Selasa, 12 Juli 2011

hukum laut

I. Sejarah lahirnya Konsep Hukum Laut Wilayah dan Laut Bebas

Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum menimbulkan persoalan perlintasan laut, karena kekuatan Romawi sebagai kekuasaan kekaisaran (imperium) masih menguasai Laut Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi pada waktu itu.

Tujuan penguasaan laut oleh kekaisaran Romawi adalah agar semua manusia dapat menfaatkan laut tanpa ada ancaman dari bajak laut. Konsep ini disebut “Res Communis omnium” atau hak bersama seluruh umat manusia. Kemudian konsep ini berkembang menjadi anggapan, bahwa laut tidak ada yang memiliki atau dikenal dengan istilah “Res Nullius”. Dari sinilah lahir istilah Laut bebas dari penguasaan negara.

Pada masa abad pertengahan imperium Romawi runtuh, maka bermunculanlah negara-negara yang menuntut sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain Venetia mengklaim Laut Adriatik, Genoa mengklaim laut Liguria dan Pisa mengklaim laut Thyrrhenia. Klaim negara-negara ini menimbulkan keadaan yang menyebabkan laut tidak lagi menjadi milik bersama, sehingga diperlukan peraturan untuk menjelaskan kedudukan hak-hak atas laut menurut hukum.

Pada masa abad pertengahan ini, timbul teori-teori, konsep-konsep, doktrin tentang penguasaan laut, antara lain :

1. Teori Bartolus yang membagi laut menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

- Laut Wilayah, yaitu laut yang berada pada kekuasaan kedaulatan negara pantai.

- Laut Lepas, yaitu laut bebas dari kekuasaan negara manapun.

2. Konsep Baldus yang membagi laut atas 3 (tiga) penguasaan, yaitu :

- Pemilikan laut

- Pemakaian laut

- Yurisdiksi laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.

3. Doktrin Laut Tertutup ( Mare Clausum ) dan Laut Bebas ( Mare Liberum )

a. Grotius ( 1609 ) mengemukakan, bahwa

- Doktrin Mare Liberum berdasarkan asas kebebasan laut ( freedom of the seas ). Hal ini dimaksudkan untuk

menyangkal politik Portugal dan Spanyol yang melarang negara lain berlayar ke Timur jauh. Padahal laut harus terbuka

bagi siapapun karena tidak ada yang memiliki. Laut harus bebas digunakan untuk berlayar ( freedom of navigation ) dan

bebas untuk menangkap ikan.

- Doktrin Mare Clausum merupakan doktrin yang dianut oleh kerajaan-kerajaan Portugal, Spanyol, Denmark dan

Inggeris yang menganggap bahwa laut sebagai miliknya, sehingga laut tertutup untuk pihak lain (dominio maris).

b. Pontanus mengajukan teori kompromi dari kedua doktrin tersebut, yang kemudian dikenal dalam hukum laut modern

sebagai Laut Teritorial dan Laut Lepas, yaitu:

- Laut yang berdekatan dengan pantai merupakan laut kedaulatan negara pantai tersebut atau disebut laut territorial

- Laut yan jauh dari pantai suatu negara adalah laut bebas

Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah berapa lebar laut territorial yang dapat dikuasai oleh negara pantai. Pada

permulaan sejarah hukum laut dikenal 3 (tiga) cara penetapan lebar Laut Teritorial, yaitu :

- Ukuran tembakan meriam

- Ukuran pandangan mata

- Ukuran “marine league”


4. Konsep Jarak Tembakan Meriam dan penentuan 3 mil Laut

Teori jarak tembak meriam yang banyak dibicarakan orang, teori ini mengira, bahwa lebar laut teritorial sejauh 3 mil adalah sama dengan ukuran tembakan meriam, walaupun ada juga sarjana yang membedakan antara keduanya. Pada abad ke 19 dan 20 konsep lebar laut territorial yang beralaku secara umum adalah 3 mil atau sama dengan tembakan meriam. Dan di luar dari itu termasuk laut lepas atau laut bebas. Untuk kepastian hukum laut, beberapa negara telah mengadakan konprensi kodifikasi Hukum Laut di Den Haag pada tahun 1930.


II. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum Laut

A. Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930

Salah satu masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah perairan teritorial (territorial water).

Walaupun di dalam konferensi ini belum diperoleh kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian,

sudah ada rekaman hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah laut,.

Konferensi ini menetapkan :

1. wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi ruang udara di atas laut

territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus batasan ruang

udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa

negara tersebut.

2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang jangkar,

mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of

innoucense)

3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing

4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggarB. Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945)

a) Sesudah perang dunia kedua, ada 2 (dua ) hal yang dipermasalahkan, yaitu

1. Proklamasi Presiden Amerika Serikat tahun 1945 (Truman), menyatakan

Continental self (landas continental) menjadi bagian wilayah laut negara yang bersangkutan. Tujuannya untuk

mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan

dan gas bumi) Kontinental self dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk

mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan

wilayah ini tidak untuk mengganggu pelayaran bebas melalui perairan di atasnya yang tetap sebagai status laut lepas.

