Selasa, 20 Juli 2010

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN PROGRAM PEMP 2006

1. Pedoman Umum PEMP 2006
Setelah program Pemberdayan Ekonomi Masyarakat Pesisir berjalan empat tahun, terbitlah Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah membuat kebijakan Pedoman Umum pengelolaan dana hibah program PEMP 2006. Salah satu ketentuan kebijakan PEMP 2006 yang diatur di dalam Buku Pedoman Umum PEMP 2006 yang termuat dalam bab II butir E halama 9 menyatakan, bahwa dalam menjalankan fungsinya, koperasi menerima Dana Ekonomi Produktip ( DEP ) sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Dana pinjaman tersebut selanjutnya disalurkan untuk dapat diakses masyarakat pesisir melalui LKM (Lembaga Keuangan Mikro) milik koperasi yang bersangkutan. Kemudian bab III butir A (1 dan 2 halaman 11-12) menyatakan bahwa DEP (Dana Ekonomi Produktip ) yang dijadikan sebagai penjaminan tunai (cash collateral) dikelola dengan tahapan sebagai berikut :

1. DEP dibukukan pada rekening giro atas nama koperasi untuk kemudian dijadikan jaminan kepada bank pelaksana. Bank memberikan kredit kepada koperasi minimal sebesar DEP yang dijaminkan.

2. Kredit dari bank tersebut dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap (selanjutnya disingkat MTT ) pada unit usaha simpan pinjam untuk diteruskan sebagai pinjaman kepada masyarakat pesisir anggota atau calon anggota koperasi.
Pengaturan pengelolaan Dana PEMP 2006 menurut buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 1 hal 2dan 3 melibatkan koperasi dan lembaga perbankan dalam memberikan pelayanan bantuan pinjaman dana PEMP kepada kelompok nelayan. Hal ini berarti, bahwa selain Undang-Undang No 31 Tahun 2004 sebagai dasar hukum pembuatan Pedoman Umum PEMP 2006, juga harus mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil serta Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Apabila ketentuan Buku Pedoman Umum khususnya yang mengatur tentang permodalan koperasi, dibandingkan dengan pasal 41 (1 dan 2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka akan tampak adanya ketidak-sinkronisasian. Pasal 41 (1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 mengatur tentang pembukuan modal koperasi nelayan yang diperoleh dari dana hibah, pinjaman dan iuran anggota. Pasal ini mengatur pembukuan modal hibah yang harus dibukukan sebagai modal sendiri atau Modal Tetap (MT), sedangkan Pedoman Umum menyatakan bahwa harus dibukukan sebagai modal pinjaman atau Modal Tidak Tetap (MTT) lihat bab 3 butir A 1 dan 2 halaman 11-12. Konsekwensi penyimpangan Pedoman umum PEMP 2006 atas ketentuan Perundang-undangan khususnya pasal 41 (1 dan 2 ) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, adalah dana hibah PEMP 2006 seharusnya dinikmati oleh nelayan berupa pinjaman yang berbunga rendah dari koperasi nelayan, berubah menjadi pinjaman berbunga tinggi, karena dana hibah dinikmati oleh lembaga perbankan sebagai dana murah (tanpa bunga) berupa agunan kredit.

Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 (4) menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan pada Pasal 7 (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya Pasal 7 ( 5 ) menyebutkan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Untuk jelasnya dapat dilihat hirarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ( 1 ) Undang-Undang No 10 Tahun 2004 sebagai berikut :
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.Peraturan Pemerintah
d.Peraturan Presiden
e.Peraturan Daerah
- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama gubernur
- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota
- Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
f.Jenis peraturan perundang-undangan selain yang diatur pada Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU
No 10 Tahun 2004 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (ayat 4).Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki
sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.
Hans Kelsen juga mengajarkan tentang stufentheorie,yang pada dasarnya sama dengan
Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hirarkis
yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang
lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum
yang lebih tinggi. Sifat pertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan
batalnya daya laku hukum itu. Sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar
dan sumber dari hukum yang lebih rendah, teori ini dikenal dengan asas hukum lex
superior derogat legi inferiori artinya undang-undang yang lebih tinggi
tingkatannya mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya.
Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat
norma yang dikandungnya; dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata dan
operasional sifat norma yang dikandungnya.

Apabila kita membuka beberapa literatur, ditemukan beberapa pendapat bahwa suatu kebijakan dianggap benar, bila dapat memberikan manfaat, memuaskan dan sah, serta dirasakan adil bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu. William James mengembangkan pendapat Charles S Piere yang dikutip oleh Imam Syaukani (2004 : 39) mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan atau kebijakan diukur dengan kriteria, apakah pernyataan atau kebijakan tersebut fungsional dengan kehidupan praktis atau tidak. Bagi kaum pragmatis validitas kebenaran terletak pada manfaat (utility), kemudian dapat dikerjakan dan akibat yang memuaskan.

Dari segi yuridis formal, suatu kebijakan dikatakan benar bila mempunyai dasar hukum yang sah, di Indonesia suatu kebijakan Pemerintah yang melibatkan masyarakat luas harus mengacu peraturan perundang-undangan yang secara hirarki diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004. Yang menjadi permasalahan adalah keadilan bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu, karena menurut Hans Kelsen (2007 : 77) dalam teori nilai relativistic yang bermakna, bahwa nilai bersifat relatif bukan mutlak, dan keadilan tidaklah mutlak, tergantung dari nilai-nilai yang diterapkan oleh pencipta norma. Sebuah tatanan hukum yang dinilai sebagai tatanan yang tidak adil berdasarkan suatu sistem moral, bisa saja dinilai adil berdasarkan sistem moral yang lain.

Di lain pihak, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir Pulau-Pulau Kecil sebagai pembuat kebijakan yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006 dengan menjadikan Pasal 60 (1 a) dan 62 Undang-Undang No 31 Tahun 2004 sebagai landasan hukumnya. Pada bab II butir E halaman 9 Pedoman umum menyatakan, bahwa koperasi berfungsi sebagai komponen utama dalam pelaksanaan program PEMP 2006 di daerah, dan dalam menjalankan fungsinya koperasi menerima Dana Ekonomi Produktip (DEP) sebagai hibah yang dijaminkan kepada lembaga perbankan untuk mendapatkan pinjaman dan dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap (MTT). Ketentuan ini menguntungkan perbankan dan memberatkan nelayan dan koperasinya sebagai penerima hibah. Perbankan memperoleh keuntungan dua kali, yaitu dana hibah mengendap padanya tanpa bunga, dan pemberian kredit kepada koperasi nelayan dengan agunan tunai (kredit tanpa risiko) disertai bunga kredit. Ketentuan ini menyimpang dari ketentuan Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang mengatur tentang pembukuan dana hibah pada koperasi sebagai modal tetap bukan modal tidak tetap. Ketentuan ini, juga tidak sinkron dengan Pasal 5 ( 1e) dan Pasal 21 Undang-undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan, bahwa koperasi termasuk usaha kecil, perlu diberdayakan dan disediakan permodalan, baik berupa pinjaman kredit maupun hibah. Demikian juga Pasal 88 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur tentang ketentuan penyisihan sebagian laba BUMN untuk pembinaan usaha kecil, termasuk koperasi ( BRI termasuk salah-satu bank pemerintah )

Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin dapat terjadi permasalahan seperti ini ? Ahmad Kamil (2004:33) memberikan komentarnya, bahwa sebenarnya sudah dipahami secara umum, dan tidak dapat dipungkiri, bahwa undang-undang yang merupakan produk lembaga legistatif dapat mengandung kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan. Bagaimana pun cermatnya manusia menyusun dan merumuskan undang-undang, setelah tiba saat operasionalnya, baru muncul dan diketahui berbagai kelemahan dan kekurangan, bahkan mungkin terdapat hal-hal yang sifatnya mendasar tidak termuat atau tidak terumuskan dalam undang-undang tersebut. Kenyataan ini harus disadari oleh berbagai pihak dan tidak memanfaatkannya sebagai jalur penyelundupan hukum, karena seringnya rumusan undang-undang tercecer jauh di belakang dari perubahan perkembangan nilai-nilai kesadaran masyarakat, menunjukkan suatu nilai negatif yang tidak dapat dipertahankan lagi dalam pandangan civil law system.

Pada umumnya undang-undang masih bersifat umum, abstrak dan masih perlu dibuat lebih operasional, mengingat lembaga legislatif tidak mungkin dapat melakukan suatu produk undang-undang yang lebih operasional dan mendekati kenyataan, sehingga pemerintah atau Administrasi Negara melakukan penjabaran normatif terhadap undang-undang tersebut menjadi aturan-aturan yang bersifat lebih operasional. Bila saja undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif yang khusus menekuni bidang tersebut masih dapat terjadi kelemahan dan kekurangan yang memerlukan uji materiel atau yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi, apalagi peraturan pelaksanaan operasional yang dibuat oleh Pejabat Administrasi Negara yang lebih dekat dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Pemerintah sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dan bersifat operasional, lebih konkrit, sering mendapat tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh S. Pamudji (1983 : 26), bahwa dewasa ini kelompok-kelompok kepentingan menekankan keinginannya pada proses pembuatan hukum/undang-undang dengan jalan mempengaruhi anggota-anggota badan perwakilan, dan juga badan eksekutif.
Demikian kuat pengaruh dan penekanan tersebut, sehingga sering pemerintah terpaksa menerima keinginan-keinginan interest group tadi.

Rusadi Kantaprawira (1980 : 130) bahwa tugas eksekutif yang hampir selalu berhadapan dengan kasus-kasus nyata yang meliputi seribu satu macam kemungkinan dalam penerapan aturan yang telah ditetapkan. Eksekutif itu lebih mengutamakan tindakan (action), orientasinya pun lebih cenderung diarahkan pada kebijaksanaan dan program-program untuk membangun masyarakat secara lebih real, yang tentu saja tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada. Ukasah Martadisastra, (1983 :31,32) mengutip dari John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus yang mengatakan bahwa Publik administration involves the implementation of publik policy which has been determine by representative political bodies. Pejabat Administrasi Negara berwenang menafsirkan undang-undang dan membuat kebijakan yang wewenangnya diatur dalam Hukum Administrasi Negara, produk hukumnya dikenal dengan sebutan legislasi semu (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 99).

Di dalam literatur Negara-negara Anglo Sakson pembuatan peraturan-peraturan oleh Administrasi Negara disebut Administratif legislation atau delegated legislation. Wewenang Administrasi Negara dalam membuat peraturan-peraturan yang sangat dekat kepada realitas keadaan masyarakat, sangat membantu badan legislatif, karena bilamana tidak ada wewenang semacam ini maka segalanya akan macet (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 102). Prajudi Atmosudirdjo (1983 : 35) menyatakan, bahwa diantara undang-undang dalam arti materiel (substansial) itu terdapat semacam hirarkis, dan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya sekali-kali tidak boleh melanggar, melawan, atau mengubah ataupun mengabaikan begitu saja undang-undang yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Walaupun Pejabat Administrasi Negara telah diberikan wewenang membuat kebijakan, namun tidak boleh melupakan dan melepaskan diri dari keterikatan dengan landasan filosofis kebijakannya, dalam hal ini, khusus sistem peraturan kebijakan Program PEMP 2006 yang lebih utama adalah harus mengacu kepada hirarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004
Kemudian dari pada itu, bila substansi Pedoman Umum kebijakan PEMP 2006 dipandang dari teori system, maka sub-sub sistemnya terdiri dari pasal-pasal undang-undang dan peraturan pemerintah yang menunjang kehidupan usaha kecil khususnya koperasi nelayan seperti Pasal 41 ( 1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 tentang perkopersian, Pasal 21 dan Pasal 5 ayat 1e serta Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9/1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 88 Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 60 dan 62 Undang Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Pasal 1 (1) dan Pasal 2 c Peraturan Pemerintah no 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Pasal 12 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 harus tampak adanya saling keterkaitan antara subsistem-subsistemnya, baik peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif maupun peraturan pemerintah.

Teori system menggambarkan bahwa diantara subsistem harus ada keterikatan, saling ketergantungan, saling pengaruh mempengaruhi, saling menentukan satu sama lain sebagai suatu kesatuan atau kebulatan, sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa pakar. Sebagai suatu system, Kebijakan PEMP 2006 yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006 merupakan penjabaran dari Pasal 60 (1 a) dan 62 Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus bersifat lebih operasional. Pelaksanaan Pedoman Umum PEMP 2006 yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri No. Kep 18/Men/2004 dan selanjutnya dengan Keputusan Dirjen KP3K No. SK/07/KP3K/I/2006 tgl 26 Januari 2006 tentang Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun Anggaran 2006 disebut juga sebagai kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kebijakan ini ditunjang oleh Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Undang-undang tersebut dijabarkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri, seperti : Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Permenneg BUMN per 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 1998tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.

Bila peraturan perundang-undangan tersebut berfungsi sebagai sub-sub sistem yang membentuk sistem hukum dalam mendukung pelaksanaan program PEMP yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006, maka materi muatan yang menjadi dasar hukum penyaluran dana PEMP 2006 bagi koperasi nelayan kepada kelompok nelayan yang diatur dalam Pedoman Umum PEMP 2006 akan tampak seperti diagram pada halaman 52. Namun bila salah satu subsistemnya bertentangan satu sama lain, seperti pasal 41 (1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 yang mengatur tentang pembukuan modal koperasi nelayan yang diperoleh dari dana hibah harus dibukukan sebagai modal sendiri atau Modal Tetap (MT), bertentangan dengan ketentuan Pedoman Umum menyatakan, bahwa harus dibukukan sebagai modal pinjaman atau Modal Tidak Tetap ( bab 3 butir A 1 dan 2 halaman 11-12 ), maka akan cacat, karena tidak membentuk suatu system yang merupakan kesatuan atau kebulatan yang utuh.

Pasal-pasal undang-undang terdiri dari subsistem-subsistem yang membentuk undang-undang sebagai suatu sistem yang mendukung pemberian bantuan kepada koperasi nelayan sebagai usaha kecil. Sehingga secara teoritis kebijakan PEMP ditinjau dari sudut pandang sistem, substansinya seharusnya juga saling kait-mengait dan saling berhubungan dengan pasal-pasal peraturan perundang-undangan produk lembaga legislatif sebagai sub-sub sistemnya, seperti “Pasal 5 (1e) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 menyatakan bahwa yang termasuk usaha kecil, adalah badan usaha orang perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum termasuk koperasi, dengan syarat modal tidak melebihi Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Pasal ini memberikan dukungan terhadap koperasi nelayan sebagai suatu lembaga yang perlu mendapat bantuan. Demikian juga penjelasan umum Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 menyatakan, bahwa usaha kecil (termasuk koperasi) perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan dengan berpijak pada kerangka hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terwujudnya ekonomi yang berdasarkan pada asas kekeluargaan.

Dari segi undang-undang perbankan substansinya juga sebagai suatu sistem juga belum tampak adanya saling keterkaitan antara sub-sub sistemnya, karena permasalahan perkoperasian belum mendapat perhatian dari lembga perbankan, khususnya pada masalah agunan dan suku bunga pinjaman, sebagai contoh kebijkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga 15 % pertahun dan persyaratan penyerahan agunan kredit bagi koperasi nelayan, adalah suatu kebijakan yang tidak sinkron dengan pasal-pasal undang-undang usaha kecil, undang-undang BUMN, peraturan pemerintah tentang kemitraan.

Dari segi undang-undang perkoperasian, ketentuan Buku Pedoman Umum Departemen Kelautan dan Perikanan RI yang mengatur agar dana hibah dijadikan modal tidak tetap (modal pinjaman) merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang perkoperasian No. 25 Tahun 1992 Pasal 41 (1 dan 2). Kebijakan ini dianggap tidak taat asas, karena tidak sesuai aturan hirarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2004, dan menyimpang dari ajaran Hans Kelsen tentang stufentheorie, sehingga dianggap tidak taat asas. Dan sebagai suatu sistem hukum, sub-sub sistemnya menjadi tidak utuh atau cacat.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang ajaran hirarki peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di muka dan Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dikatakan, bahwa secara normatif/substantif Kebijakan PEMP 2006 tidak memenuhi unsur teoritis, tidak taat asas dan menyimpang dari konsep dasar yang semula dimaksudkan sebagai penunjang pelaksanaan pengelolaan dana hibah program PEMP 2006, malahan terjadi kebalikannya, menjadi faktor penghambat yang menjadikan suku bunga pinjaman kredit kepada nelayan cukup tinggi.

Kebijakan ini memberatkan pihak nelayan yang akan dibantu dan memberikan keuntungan ganda bagi pihak perbankan, berupa adanya dana hibah yang mengendap tanpa bunga disatu sisi, dan di sisi lain lembaga perbankan juga mendapatkan bunga kredit. Hal-hal tersebut merupakan faktor penghambat, sehingga perlu diadakan penyempurnaan.

2. Aktivitas Pemerintah

a. Pembentukan Kelompok Usaha
Salah satu cara yang dianggap dapat mempermudah dan mempercepat pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir adalah pembentukan kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo (2004 : 1), bahwa manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok yang merupakan senjata bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Pembentukan kelompok-kelompok di dalam masyarakat pesisir tersebut di atas dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, namun dalam pembentukan tersebut belum diterbitkan suatu surat keputusan atau surat-surat lain yang merupakan dasar hukum bagi berdirinya kelompok nelayan tersebut. Surat Keputusan pembentukan kelompok nelayan atau pemanfaat perlu diregistrasi, sebagai dasar hukum bagi keberadaan kelompok. Demikian juga peraturan pengelolaan dan penggunaan dana bantuan masih perlu diatur dalam suatu peraturan daerah (Perda).

Kapal-kapal bermotor nelayan yang beroperasi dilautan teritorial sebagian besar belum mendapatkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Surat-surat tersebut diperlukan bagi setiap kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan yang mencapai jauh antara 4-12 mil laut atau pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau sejauh antara 12-200 mil dari perairan teritorial
Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan telah membentuk kelompok-kelompok di dalam masyarakat pesisir berdasarkan jenis usaha, seperti nelayan tangkap, pembudi-daya ikan kecil, pemasaran ikan, pengolah ikan, petambak, jaring apung pada setiap desa yang termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil atau perkampungan nelayan.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kelompok nelayan tangkap di dalam masyarakat pesisir mendominasi, disusul dengan kelompok Petambak Ikan. Kelompok Pemasaran ikan hanya berjumlah 9,6 %, namun bila ditinjau dari segi jumlah kelompok yang menerima bantuan dana PEMP 2006, kelompok pemasaran ikan menerima yang terbanyak, disusul oleh kelompok nelayan tangkap dan kelompok pengolahan ikan.
Penelitian yang dilakukan terhadap Koperasi Nelayan Madani menunjukkan, bahwa beberapa kelompok nelayan, seperti Kelompok Siamasei, kelompok Naga Mas, Kelompok Fajar Nelayan, Kelompok Buah Harapan yang direkomendasikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk diberikan bantuan dana hibah PEMP 2006 mengalami kemacetan. Walaupun Kelompok-kelompok tersebut pada saat mengajukan permohonan pinjaman kelompok telah dilakukan verifikasi bersama, antara petugas Dinas Kelautan dan Perikanan, Tim Pendamping Desa dan petugas Koperasi Nelayan Madani, namun Koperasi Nelayan Madani menganggap aktivitas itu hanya sebagai formalitas saja dari pemerintah daerah. Adanya pesan-pesan khusus dari pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan kepada Koperasi Nelayan Madani terhadap pemberian bantuan kepada kelompok nelayan tertentu, menyebabkan kelompok nelayan tersebut merasa mendapat bantuan khusus, sehingga enggan melakukan pembayaran angsuran.

Bila terjadi kemacetan seperti pada kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas, maka tunggakan angsuran pokok yang timbul tetap dibebankan bunga oleh Bank Rakyat Indonesia Polewali kepada Koperasi Nelayan Madani. Bank Rakyat Indonesia Polewali tidak mau menerima alasan kemacetan usaha kelompok nelayan. Campur tangan Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan dana hibah PEMP 2006, khususnya yang ditangani oleh Koperasi Nelayan Madani berdampak negatif, sehingga seyogyanyalah koperasi nelayan diberikan kebebasan untuk menentukan kelompok nelayan yang layak diberikan bantuan tanpa campur tangan pejabat Pemerintah Daerah.

Dengan semakin banyaknya program bantuan pemerintah, baik yang berasal dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah sendiri, maka seyogyanya pemberian bantuan kepada kelompok-kelompok masyarakat pesisir diatur dalam suatu Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menjadi landasan hukum, baik bagi pengelola maupun bagi penerima dana bantuan. Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pembina dan penanggung jawab operasional telah membuat startegi berupa pembentukan kelompok-kelompok nelayan yang melibatkan Kepala Desa atau Kelurahan untuk memudahkan sosialisasi dan pengelolaan dana pinjaman anggota nelayan, sehingga institusi Dinas Kelautan dan Perikanan seharusnya menjadi faktor penunjang pelaksanaan kebijakan PEMP, bukan menjadi faktor penghambat.

b. Alokasi Dana Bantuan Untuk Masyarakat Pesisir.

Jumlah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagaimana yang disajikan pada tabel 10, yaitu dana bantuan Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Ekonomi Rumah Tangga dikucurkan kepada masyarakat Pesisir mencapai jumlah Rp 2,5 milyar untuk 64 kelompok nelayan tangkap atau 1401 orang. Bantuan ini merupakan kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berjumlah Rp 10 milyar, diberikan sebagai modal usaha dan harus bergulir pada kelompok nelayan yang bersangkutan. Dana bantuan P2KBERT ini diberikan tanpa bunga.

Dana bantuan Pemerintah Pusat Rp 8,2 milyar untuk pembangunan sarana dan prasarana Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Lantora merupakan dana bantuan Pemerintah Pusat yang cukup tinggi, yaitu mencapai 61,9 % dari seluruh dana bantuan. Apabila alokasi dana peningkatkan kesejahteraan nelayan dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Polewali Mandar tahun 2006 yang jumlahnya mencapai Rp 358,6 milyar baru mencapai 3,7%, merupakan angka persentase yang belum sebanding dengan persentase jumlah penduduk masyarakat pesisir yang mecapai 4,5 % dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Polewali Mandar.

Untuk mendorong pelaksanaan program PEMP pemerintah mengeluarkan Kebijakan Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Ekonomi Rumah Tangga (P2KBERT) guna membantu nelayan tangkap. P2KBERT merupakan pinjaman dana bergulir sebesar Rp 2,5 milyar dari pemerintah tanpa bunga kepada rakyat meskin termasuk nelayan tangkap. Dana P2KBERT disalurkan langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan kepada kelompok nelayan tangkap tanpa melalui koperasi nelayan atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

c. Penyediaan Solar melalui SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan).

Kegiatan penyediaan solar melalui SPDN oleh Pemerintah melalui Koperasi Nelayan Madani tampaknya tidak efektif. Persediaan solar melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum ( SPBU) berlebihan, sehingga juragan ikan (‘punggawa ikan’) dapat membeli langsung pada SPBU terdekat. Kebijakan ini juga tidak membantu nelayan kecil, karena perahu nelayan kecil hanya memerlukan premium dan minyak tanah bukan solar. Kebutuhan solar hanya untuk kapal-kapal juragan ikan yang beroperasi antara 12 sampai 200 mil dari perairan toritorial, sehingga menyimpang dari konsep dasar kebijakan PEMP 2006, yaitu bantuan diperuntukkan bagi kelompok nelayan berskala kecil.

Modal Kerja untuk SPDN kecamatan Polewali disediakan sendiri oleh Koperasi Nelayan Madani. Pembelian solar dilakukan dengan sangat hati-hati karena adanya harga BBM akhir-akhir naik turun. Sejak harga BBM tidak menentu, Koperasi Nelayan Madani menghentikan penyediaan solar bagi kapal-kapal nelayan atau kelompok juragan ikan. Bantuan Dana hibah PEMP 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan disalurkan kepada SPDN Karama yang berada di Kecamatan Tinambung.

d. Penyediaan Kebutuhan pokok nelayan melalui Kedai Pesisir.

Penyediaan kebutuhan pokok dan alat-alat keperluan nelayan menurut ketentuan Pedoman Umum PEMP 2006 harus ditangani oleh Kedai Pesisir yang ditunjuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan bernaung di bawah Koperasi Nelayan. Kedai Pesisir di Polewali Mandar ditempatkan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan ) pada lokasi TPI/PPI Lantora dianggap tidak efektif dan tidak efisien. Tempat Pelelangan Ikan/Pusat Pelelangan ikan (TPI/PPI) belum berfungsi dan jauh dari perkampungan nelayan. Di samping itu, Kedai Pesisir yang ditempatkan di lokasi TPI/PPI pintu gerbangnya ditutup sejak pembangunan lokasi tersebut. Pintu gerbang yang tersedia sangat jauh dari Kedai Pesisir, sehingga susah dijangkau. Setahun yang lalu Koperasi Nelayan Madani hendak memindahkan Kedai Pesisir ke lokasi perkampungan nelayan, namun tidak mendapat izin dari Dinas Kelauatan dan Perikanan. Saat ini Nelayan lebih memilih membeli barang-barang kebutuhan pokok mereka pada toko yang berada di dekat rumahnya atau sekalian di pasar, dari pada harus berbelanja di TPI/PPI yang hubungan transportasinya tidak tersedia.

Bantuan dana hibah PEMP 2006 sebesar Rp 200 juta untuk kegiatan Kedai Pesisir, terdiri dari Rp 80 juta untuk investasi dan Rp 120 juta untuk modal kerja, sudah dapat dipastikan mengalami kegagalan.

3. Aktivitas Perbankan

Lembaga perbankan atau bank pelaksana menurut bab II F halaman 10 Pedoman Umum PEMP adalah lembaga keuangan perbankan yang ditetapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan tugas dan fungsi :
(1) menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekwensi dari adanya DEP yang
dijaminkan untuk kegiatan penguatan modal,
(2) menyalurkan DEP langsung dengan pola hibah melalui rekening koperasi yang ada di
bank pelaksana untuk kegiatan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) Pesisir, SPDN dan
atau Kedai Pesisir, dan
(3) melakukan pendampingan teknis dan administratif kepada koperasi dan atau
LKM/USP.

Menurut Surat Edaran BRI No S.48-DIR/ADK/11/2005 tanggal 15 November 2005 Butir II Ketentuan Umum yang merupakan sebagian isi perjanjian antara pemerintah ( DKP/KP3K ) dengan Bank Rakyat Indonesia
No K.14/KP3K-BRI/VII/05 tanggal 18 Juli 2005 menyatakan :
B.530-DIR/PRG/07/2005

(1) bahwa Program PEMP terdiri atas beberapa komponen, salah satunya adalah Dana Ekonomi Produktif ( DEP ) yang merupakan hibah kepada koperasi yang penggunaannya diperuntukkan bagi kegiatan produktif.

(2) DEP adalah dana yang dialokasikan oleh pemerintah dalam program PEMP untuk pengembangan usaha rakyat pesisir melalui penguatan modal usaha dan investasi skala-kecil. Dana tersebut berstatus hibah kepada koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang ditunjuk yang harus dijaminkan kepada bank pelaksana untuk memperoleh pinjaman yang selanjutnya dapat diakses oleh masyarakat pesisir.

(3) DEP dibagi dalam 4 kategori penggunaan yaitu :
a. DEP untuk penjaminan (cash collateral)
b. DEP untuk BPR Pesisir (Bank Perkreditan Rakyat Pesisir)
c. DEP untuk Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)
d. DEP untuk Kedai Pesisir

(4). Kredit PEMP adalah kredit dengan agunan Cash Collateral yang berupa DEP
Butir III Tugas dan Fungsi Bank Pelaksana
(1) Menyediakan kredit kredit kepada koperasi dengan agunan tunai (cash collateral) dana DEP yang ditempatkan di Kanca BRI dalam bentuk rekening giro.
(2) Melakukan pembinaan kepada tenaga manajemen Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi.
Lembaga perbankan memberikan fasilitas kredit kepada koperasi nelayan dengan agunan tunai (cash collateral). Agunan tunai tersebut berasal dari dana hibah pemerintah yang diperuntukkan bagi koperasi nelayan dan merupakan Dana Penguatan Modal. Bilamana koperasi nelayan tidak memenuhi kewajibannya membayar angsuran pokok dan bunga tiga kali berturut-turut, maka lembaga perbankan akan mencairkan agunan tunai koperasi. Dengan dijadikannya dana hibah koperasi yang ditampung dalam rekening giro sebagai agunan tunai, berarti rekening giro koperasi nelayan diblokir oleh lembaga perbankan, sehingga seakan-akan lembaga perbankan sebagai penyedia dana (kredit) bagi koperasi, namun pada hakekatnya lembaga perbankan bukanlah penyedia dana, tetapi hanya sebagai tempat lalu lintas dana yang meraup keuntungan dua kali dari kebijakan pemerintah, yaitu di satu sisi mendapatkan dana murah berupa agunan tunai (cash collateral) yang ditampung dalam rekenin giro koperasi tanpa bunga dan di sisi lainnya terjadi pemberian kredit dengan bunga 6 % pertahun (Bab 3 butir 3b tentang suku bunga, halaman 13 Pedoman Umum PEMP 2006). Fasilitas kredit ini tanpa resiko kemacetan, karena bilamana koperasi nelayan lalai memenuhi kewajibannya dalam tiga bulan berturut-turut lembaga perbankan mencairkan agunan tunai koperasi nelayan (Bab 3 butur A 5 tentang sanksi). Ketentuan tersebut di atas memberikan kesempatan lembaga perbankan meraup dua kali keuntungan, yaitu pertama dapat memperoleh dana murah (tanpa bunga) dan kedua dapat memperoleh bunga kredit tanpa resiko karena adanya agunan tunai dari dana hibah koperasi nelayan. Sementara pihak nelayan yang miskin memikul beban bunga ganda yaitu bunga perbankan dan bunga dari koperasi nelayan.

Pengaturan penyaluran dana hibah PEMP tersebut di atas, sangat jauh dari konsep dasar yang termuat dalam ketentuan :
-Pasal 5 ayat 1e Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa yang termasuk usaha kecil adalah badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak, termasuk koperasi, dengan syarat modal tidak melebihi Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
-Pasal 21 Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa pemerintah, dunia usaha dan masyarakat harus menyediakan pembiayaan kepada usaha kecil termasuk koperasi yang meliputi antara lain kredit perbankan dan hibah.
-Pasal 88 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menetapkan ketentuan penyisihan dan penggunaan laba mereka untuk pembinaan usaha kecil termasuk koperasi dan masyarakat sekitar BUMN.
-Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, menetapkan bahwa kerjasama dalam kemitraan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat.
-Penjelasan Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, saling menguntungkan dengan pola kemitraan antara lain pembiayaan ( Pasal 2c).
-Pasal 12 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan, bahwa pemerintah dapat menugaskan bank umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Undang-undang ini juga bertujuan untuk mendorong lembaga perbankan untuk membantu memberikan pembiayaan kepada usaha kecil termasuk koperasi nelayan.
-Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyatakan, bahwa yang termasuk dalam pengertian usaha kecil adalah koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
-Ketentuan perbankan yang dituangkan dalam Surat Edaran Bank Rakyat Indonesia No S.48-DIR/ADK/11/2005 tanggal 15 November 2005 butir III (2) Tugas dan Fungsi Bank Rakyat Indonesia menyatakan, bahwa bank melakukan pembinaan kepada tenaga manajemen Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi.

Semua ketentuan yang dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, Surat Edaran Bank Rakyat Indonesia tersebut di atas menekankan perlunya pembinaan usaha kecil seperti koperasi nelayan, namun dalam kenyataannya Bank Rakyat Indonesia sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara mengingkari aturan-aturan tersebut di atas, termasuk tugasnya sebagai pembina tenaga manajemen Usaha Simpan Pinjam Koperasi Nelayan dan hanya memperhitungkan faktor keuntungan semata-mata, tanpa memperdulikan lingkungannya khususnya masyarakat pesisir.
Tampaknya, Lembaga perbankan menganut ajaran Hans Kelsen (2007:2) yang menyatakan, bahwa hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir bukan hukum seperti, anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya; hukum harus dibebaskan dari unsur moral, Hans Kelsen (2003 :120) juga mengajarkan, bahwa hukum termasuk sollenskategori (hukum sebagai keharusan), bukan seinskategori (hukum sebagai kenyataan). Orang menaati hukum karena memang harus menaati sebagai perintah negara.

Teori ekonomi ini dijadikan dasar bagi lembaga perbankan untuk mencari keuntungan, bukan untuk kepentingan umum atau kepentingan sosial, berbeda halnya bila instansi pemerintah yang menggunakan teori ini akan berorientasi kepada masyarakat luas yang akan dilayani karena memang tujuannya menekankan unsur pelayanan masyarakat. Antara lembaga perbankan dengan instansi pemerintah mempunyai tujuan yang sangat berjauhan. Lembaga perbankan mempunyai tujuan yang sudah mapan, yaitu keuntungan materiel, dan ukuran efisien tercapai bila pengorbanan sekecil-kecilnya diperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan instansi pemerintah menekankan pada unsur pelayanan, efisien tercapai, bila dapat memberikan pelayanan yang sah dengan sebaik-baiknya atau memuaskan masyarakat banyak, tanpa memperhitungkan untung ruginya.
Pertanyaan, mengapa lembaga perbankan ikut mencari keuntungan dari kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan pada masyarakat pesisir; jawabannya sangat relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sri Redjeki Hartono (2000:65) bahwa setiap temuan baru, setiap metode baru, dan setiap penyalah-gunaan baru, dengan cepat akan dimanfaatkan oleh dunia bisnis sebagai komoditi secara maksimal. Dunia bisnis adalah dunia yang penuh kreativitas dan inovasi yang sangat efektip karena tujuannya yang mapan dan jelas, yaitu keuntungan ekonomi. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kreativitas di bidang-bidang lain dimana faktor idealisme dan kepuasan batin yang lebih dominan, sehingga nilai ekonomi dapat dikesampingkan.

Selanjutnya Sri Redjeki Hartono (2000:68) mengemukakan teorinya bahwa setiap penemuan baru yang nilai manfaatnya tinggi bagi kemajuan kehidupan dan perbaikan taraf hidup manusia, dapat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi pula, yang akhirnya akan menjadi komoditi yang tinggi nilai ekonominya. Sesuatu yang nilai kemanfaatannya cukup tinggi, maka secara otomatis menyebabkan nilai ekonominya juga menjadi lebih tinggi. Suatu benda atau kebendaan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mengandung dan mengundang potensi pertikaian yang tinggi pula. Para teoritis hukum selalu didera oleh berbagai pertanyaan mendasar yang pada akhirnya selalu bermuara pada satu titik, yaitu pada titik harkat dan martabat kehidupan manusia dan kemanusiaan, seberapa jauh dijamin dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, kreativitas dibidang ekonomi perlu diberikan rambu-rambu agar tetap aman bagi tata kehidupan dan harus mengatur semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam rangka melindungi kepentingan manusia dan kemanusiaan pada umumnya.

Jawaban lain atas pertanyaan di atas, juga relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Richard Quinney, bahwa hukum di dalam suatu masyarakat kapitalis memberikan pengakuan politis terhadap kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomis yang kuat. Sistem hukum memberikan mekanisme untuk mengendalikan mayoritas dalam masyarakat, karena negara dan sistem hukum mencerminkan pemenuhan kebutuhan pihak-pihak yang berkuasa (Soerjono Soekanto, 1985 :58).

Aktivitas perbankan dalam pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 juga bersesuaian dengan teori sistem hukum cybernetics. Teori hukum ini memandang komponen-komponen masyarakat tidak mempunyai kemampuan selain menaati hukum. Kelalaian terhadap perintah itu akan mengakibatkan berurusan dengan sanksi. Teori cybernetics di dalam hukum positif oleh Wiener, hukum didefinisikan sebagai suatu sistem pengawasan perilaku yang diterapkan pada sistem komunikasi yang wujudnya norma-norma yang diproduksi oleh suatu pusat kekuasan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. Hukum dipandang sebagai suatu sistem kontrol searah yang dilakukan oleh sentral organ yang memiliki kekuasaan terhadap sistem komunikasi. Sistem kontrol searah otomatis-mekanis (cybernetic) menuntun perilaku setiap komponen tanpa adanya penolakan atau komponen tidak memiliki otonomi perilaku.

Paradigma hukum positif juga berasumsi dan menempatkan komponen-komponen masyarakat hanya memiliki satu kemampuan yaitu taat perintah, penyimpangan atas perintah dinetralkan melalui sanksi. Antara teori hukum cybernetics dan hukum poistif menunjukkan banyak persamaan, sehingga teori cybernetics dapat diterapkan di dalam paradigma hukum positif dengan perspektif hukum Eropa Kontinental.
Apabila ditelaah substansi kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir yang telah dituangkan dalam Buku Pedoman Umum PEMP tahun 2006, materi muatannya menekanan pada pendekatan Civil law sistem atau Hukum Positif Eropa Kontinental dan teori sistem hukum Cybernetic,. yaitu suatu teori sistem mekanis yang secara analog diterapkan kedalam kehidupan manusia, khususnya sistem hukum. Koperasi dan komponen-komponen masyarakat pesisir, dipandang tidak memiliki kemampuan selain mentaati aturan hukum yang diberlakukan padanya.

Menurut Norbert Wiener, hukum merupakan pusat pengedalian komunikasi antar individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sebagai tujuannya. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang disebut sebagai “central organ”. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu. Penghindaran sengketa dengan menerapan sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan demikian, setiap individu diharapkan berperilaku sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud karenanya ( Lili Rasjidi, 2003 : 87).

Penerapan aturan hukum yang menyatakan, bahwa “koperasi harus membayar angsuran pokok beserta bunga tiap bulan dan bila menunggak tiga bulan berturut-turut, maka lembaga perbankan akan mencairkan dana hibah koperasi yang menjadi agunan tunai “ (Bab 3 butir 3b hal 13 Buku Pedoman Umum PEMP 2006 ) dan dilaksanakan secara otomatis oleh lembaga perbankan melalui komputer, merupakan alasan yang kuat untuk mengatakan, bahwa lembaga perbankan menyalurkan dana PEMP 2006 kepada koperasi nelayan, menerapan ajaran hukum menurut teori cybernetics pada hukum positif Eropa Kontinental, karena koperasi nelayan tidak memiliki kemampuan untuk memberi alasan, apalagi bernegosiasi atas aturan ini, kecuali tunduk pada aturan perbankan dan ketentuan Pedoman Umum PEMP 2006.

Pada saat ini (tahun 2008) pemerintah mengelurkan kebijakan berupa Kredit Usaha Rakyat ( KUR) yang juga diperuntukkan bagi koperasi nelayan dengan bunga 15 % per tahun dan kewajiban menyerahkan agunan kebendaan. Kebijakan ini tampak sangat jauh dari kehendak peraturan perundang-undangan yang mengatur pembinaan usaha kecil termasuk koperasi mengingat koperasi nelayan baru tumbuh satu tahun diperlakukan persyaratan kredit yang sama dengan persyaratan kredit perusahaan konglomerat, tidak ada keringanan, bahkan persyaratan lebih berat lagi dengan adanya kewajiban pengembalian pokok dan bunga secara angsuran setiap enam bulan dan harus lunas dalam jangka waktu tiga tahun. Sikap lembaga perbankan lebih memperkuat pendapat di atas yang menganggap lembaga perbankan menggunakan ajaran hukum yang bersesuaian dengan pandangan Hans Kelsen dan Hukum Cybernatics oleh Norbert Wiener

4. Aktivitas Koperasi

Sebgaimana telah disebutkan di muka, bahwa program PEMP 2006 menjadikan koperasi nelayan sebagai sasaran perantara dengan
memfokuskan pada kegiatan pokok, yaitu :
a.Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro-Usaha Simpan Pinjam (LKM-USP),
b.Mendirikan Kedai Pesisir
c.Mendirikan tempat penjualan solar bagi nelayan yang dikenal dengan istilah Solar
Packed Dealer Nelayan (SPDN)

Kegiatan pokok PEMP tersebut ditunjang dana hibah tahun 2003, 2006 dan 2007 yang dilaksanakan oleh :

1)Lembaga Keuangan Mikro-Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LKM-LEPPM3) yang mendapat dana hibah langsung tahun 2003 sebesar Rp 600 juta dan mengalami kemacetan, karena kesalahan managemen, sehingga program PEMP 2003 di Polewali Mandar mengalami kegagalan total.

2)Koperasi Nelayan Madani menggantikan LKM-LEPPM3 menjalankan Usaha Simpan Pinjam kepada Nelayan yang diberi nama LKM-USP Nelayan mendapat dana hibah Rp 563.980.000,-yang dijadikan agunan kredit pada lembaga perbankan guna mendapatkan fasilitas kredit BRI sebesar Rp 555 juta.

3)Koperasi Nelayan Madani juga mengelola Kedai Pesisir memperoleh dana hibah sebesar Rp 200 juta tunai. Kedai Pesisir yang melayani penjualan eceran barang-barang kebutuhan pokok yang diperuntukkan bagi nelayan, tetapi karena lokasinya di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) yang saat ini masih mengalami tahap pembangunan dan jauh dari perkampungan nelayan, sehingga mengalami kesulitan pemasaran barang dagangan.

4)SPDN Polewali dipercayakan juga pengelolaannya kepada Koperasi Nelayan Madani dengan modal sendiri, memperoleh jatah 30 kilo liter (30.000 liter) perbulan dari Pertamina, namun hanya dapat menjual solar paling banyak 5 kilo liter (5.000 liter) perbulan.

5)Koperasi Swadaya Pa’banua memperoleh dana PEMP 2007 sebesar Rp 475 juta untuk SPDN yang berada di Tinambung yang baru diresmikan pada akhir tahun 2007 sudah mulai beroperasi dengan baik dengan jatah solar 16.000 liter perbulan,

Usaha simpan pinjam yang dikelola oleh Koperasi Nelayan ternyata lebih memperioritaskan pada pemberian pinjaman dana PEMP 2006 kepada kelompok pemasaran ikan yang jumlah kelompok maupun anggotanya jauh lebih sedikit dari pada kelompok nelayan tangkap, dengan alasan bahwa kelompok nelayan tangkap tidak disiplin dalam mengembalikan angsuran pokok dan bunga pinjamannya, sehingga terjadi tunggakan yang memberatkan koperasi nelayan, karena harus menalangi bunga dana pada lembaga perbankan atau BRI Polewali.

Adanya keraguan pihak koperasi untuk menyalurkan lebih banyak dana PEMP kepada kelompok nelayan tangkap karena takut akan mengalami kesulitan pengembalian dana perbankan yang akan berakibat pada pencairan agunan tunai (cash collateral) milik koperasi yang pada gilirannya akan menghadapi kemacetan dan di black list baik oleh perbankan maupun oleh pemerintah, sebagaimana halnya pengelola dana PEMP 2003. Oleh karena itu, sebagian besar dana PEMP disalurkan kepada kelompok pemasaran ikan.

Penyaluran dana PEMP kepada sebagian besar kelompok pemasaran ikan dikhawatirkan akan memgembalikan keadaan awal titik tolak konsep dasar, yaitu nelayan tangkap sebagai tesis berhadapan dengan pemasaran ikan sebagai anti tesis yang akan melahirkan punggawa atau juragan ikan baru, dalam percaturan ini lagi-lagi kelompok nelayan tangkap berada pada pihak yang lemah, tergilas kembali oleh juragan ikan, sebagai akibat dari perioritas pemberian dana PEMP 2006 oleh Koperasi Nelayan Madani kepada kelompok pemasaran ikan.

Buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 3 butir A.3b menetapkan, bahwa bunga dan pokok pinjaman dibayar secara rutin setiap bulan kepada bank, namun menurut penelitian dokumen diketemukan bahwa antara koperasi nelayan dan lembaga perbankan telah membuat perjanjian kredit modal kerja yang bersifat revolving (penarikan berulang), sehingga koperasi seakan-akan hanya membayar bunga kredit saja, sedangkan hutang pokok relatip konstan atau tidak dikembalikan. Koperasi memang melakukan pembayaran angsuran pokok, tetapi dapat ditarik kembali bilamana ada anggota koperasi nelayan yang memerlukan tambahan pinjaman atau ada kelompok baru yang mengajukan permohonan pinjaman baru. Alasan koperasi melakukan penyimpangan ketentuan pengembalian angsuran pokok kepada lembaga perbankan karena Pemerintah menginginkan Program PEMP berkembang dalam arti anggota yang mendapat bantuan PEMP semakin bertambah. Apabila pokok atau modal koperasi dikembalikan kepada lembaga perbankan, bagaimana mungkin anggota baru bisa bertambah. Hal ini merupakan suatu hal yang mustahil (impossible).

Ketentuan Bab 3 butir A.3b Pedoman Umum, dipandang berkontrakdiksi dengan ide pokoknya atau konsep dasar, sehingga Koperasi Nelayan Madani lebih memilih menyimpang aturan ini dan melakukan negosiasi dengan Pimpinan Bank Rakyat Indonesia agar fasilitas kredit yang dikucurkan bukan plafond menurun atau aflopend palfond tetapi fasilitas kredit revolving atau dapat ditarik berulang kali.
Lembaga perkoperasian, termasuk lembaga komersial dalam menganalisis suatu kontrak selalu berpatokan pada faktor efektivitas dan efisiensi tanpa meperdulikan kepada siapa yang dilayani. Lembaga ini menganut paham Neo Classical efficiency yang menurut pandangan Pareto dan Kaldor-Hicks yang dikutip oleh Johannes Ibrahim (2004 : 47), yaitu menurut Pareto suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seseorang pun dibuat menjadi lebih buruk. Kaldor-Hicks memberikan ukuran suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial, maksudnya adalah membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadan yang memperburuk.

Lembaga Keuangan Mikro-Usaha Simpan Pinjam (LKM-USP) Nelayan, semula diharapkan akan menggantikan kedudukan punggawa dalam penyediaan kebutuhan modal nelayan, ternyata tidak dapat berbuat banyak, mengingat dana yang dikelola relatip kecil dibandingkan dengan jumlah nelayan yang harus dilayani. Tampaknya Koperasi Nelayan Madani lebih menitik beratkan pada unsur komersil daripada unsur pelayanan, karena resiko kredit perbankan dipikulkan kepadanya, sehingga dana PEMP 2006 sebagian besar hanya disalurkan kepada kelompok pemasaran ikan.

Kendala lain dalam pelaksanaan Program PEMP 2006 adalah penyediaan solar untuk nelayan (SPDN) bagi kapal-kapal bermotor nelayan, karena kebijakan tersebut hampir-hampir tidak menyentuh kepentingan kelompok nelayan kecil. Kelompok nelayan kecil hanya memerlukan premium dan minyak tanah untuk menjalankan mesin-mesin tempel pada perahu mereka, bukan solar. Solar dibutuhkan oleh kapal-kapal bermotor dan mesin nelayan ‘bagang’ milik punggawa ikan.

Kapal-kapal bermotor milik punggawa ikan beroperasi di perairan teritorial (sampai 12 mil) atau perairan provinsi dan hasil tangkapan ikan mereka sering dijual di kabupaten lain dan sekaligus melakukan pengisian bahan bakar di tempat menjual ikan tersebut, sehingga jatah SPDN dari Pertamina untuk Koperasi Nelayan Madani Polewali tidak habis terpakai.

Koperasi Nelayan sebagai sasaran perantara dan menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan program PEMP, koperasi nelayan telah menyalurkan pinjaman kredit kepada nelayan secara real dan bertanggung jawab, dalam arti menerapkan manajemen yang baik, karena takut akan sanksi yang akan dikenakan baik oleh lembaga perbankan maupun dari pemerintah (DKP). Bila diteliti lebih dalam, ternyata ketaatan koperasi terhadap peraturan kebijakan PEMP 2006 bukan karena rasionalnya peraturan, tetapi karena berlakunya sistem hukum cybernetics padanya, dimana koperasi dan anggotanya dianggap sebagai suatu komponen yang tidak ada pilihan lain kecuali menaati perintah yang diatur di dalam buku Pedoman Umum dan tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpangi, kecuali atas persetujuan lembaga perbankan dan pembuat aturan.

Ketaatan koperasi terhadap kebijakan pemerintah dan lembaga perbankan diharapkan merupakan faktor pendukung keberhasilan program PEMP. Penyimpangan atas ketentuan penarikan kredit secara aflopend plafond (plafond menurun) menjadi revolving atau dana dapat ditarik berulang kali sampai berakhir jangka waktu perjanjian kredit dan dapat diperpanjang dianggap sebagai suatu pengeculian yang menunjang kelancaran perguliran dana hibah PEMP 2006.

Pemberian bantuan pinjaman yang memprioritaskan kelompok pemasaran ikan ketimbang nelayan tangkap dengan alasan komersil, dipandang sebagai suatu faktor penghambat pengentasan kemiskinan bagi nelayan tangkap pada masyarakat pesisir.

5. Tim Pendamping Desa (TPD) dan Konsultan Managemen

Salah satu lembaga pembantuan dalam menyalurkan dana PEMP adalah Tim Pendamping Desa (TPD ). Tim ini dapat dilakukan oleh perseorangan dan dapat juga oleh suatu badan atau lembaga. Tugas pokoknya yang diatur di dalam Buku Pedoman Umum PEMP bahwa TPD membantu kelompok nelayan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk mengakses permodalan kepada koperasi, bersama Dinas Kelautan dan Perikanan memberikan sosialisasi kepada kelompok masyarakat pesisir tentang maksud dan tujuan PEMP 2006, membantu mangarahkan kelompok nelayan mengatur keuangannya, membina kekompakan kelompok, membantu koperasi melakukan verifikasi kelompok dan membantu koperasi nelayan melakukan penagihan angsuran pokok dan bunga kelompok-kelompok masyarakat pesisir yang menunggak. Aktivitas TPD Kabupaten Polewali Mandar adalah bekerjasama Dinas Kelautan dan Perikanan serta Koperasi Nelayan Madani melakukan verifikasi kelompok nelayan baru yang mengajukan permohonan bantuan dana PEMP. TPD seharusnya juga bertindak sebagai konsultan kelompok nelayan guna membantu mengatasi kesulitan pengaturan keuangan nelayan dengan jalan meminta ketua atau anggota kelompok nelayan melakukan tabungan harian. Namun dalam kenyataannya, Tim Pendamping Desa (TPD) belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik kecuali hanya verifikasi kelompok nelayan, tugas-tugas seperti pembinaan usaha kelompok nelayan dan membantu memberi petunjuk pengaturan keuangan kelompok, membantu koperasi melakukan pendekatan kepada kelompok untuk menyelesaikan kewajibannya belum tampak dilakukan dengan baik. TPD masih sebatas lembaga formalitas saja, sehingga berdampak pada permasalahan wanprestasi kelompok nelayan kepada koperasi nelayan, seperti membengkaknya tunggakan angsuran dan tunggakan bunga kelompok nelayan. Hal ini merupakan indikator utama ketidak-berhasilan TPD yang pada gilirannya dikategorikan sebagai faktor penghambat.

Di samping itu, Konsultan manajemen yang berfungsi membantu Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menata manajemen lembaga-lembaga pelaksana kebijakan, terutama terhadap Koperasi Nelayan dan TPD, sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan program PEMP, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila konsultan manajemen dapat berfungsi dengan baik, maka pelaksanaan pengelolaan dana PEMP 2006 akan berjalan dengan baik pula khususnya kelancaran perguliran dana PEMP 2006. Konsultan manajemen hanya memperjuangkan kepentingan kelompok nelayan tanpa memperhitungkan kondisi koperasi nelayan, sehingga harapan untuk menjadi penunjang malah menjadi faktor penghambat.

6. Sikap Kelompok Nelayan

Menurut hasil penelitian melalui angket (check list) yang dikirim kepada 15 kelompok nelayan yang mewakili 236 (42,1 %) dari anggota yang telah memperoleh bantuan pinjaman dana PEMP (lampiran 7), 93,3 % responden memberikan jawaban, bahwa bantuan pemerintah seperti program PEMP sangat bermanfaat untuk membantu mengatasi kesulitan permodalan nelayan dan bunga yang dibebankan kepada mereka sebesar 21 % pertahun dianggap sedang-sedang saja atau biasa-biasa saja.

Sesungguhnya tingkat suku bunga yang dibebankan oleh Koperasi Nelayan Madani kepada anggotanya sebesar 21 % pertahun sudah termasuk cukup tinggi mengingat bunga perbankan rata-rata hanya 15 % pertahun, tetapi nelayan masih menganggap sedang-sedang saja. Hal ini dapat dimengerti karena respondennya sebagian besar kelompok pemasaran ikan yang selama ini sudah terbiasa menerima pinjaman dengan suku bunga jauh lebih tinggi daripada suku bunga Koperasi Nelayan Madani yaitu pinjaman yang diperoleh dari rentenir dan punggawa ikan. Hasil wawancara dengan beberapa anggota nelayan yang menyatakan, bahwa memang suku bunga tersebut tinggi, tapi mereka bersyukur karena mendapat bantuan pinjaman yang lebih rendah suku bunganya dan angsurannya dari pada pinjaman selain bantuan pemerintah.

Jawaban lain responden tentang bantuan pinjaman dana bergulir PEMP 2006 adalah pengelolaan Koperasi Nelayan Madani adalah baik, perjanjian yang telah dibuat perlu ditaati, karena bila tidak ditaati, pemerintah tidak akan memberikan lagi bantuan, di samping adanya sanksi hukum.

Kesulitan yang dihadapi adalah masalah kurangnya dana yang dikelola oleh Koperasi Nelayan Madani, sehingga kelompok baru memerlukan waktu beberapa bulan menunggu antrian untuk mendapatkan pinjaman. Bentuk pinjaman yang diperlukan dapat berupa uang tunai dan dapat juga peralatan melaut serta kebutuhan hidup sehari-hari.

Selanjutnya, jawaban responden tentang Keberadaan Kedai Pesisir tetap diperlukan, tetapi lokasinya harus lebih mendekati lokasi perkampungan nelayan, agar tidak menyulitkan transportasinya. Penyediaan solar untuk kebutuhan melaut melalui SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan) yang disediakan oleh Pemerintah melalui Koperasi Nelayan Madani ataupun Koperasi Pa’banua hanyalah untuk kepentingan kapal-kapal nelayan besar atau kebanyakan untuk kepentingan punggawa ikan, bukan untuk kepentingan perahu motor nelayan kecil. Perahu motor nelayan kecil hanya menggunakan premium dan minyak tanah. Sehingga sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan juga penyediaan premium dan minyak tanah melalui Koperasi Nelayan.

Faktor budaya hukum masyarakat setempat merupakan faktor yang yang sangat mempengaruhi keberhasilan program PEMP. Dan sekaligus juga sebagai faktor penghambat yang sangat potensial. Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa pelaksanaan penyaluran dana PEMP kepada kelompok nelayan dilakukan dengan menggunakan surat perjanjian pinjam-meminjam uang atau perjanjian kredit tanpa disertai dengan jaminan kebendaan. Perjanjian kredit ini dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat oleh dua orang atau lebih dengan kesepakatan bersama yang disertai dengan itikad baik merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Perjanjian ini dalam kenyataannya tidak menguntungkan pihak koperasi nelayan, karena anggota nelayan yang wanprestasi atas kewajibannya, seperti tidak melakukan pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjamannya, koperasi tidak dapat berbuat apa-apa kecuali melakukan pendekatan persuasif saja terhadap kelompok nelayan yang wanprestasi dan sama sekali tidak mempunyai kemampuan menempuh jalur hukum, mengingat tidak adanya jaminan kebendaan yang diserahkan oleh anggota koperasi nelayan, dan biaya perkara cukup tinggi dibandingkan dengan besarnya pinjaman anggota nelayan.

Hasil wawancara yang menunjukkan ada beberapa orang anggota yang memprovokasi, bahwa bantuan yang diterima dari koperasi nelayan merupakan dana hibah dari pemerintah. Dana hibah yang dikelola oleh Koperasi nelayan dianggap bantuan pemerintah kepada nelayan tidak perlu dikembalikan, karena berasal dari uang rakyat juga, serta tidak mengandung resiko atau sanksi hukum bila tidak dikembalikan.

Apabila hal ini terjadi, yakni sebagian besar anggota koperasi tidak memenuhi kewajiban pembayaran angsuran dan bunganya, maka koperasi nelayan pada suatu titik tertentu, dimana modal yang berasal dari kredit perbankan dikuras oleh beban bunga bank dan pinjaman anggota yang wanprestasi, koperasi nelayan tidak akan mampuh memenuhi kewajibannya kepada lembaga perbankan, yang pada gilirannya lembaga perbankan akan menjatuhkan sanksi kepada koperasi. Bila kejadian ini berulang sampai tiga kali berturut-turut, maka agunan tunai (cash collateral) koperasi akan dicairkan dan nama koperasi beserta pengurusnya akan di black list oleh lembaga perbankan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan.

Apabila koperasi telah di masukkan ke dalam black list, maka sanksi berikutnya adalah koperasi nelayan tidak akan diberikan lagi kesempatan untuk menyalurkan dana bantuan, baik dari pemerintah maupun dari lembaga perbankan, yang berarti kegagalan program pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir. Paham atau pandangan masyarakat seperti inilah merupakan faktor penghambat yang sangat serius terhadap keberhasilan suatu kebijakan pemerintah

Di samping faktor penghambat dari segi budaya hukum terdapat juga faktor pendukung berupa adanya kelancaran anggota nelayan memenuhi kewajibannya karena takut pada ancaman sanksi dari Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa bila anggota tidak memenuhi kewajibannya, maka anggota nelayan dan kelompoknya tidak akan diberikan lagi bantuan dari pemerintah dalam bentuk apapun, tetapi ancaman sanksi ini baru ancaman lisan.

B. Kesimpulan
1.Ketentuan peraturan pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 yang diatur
pada Bab II butir E halaman 9 Pedoman Umum yang menyatakan, bahwa koperasi
menerima DEP sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan
pinjaman dan harus dibukukan sebagai modal tidak tetap, tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU No 25/1992 tentang Perkoperasian. Hal ini
berarti, bahwa peraturan pelaksanaan PEMP 2006 tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 7 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian, ketentuan
pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 tidak taat pada asas hukum Lex
Superior derogat legi inferiori.
2.Pelaksanaan peraturan penerimaan dana PEMP 2006 yang menjadikan dana hibah
sebagai agunan tunai kredit koperasi nelayan pada BRI Polewali menyebabkan
tingginya suku bunga pinjaman kelompok nelayan, lebih menguntungkan lembaga
perbankan ketimbang kelompok nelayan dan koperasinya.

c. S a r a n
1. Peraturan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 yang menjadikan dana hibah sebagai agunan tunai kredit koperasi pada BRI Polewali sebaiknya ditinjau kembali, karena hanya menguntungkan lembaga perbankan dan memberatkan kelompok masyarakat pesisir, khususnya tingkat suku bunga.
2. Sistem Penyediaan solar dan kebutuhan melaut bagi kelompok nelayan perlu ditinjau kembali pelaksanaannya, karena hanya mengutungkan punggawa ikan, bukan nelayan tangkap (nelayan kecil).
3. Penyediaan bahan kebutuhan pokok nelayan dan peralatan melaut bagi nelayan melalui Kedai Pesisir pada lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak efektif karena masalah transportasi. Perlu dipertimbangkan pendirian kios-kios di perkampungan nelayan kecil yang mudah dijangkau.
4. Pembentukan Kelompok-kelompok nelayan di dalam masyarakat pesisir oleh Pemerintah Daerah hendaknya dibuatkan Surat Keputusan dari Dinas Kelautan dan Perikanan agar menjadi dasar hukum berdirinya kelompok nelayan tersebut. Pemerintah Daerah juga perlu menerbitkan Perda yang mengatur ketentuan pengaturan dana bantuan baik bagi pengelola maupun bagi penerima bantuan.

Tidak ada komentar: