Kamis, 22 Juli 2010

Integrated Criminal Justice System di Indonesia

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu hukum memiliki lapisan yang terdiri dari Filsafat hukum, Teori Hukum, Dogmatik hukum (hukum positif) yang diarahkan kepada praktek hukum yang menyangkut dua aspek utama, yaitu Pembentukan hukum dan Penerapan hukum.

Pembentukan hukum di Indonesia termasuk ruang lingkup dan pekerjaan eksekutif dan legislative berdasarkan UUD 45, sedangkan penerapan hukum termasuk ke dalam ruang lingkup dan pekerjaan pihak judikatif yakni pihak Mahkamah Agung bersama jajarannya ke bawah Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri. Para hakim yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara harus mampu melakukan penerapan hukum baik melalui penemuan hukum maupun melalui pengkajian hukum, sehingga dikenal prinsip bahwa setiap perkara pasti ada dasar hukumnya.

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana vide Undang-undang No 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri atas 4 komponen yang masing-masing merupakan susbsistem dalam system peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem Peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal justice system yang sangat berperan dalam menegakkan hukum (law enforcement). Oleh karena itu Muladi sependapat menggunakan istilah integrated criminal justice system dalam rangka untuk lebih mengarahkan pada tekanan integrasi dan koordinasi. Menurut Muladi Sinkronisasi mengandung makna keserempakan dan keselarasan. Sinkronisasi dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi structural (structural syncronization) dan dapat pula bersifat substansial (substancial syancronization) serta bersifat cultural (cultural syancronization) (1995 :1). Namun demikian Muladi juga menyatakan dalam bukunya Kapita Selecta System Peradilan Pidana (1995 : 3) bahwa kita tidak boleh mengharapkan terlalu besar tentang peranan system peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, sebab sistem ini hanya merupakan salah satu sarana saja dalam politik criminal (yang bersifat penal). Sistem peradilan pidana hanya berfungsi terhadap recorded crimes yang menjadi masukannya. Fungsinya pun kadang-kadang tidak dapat bersifat maksimal (total enforcement), sebab demi menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (public order) dan hak-hak individual (individual right), maka batas-batas penegakan hukum dibatasi oleh ketentuan yang ketat.

Suatu substansi hukum yang sangat baik, belum tentu penegakan hukum (law enforcement) secara otomatis baik, karena masih sangat dipengaruhi oleh kualitas atau kemampuan, kemauan, moral dari penegak hukum itu sendiri. Bagaimana pun baiknya substansi hukum tetapi penegak hukum kurang baik, maka penegakan hukum sangat sulit terwujud. Sebaliknya Substansi hukum buruk tetapi penegak hukum baik, masih dapat diharapkan penegakan hukum sedikit lebih baik. Dan yang lebih parah bila substansi hukum dan penegak hukum kedua-duanya buruk, sudah pasti penegakan hukum buruk dan terjadilah pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebaliknya yang ideal bila substansi hukum dan penegak hukum sama-sama baik. Prof Taverne mengatakan berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik, dengan Undang-undang yang kurang baik sekali pun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik
Substansi hukum dan penegak hukum baik, namun penerimaan masyarakat kurang baik bahkan terjadi penolakan karena substansi hukum tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat setempat atau tidak sesuai dengan budaya hukum setempat, maka penegakan hukum juga sulit berjalan dengan baik.

Untuk mencapai harapan penegakan hukum yang baik dan menyangkut unsur substansi, strukral dan budaya hukum setempat, maka diperlukan agar setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan harus menciptakan situasi yang memungkinkan timbulnya partisipasi masyarakat yang bersangkutan. Harus terjadi dialog antara rakyat dengan Pemerintah, lembaga legislative, pengusaha, kelompok-kelompok kepentingan yang ada di dalam masyarakat, sehingga substansi hukum, struktur dan budaya hukum merupakan suatu system terpadu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi penegakan hukum melalui sistem perdilan pidana diIndonesia?
2. Bagaimana perilaku penegak hukum terhadap dimensi kejahatan?

BAB II
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

A. Undang-Undang No 8/1981 tentang KUHAP

Berlakunya Undang Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Undang-undang ini sebagai pengganti Het Herziene Inlandsch Regement Staatsblad tahun 1941 nomor 44 yang dipandang tidak sesuai lagi dengan cita-cita hukum nasional.

Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, maka di dalam Integrated criminal justice system Indonesia menggunakan empat komponen aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat aparat tersebut seharusnya memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan saling menentukan, dengan harapan agar tercipta kesatuan tindakan di antara para aparat penegak hukum.

Pada masa berlakunya HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) staatsblad tahun 1941 nomor 44 sebagai landasan hukum proses penyelesaian perkara pidana, telah terjadi berbagai ekses penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum disebabkan karena tidak mampu memantapkan pelaksanaan tugas dan tujuan masing-masing sebagai bagian dari criminal justice system. Keadaan demikian sering menimbulkan konflik wewenang di antara para aparat penegak hukum terutama dalam masalah penangkapan atau penahanan yang seharusnya ditangani secara berhati-hati karena sangat menyentuh harkat dan martabat tersangka sebagai manusia. Konflik semacam ini jarang sekali diungkap di muka umum dan tidak diselesaikan secara tuntas oleh para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Oleh karena itu sering dilontarkan bahwa criminal justice system hanya sebagai aspirasi saja yang seharusnya diimplementasikan dengan baik secara serius. A. Abu Ayyub Saleh (Hakim Agung RI) mengatakan bahwa permasalahan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia karena tidak berfungsinya sistem ini :
o Setiap subsistem mempunyai kewenangan dan kekuasaan sendiri-sendiri
o Tidak adanya kerjasama antara subsistem
o Tidak/kurang memahami tujuan sistem peradilan pidana itu sendiri oleh oknum-oknum yang bekerja dalam proses peradilan pidana.

Undang-undang no 8 tahun 1981 merupakan landasan terseleng garanya proses peradilan pidana yang benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai manusia, dengan mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses atau disebut criminal justice process dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana pada lembaga pemasyarakatan. KUHAP vide UU No 8 tahun 1981 telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan era baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat KUHAP tidak seperti HIR yang tujuan utamanya hanya untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa mempersoalkan sejauh mana peraturan yang ada dapat memberikan perlindungan atas harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa. UU No 8/1981mengutamakan tujuan bagaimana menghindarkan sejauh mungkin perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia. Selain perlindungan hak asasi tersangka juga terkandung harapan agar penegak hukum berlandaskan undang-undang tersebut memberikan kekuasan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pidana.

B. Penegakan Hukum (law enforcement)

Penegakan hukum dapat dikatakan baik apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak memihak, serta dapat mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penegakan hukum harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai hubungan timbal balik antara perkembangan kejahatan yang bersifat multi dimensi dengan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.

Evaluasi perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga dimensi, yaitu dimensi kepapaan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan. Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapaan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti pencurian, penganiayaan, pencopetan, dan lain-lain. Kejahatan yang bermuara pada dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut ”corporate crime” atau ”white collar crime”. Sedangkan kejahatan yang bermuara pada dimensi kekuasaan akan menghasilkan kejahatan dalam bentuk korupsi atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan pemerintahan atau governmental crime

Di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana pelaku kejahatan yang berdemensi keserakahan dan kekuasaan jarang dihadapkan ke pengadilan dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan. Hal ini disebakan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama. Di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan kolusi

C. Tahap-Tahapan Acara dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Perkara pidana adalah perkara yang menyangkut tindak kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap jiwa, badan atau harta benda, sehingga negara berkewajiban menjatuhkan sanksi bagi mereka yang melakukan kejahatan atau pelanggaran guna menjaga ketertiban umum. Di dalam perkara pidana pemeriksan dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan.

Untuk memperjelas wewenang masing-masing aparat dalam sistem peradilan pidana, berkut ini disajikan tahap-tahapan beracara dalam sistem peradilan pidana.

1. Penyelidikan

Menurut Wasingatu Zakiyah dkk (2002:45) Penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP. Sedangkan Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol. SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang terkandung dalam dua diantara :
- Laporan polisi
- Berita Acara Pemeriksaan Polisi
- Keterangan saksi/saksi ahli
- Barang bukti
Sedangkan barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

2. Penyidikan

Menurut Yahya Harahap (1993 :99) Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi peejabat yang berwenang adalah kejaksaan. Penyidikan harus diawali dengan pemberitahuan kepada penuntut umum sehingga proses penyidikan adalah bagian yang integral dari proses penuntutan karena berawal dari koordinasi jaksa dalam proses penyidikan di polisi. Bila dalam penyidikan tidak diketemukan bukti yang cukup, penyidikan dapat dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jika pihak korban tidak menerima keputusan SP3 dapat mengajukan gugatan pra peradilan terhadap penyidik.

3. Penuntutan

Setelah penyidikan selesai, berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut umum yang disertai surat dakwaan. Menurut pasal 1 (7) KUHAP penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang menurut undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.

4. Pemeriksaan Pengadilan

Persidangan adalah upaya untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sebuah perkara. Persidangan dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim. Bila terdakwa tidak hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi, majelis hakim akan mengundangnya sekali lagi dan bila belum juga hadir majelis hakim berwenang melakukan upaya paksa untuk menghadirkan terdakwa. Pada awal persidangan terdakwa atau pengacaranya dapat mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa sehingga harus dibatalkan dan apabila hakim menerima keberatan terdakwa, sidang langsung selesai, tetapi sebaliknya bila keberatan ditolak persidangan diteruskan dengan pembuktian. Di dalam hukum acara pidana pembuktian salah satu bagian penting karena putusan hakim didasarkan atas bukti (kebenaran materiel) dan keyakinan hakim.

5. Putusan

Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk memutuskan perkara. Putusan diucapkan di persidangan untuk mengakhiri suatu perkara yang berarti menentukan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Apabila bersalah ditentukan jenis hukuman yang harus dibebankan kepada terdakwa, yang berat ringannya tergantung pada tuntutan jaksa dan faktor-faktor yang meringankan.

Putusan hakim dalam perkara pidana dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :

a. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan hukum (vrijspraak) artinya apa yang didakwakan kepada terdakwa oleh jaksa penutut umum menurut surat dakwaannya sama sekali tidak terbukti di persidangan secara sah dan meyakinkan menurut undang-undang (pasal 191 (1) KUHAP).

b. Dilepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atau ontslag van rechts vervolging (pasal 191 (2) KUHAP) artinya apa yang didakwakan kepada terdakwa oleh jaksa penutut umum sesuai surat dakwaannya terbukti secara kenyataan di depan persidangan, tetapi tidak memenuhi persyaratan terdakwa untuk dipidana/dihukum karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak melawan hukum, karena adanya ketentuan alasan pemaaf (pasal 44,49 (1 dan 2) KUHP) dan alasan pembenar (pasal 48,50,51 KUHP), atau perbuatan terdakwa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana/bukan delik (tidak diatur di dalam hukum pidana materiel, bukan kejahatan dan bukan pelanggaran).

c. Putusan yang bersifat menghukum apabila perbuatan terdakwa terbukti memenuhi delik yang didakwakan dan ada unsur melawan hukum.

6. Pelaksanaan Putusan

Putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh Jaksa setelah menerima salinan putusan dari panitera. Jika terdakwa dihukum penjara, jakasa akan membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan dan dikirim kepada lembaga pemasyarakatan. Bila kemudian terdakwa dijatuhi hukuman pidana sejenis, maka hukuman harus dijalani secara berturut-turut.

7. Banding

Apabila salah satu pihak dalam perkara pidana tidak menerima vonis yang dijatuhkan hakim, masih dimungkinkan untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi untuk diperiksa ulang. Dalam sidang banding majelis hakim akan memeriksa ulang seluruh fakta-fakta dalam persidangan tingkat pertama, sehingga pada pengadilan tingkat banding dikenal istilah judex factie. Selanjutnya Pengadilan Tinggi membuat keputusan baru berupa memperkuat vonis pengadilan tingkat pertama atau sebaliknya membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan membuat keputusan baru.

8. Kasasi

Apabila terdakwa atau jaksa masih juga belum puas terhadap putusan banding, masih dimungkinkan untuk mendapatkan keputusan dari lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung. MA melakukan upaya penyatuan hukum guna memberikan kepastian hukum dan menjamin konsistensi dalam setiap putusan pengadilan. MA berfungsi sebagai judex jurist yang hanya memeriksa pertimbangan hukum dan penerapan hukum dalam putusan pengadilan di bawahnya.

9. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya (Kejaksaan). PK hanya diajukan terhadap putusan pengadilan yang tidak memuat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Alasan bagi upaya Peninjauan Kembali
- Munculnya situasi baru yang diduga sudah ada pada saat sidang dilaksanakan yang dikhawatirkan akan mengubah keputusan hakim menjadi putusan bebas, atau tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima berdasarkan situasi baru tersebut.
- Karena satu dan lain hal ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya.
- Apabila putusan yang telah dibuat menampakkan kehilaafan atau kekeliruan hakim

D. Perilaku aparat Penegak hukum

Wasingatu Zakiyah dkk (2002 : v) mengatakan bahwa penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia dapat diibaratkan menegakkan benang basah. Berbagai persoalan terutama korupsi menjadikan penegakan hukum hanya slogan dan pidato kosong. Kenyataan di lapangan menunjukkan hukum bukan lagi keadilan, tetapi hukum identik dengan uang. Hukum dan keadilan dapat dibeli yang akhirnya pengadilan tak ubahnya seperti balai lelang, yang menang tergantung jumlah penawaran. Akibatnya, hukum menjadi barang mahal dinegeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan di pengadilan. Yang terjadi justru sebaliknya, peradilan membutuhkan biaya yang mahal, waktu lama dan bertele-tele, keadilan dan kepastian hukum tidak bisa lagi diberikan oleh peradilan. Usul radikal yang pernah dilontarkan oleh Daniel S. Lev untuk memecat seluruh hakim dan jaksa dan menggantinya dengan orang-orang baru patut dipertimbangkan. Persoalannya sanggupkah pemerintah menyediakan dana yang tidak sedikit untuk menyelenggarakan pelatihan bagi orang baru sebagai penegak hukum? Di dalam praktek sulit untuk diterapkan.

Ada suatu cerita dari seorang pengelola perguruan tinggi swasta di wilayah Jakarta yang ingin bertemu hakim dengan membawa sejumlah uang yang telah disepakati untuk diserahkan kepada hakim tersebut. Dia membayangkan tidak akan menyerahkan uang di ruangan hakim itu karena ada 3 orang hakim lainnya diruangan itu. Namun alangkah kagetnya peneglola perguruan tinggi swasta itu karena sang hakim menyatakan bahwa serahkan saja di sini ( di ruangan hakim tersebut ), lalu si hakim memasukkan satu persatu uang panas itu ke dalam lacinya (Wasingatu Zakiyah dkk, 2002 :xii).
Cerita dari peristiwa kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara mobil yang menabrak penegendara sepeda motor yang menyebabkan luka parah. Pengendara mobil seharusnya ditahan oleh Kepolisian, tetapi malah terjadi tawar-menawar uang pembebasan dihadapan beberapa anggota polisi lainnya. Demikian juga pada saat dilakukan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), petugas terus terang meminta kepada tersangka uang pembeli bensin, dana untuk penebusan kendaraan, dana untuk pemberhentian pengusutan perkara atau perkara tidak diteruskan ke Kejaksaan.

Secara umum perilaku korupsi terjadi pada hampir semua lapisan penegak hukum bukan karena moral yang rendah, namun akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak hukum itu sendiri. Akibatnya menerima uang secara tidak halal menurut persepsi mereka bukanlah suatu yang aneh lagi, tetapi menjadi suatu keharusan untuk mereka lakukan.

Menurut Wasingatu Zakiyah dkk setidaknya ada empat penyebab dari perilaku korupsi penegak hukum, yaitu ;
1. Kesejahteraan / gaji rendah tetapi life style –nya tinggi
2. Adanya ketidakpercayaan timbal balik di antara penegak hukum itu sendiri
3. Akibat pola korupsi yang terjadi pada masa orde baru
4.Tidak adanya standar profesi bagi advokat, sehingga perilaku mereka masih maju tak gentar membela yang bayar


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana vide Undang-Undang No 8 tahun 1981 masih sulit melaksanakan law enforcement atau penegakan hukum sebagai akibat penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Penyalahgunaan wewenang dapat disebabkan karena suap, korupsi, kolusi, nepotisme, solidaritas korps, intervensi penguasa.

Di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana jarang sekali menghadapkan para pelaku kejahatan yang berdemensi keserakahan dan kekuasaan dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, disebabkan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama. Di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan kolusi.

Perilaku korupsi aparat penegak hukum, disebabkan karena tingkat kesejahteraan mereka rendah, tidak adanya kepercayaan timbal balik di antara para penegak hukum tentang kejujuran mereka, korupsi sebagai warisan atau peninggalan orde baru dan tidak adanya standar profesi bagi advokat sehingga sering menjadi penghubung antara terdakwa dengan penegak hukum.

B. S A R A N

Diperlukan suatu undang-undang yang memberikan wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa para penegak hukum dan memberikan sanksi yang cukup berat bagi pelaku korupsi kalau perlu hukum kurungan seumur hidup dan tidak diberikan perlakuan istimewa dari Lembaga Pemasyarakatan.

Kiranya perlu dilanjutkan penayangan foto-foto koruptor melalui media elektronik dan media cetak guna membuat jera aparat penegak hukum melakukan korupsi.

2 komentar:

alie.kurosaki mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
alie.kurosaki mengatakan...

asslm,saya juga orang Manding pak, sama dengan bapak sy mau sharing2 nih pak, , kebetulan saya juga mengecap pendidikan hukum. saya mau nanya, kira-kira jika kita mengadaptasi Ultimatum Remidium yang dimiliki oleh hukum pidana ke dalam hukum administrasi negara, menurut bapak itu memungkinkan tidak pak? sebab selama ini dalam perundangan administrasi negara saya tidak sedikitpun menemukan politik hukum pidana di dalamnya... ide ini muncul kira-kira hanya untuk mengefektifkannya saja... trims