajibannya. Tetapi walaupun sanksi hukum tidak disebutkan di dalam Pedoman Umum tersebut, tetapi kelompok nelayan telah membuat perjanjian tertulis dengan Koperasi Nelayan berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak. Menurut penulis kelompok nelayan harus memenuhi prestasinya karena terikat dalam suatu perjanjian yang bila kita tidak penuhi apapun alasannya kita termasuk orang munafik. Apabila pendapat penulis benar, maka berlakulah ajaran hukum materil.
 
5.      Alasan Penghapus Tindak Pidana
Uraian tentang alasan penghapusan tindak pidana juga penting diperhatikan dalam suatu analisa hukum, karena walaupun semua unsur delik telah terpenuhi, belum tentu seseorang dapat dijatuhi hukuman. Alasan-alasan penghapus pidana yang tertulis atau  dikenal dalam KUHP adalah tindak mampu bertanggung jawab, pembelaan darurat , pembelaan darurat yang melampaui batas, daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan perintah jabatan yang sah” (J.E Sahetapy, 2007 : 128). Selanjutnya Sahetapy ( 2007: 142) juga mengatakan bahwa  “Pemisahan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf juga penting untuk penanganan eksepsi dalam hukum acara”.
a.  Alasan Pembenar meliputi
(1). Pembelaan  Terpaksa
Ketentuan pembelaan terpaksa diatur dalam KUHP Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana dengan rumusan sebagai berikut :
Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum
( Pasal 49 ayat 1 )

Wirjono Projodikoro (2009 : 93) memberikan tiga Contoh  tindakan yang dilakukan sebagai pembelaan diri secara terpaksa, pembelaan harta benda, pembelaan kesusilaan yang tidak melanggar hukum atau tidak wederrechtelijk, yaitu
- A mendekati B dengan memegang tongkat untuk memukul B dengan tongkat itu. B dapat menghindarkan diri dari pukulan itu dengan meloncat kesamping kemudian memukul balik kepada B agar si  A tidak memukulnya kembali. Perbuatan si B tidak bersifat melanggar hukum.
- A mencuri barang milik B. B melihat itu dan meminta kembali barangnya, tapi A tidak mau memberikan, sehingga B berusaha merebut kembali dan memukul A sehingga barangnya bisa kembali. Persoalannya apakah B dipersalahkan melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap A. Tindakan ini dianggap tidak bersifat melanggar hukum karena membela harta benda.
- Si A dengan telanjang bulat memasuki rumah B. Meskipun diusir dengan kata-kata,  si B tetap tidak memperdulikan. Kemudian si B memukul A, sehingga ia pergi.
(2). Peraturan Perundang-undangan
Di ataur dalam Pasal 50 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Seorang polisi dalam suatu penyelidikan menangkap seorang tersangka, ia
tidak dapat diancam hukuman sebagai merampas kemerdekaan seseorang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 333 KUHP yang berbunyi, bahwa  “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara..”. Perbuatan Polisi  itu tidak dapat dikatakan perbuatan pidana karena menjalankan perintah undang-undang. Perbuatan Polisi itu menyangkut dua pasal KUHP yang saling bertentangan, yaitu pasal 50 KUHP mengizinkan atau perintah unddang-undang, sedangkan Pasal 333 KUHP melarang karena merampas kemerdekaan seseorang. Hal ini berarti tindak pidana gugur, karena asas hukum mengatakan bahwa apabila ada dua undang-undang atau hukum yang dikenakan kepada seseorang berbeda, maka hukum yang dipilih adalah yang menguntungkan pelaku.
 Menurut Wirjono Projodikoro (2009 : 93) bahwa “perbuatan semacam ini sudah semestinya tidak bersifat melanggar hukum, jadi bukan wederrechtelijk, melainkan rechmatig. Dan, dengan demikian,  sudah semetinya perbuatan ini tidak merupakan tindak pidana”.
(3). Perintah Jabatan yang Sah
 Di atur dalam Pasal 51 KUHP yang berbunyi “ (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” Hal ini sama dengan penjelasan ketentuan yang diatur dalam pasal 50 KUHP tersebut di atas.
b.  Alasan Pemaaf
(1). Tindak Mampu Bertanggung Jawab
Seseorang tidak mampu bertanggung jawab karena cacat phisik atau karena penyakit melakukan perbuatan melawan hukum, maka ia tidak dipidana. Ketentuan ini diatur dalam KUHP bahwa
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana ( Pasal 44 ayat 1).

Perbuatannya tetap tercelah, hanya orangnya tidak dapat dihukum karena tidak mamupu bertanggungjawab atau karena adanya alasan pemaaf.

(2). Daya Paksa ( Pasal 48 )
Daya paksa atau overmacht diatur dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.  Seorang ahli hukum Indonesia yang terkenal memberikan penjelasan tentang pasal ini sebagai berikut : 
Barang siapa yang diancam oleh seseorang dengan sebuah pistol, menembak mati orang ketiga, apabila hal ini dibenarkan, dapat dianggap sebagai berbuat karena daya paksa. Ia tidak dipidana karena tunduknya pada ancaman tersebut karena diakui sebagai sesuatu yang dapat dimaafkan ( J.E Sahetapy, 2007 : 146)

(3). Pembelaan Darurat
Penjelasan tentang pembelaan darurat diuraikan secara jelas dalam bntuk contoh oleh salah seorang ahli hukum Indonesia, sebagai berikut :
dua orang yang bernama D dan E, bersama-sama memanjat gunung dengan menggunakan tali dadung yang dipegang oleh kedua orang itu, Pada suatu waktu terjadi keadaan bahwa si D hanya ada dua alternatif, yaitu melepaskan talinya dengan akibat bahwa si E jatuh ke dalam jurang, dan mungkin akan meninggal dunia, atau tatap memegang tali dengan kepastian bahwa keduanya akan jatuh ke dalam jurang. Bila si D melepaskan talinya dan si E jatuh ke dalam jurang dan meninggal, maka bisa dikatakan  bahwa si D berbuat terdorong oleh hal memaksa berupa keadaan gawat dan apabila ia tidak berbuat demikian, maka ia sendiri akan menghadapi bahaya maut. Maka, berdasarkan Pasal 48 KUHP ia tidak akan kena hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa perbuatan mereka menjadi halal. Perbuatan mereka tetap wederrechtelijk atau bersifat “melanggar hukum”. Hanya para pelaku dapat dimaafkan… (Wirjono Projodikoro, 2009 : 90)
 Pendapat ahli tersebut di atas memberikan kesan kepada kita bahwa tidak semua perbuatan melawan hukum dapat dihukum. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara terpaksa dan tidak ada pilihan lain kecuali melakukannya, maka perbuatan tersebut tidak dijatuhi hukuman karena keadaan darurat dan terpaksa, walaupun perbuatannya itu tetap melawan hukum ( wederrechtelijk ), tapi dimaafkan karena terpaksa dan dalam keadaan darurat.
(4). Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas
Di atur dalam Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan itu atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”. Penjelasan tentang keguncangan jiwa yang hebat yang menyebabkan tidak dipidananya seseorang dapat dilihat pada komentar berikut 
Gerak perasaan ini dapat berupa rasa ketakutan, rasa kebingungan, rasa marah, rasa jengkel,dan sebagainya yang semua mungkin timbul selaku akibat dari serangan terhadap dirinya, baik badan maupun kesusilaan ataupun barang miliknya sendiri atau milik orang lain…Perbuatannya tetap tidak halal, hanya orangnya tidak dapat dihukum…si pelaku dimaafkan karena perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya ( Wirjono Projodikoro, 2009 : 87)
(5). Perintah Jabatan yang tidak Sah Dipandang Sah
Pasal ini dirumuskan di dalam KUHP, sebagai berikut :
Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya ( Pasal 51 ayat 2 bahwa ).

Pasal ini menjadi perlindungan bagi pegawai yang melakukan tugas dalam lingkungan kerjanya, melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh orang bukan yang berwenang, namun ia dibebaskan dari hukuman  karena adanya itikad baik. Perbuatannya tetap melanggar hukum, namun ia dibebaskan karena adanya alasan pemaaf.
   
 
DAFTAR PUSTAKA


Abu Ayyub.Saleh. 2008. Kejahatan Korporasi. Diktat. tidak diterbitkan.Program Pasca- sarjana. UKI Paulus, Makassar

Agustinus.E.K. 2009. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. YLBHI dan PSHK. Jakarta.

Andi Hamzah. 2009. Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP. Sinar Grafika, Jakarta
Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Sinar Grafika. Jakarta

Baso Madiong. t.th. Sosiologi Hukum suatu pengantar. Lempen Univesitas 45. Makassar

Darji Darmodiharjo  dan  Shidarta.  2006.  Pokok-Pokok  Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Dwidja Priyatno. 2004. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia.CV. Utomo, Bandung

Hans Kelsen.1978. Pure Theory of Law. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. 2007. Teori Hukum Murni. Dasa-dasar Ilmu Hukum Normatif. Nusamedia & Nuansa, Bandung

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2006.Dasar-dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Mandar Maju, Bandung

Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media Corp, Jakarta
Soedjono Dirdjosisworo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakara

Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi hokum dalam Masyarakat. Rajawali, Jakarta.

Schaffmeister D, Keijer N & Sutorius E.PH.t.th. Hukum Pidana. Editor J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan.2007.Citra Aditya Bakti, Bandung

Titik TriwulanTutik.2006. Pengantar Ilmu Hukum. Prestasi Pustakaraya. Jakarta.

_________2008. Hukum Perdata dalam sistem Hukum Nasional.Kencana. Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro.2009. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.edisi ke-3. Refika Aditama, Bandung

Zainuddin Ali. 2008. Filsafat Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.