Dengan adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman ini , walaupun dianggap tindakan sepihak Amerika Serikat,

tetapi membawa akibat yang besar atas perkembangan hukum laut internasional, karena banyak diikuti oleh negara-

negara lain. Proklamasi Truman ini mendorong untuk diadakannya konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna

menentukan batas-batas dan isi yang pasti dari continental shelf .


(Gambar 1)


2. Perikanan

Walaupun Perikanan tidak sepenting dengan continental self, tetapi dari sudut adanya kebebasan menagkap ikan di laut

lepas merupakan contoh pemanfaatan hak suatu negara menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya.

Suatu monument sejarah yang terjadi pada tahun 1951, yaitu sengketa antara Inggeris dan Norwegia tentang pemilikan

dan pemanfaatan laut. Norwegia menetapkan batas wilayah laut dengan cara straight baselines (garis pangkal lurus).

Inggeris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai keabsahan penetapan batas Perikanan exclusif yang

ditetapkan sepihak oleh Norwegia tahun 1935 sebagai hukum internasional. Gugatan Inggeris bukan lebar laut yang

ditetapkan Norwegia sepanjang 4 mil, tetapi cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar

pada pantai Norwegia (straight baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris dan

menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia dapat dibenarkan sebagai penetapan dari suatu

kaidah Hukum Internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus. Keputusan Mahkamah Internasional ini

menjadi salah satu sumber hukum internasional (yurisprodensi).


(Gambar 2)


b). Strategy Indonesia pada Bidang Hukum Laut

Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang membuat hukum laut secara sepihak melalui proklamasi Presiden Truman tentang

continental self (Gambar 1) dan Norwegia yang menetapkan straight baselines (Gambar 2), Indonesia setelah Perang Dunia

ke dua, yaitu tahun 1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 13

Desember 1957 tentang Hukum Laut. Hal ini dilakukan karena ketentuan peninggalan Belanda Kringen Ordonansi 1939

mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya sebagai negara kepulauan, karena masing-masing pulau mempunyai

laut sendiri yang disebut perairan Nusantara, sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas


Dengan demikian, pertimbangan deklarasi Djuanda adalah :

1. Bila diantara pulau-pulau terdapat laut bebas, maka Indonesia tidak dapat melakukan kedaulatannya secara penuh di

perairan Indonesia.

2. Dapat membahayakan integritas negara kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda, merupakan strategi Indonesia dan

mengandung 4 (empat) hal, yaitu :

1. Seluruh kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan dan laut antara pulau-pulau Indonesia dianggap perairan

pedalaman.

2. Lalulintas damai bagi Kapal asing dimungkinkan diperairan pedalaman (hak lintas damai = right of innocence passage),asal

tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah, mondar-mandir

3. Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil laut

4. Penentuan lebar laut wilayah diukur dari garis yang menghubungkan titik pulau-pulau terluar.

- Laut wilayah ----à laut yang terletak sebelah luar pulau

- laut perairan pedalaman adalah laut yang terletak sebelah dalam pulau-pulau


C. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958 (UNCLOS I)

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tanggal 21 Februari 1957 menyetujui untuk mengadakan konferensi

internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958. Konferensi ini akhirnya diadakan pada tanggal24 Februari sampai

dengan 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS atau United Nations

Convention on the Law of the Sea. Konferensi UNCLOS I 1958 melahirkan 4 (empat) buah konvensi, yaitu :

1. Konvensi tentang laut territorial dan jalur tambahan (convension on the territorial sea and contiguous zone). Hal ini belum

ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan pada UNCLOS II

2. Konvensi tentang Laut Lepas (convention on the high seas)

a. Kebebaan Pelayaran

b. Kebebasan menangkap ikan

c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa

d. Kebebasan Terbang di atas laut lepas

Konvensi ini telah mendapat persetujuan peserta konferensi.

3. Konvensi tentang Perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and convention

of the living resources of the high seas

4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental self)


D. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982

Pada tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960 diadakan konferensi UNCLOS II untuk membicarakan hal-hal yang belum

disepakati pada UNCLOS I. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut territorial dan zone tambahan Perikanan. Namun

konferensi ini masih mengalami kegagalan mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan lagi konferensi melalui UNCLOS III


Pada konferensi UNCLOS III ini akhirnya menghasilkan konvensi internasional tentang Hukum Laut yang disetujui di Montego

Bay, Jamaica (10 Desember 1982) dan ditanda tangani oleh 119 negara. Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar, Amerika

Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Canada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal

dan Republik Malagasi.


Setelah konferensi UNCLOS III, disetujui dan ditanda tangani oleh 119 negara, menghasilkan konvensi hukum laut III dan

dikodifikasi sebagai Hukum Laut Internasional. Dan Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi telah menanda

tangani konvensi tersebut dan termasuk 15 negara yang memiliki ZEE besar (zone ekonomi eksklusif), sehingga dalam hal ini,

perlu dipertegas batasan-batasan Hukum Laut Indonesia, sebagai berikut :

1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal (straight baseline) kepulauan Indonesia.

2. Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

3. Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut territorial Indonesia, sebagaimana

ditetapkan berdasarkan Undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di

bawahnya, dan air di atasnya dengan bbatas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia.

4. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia,

dan perairan pedalaman Indonesia.

5. Landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan wilayah Republik Indonesia sasmpai

kedalaman 200meter atau lebi, dimana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi kekayaan alam.

Tidak ada komentar: