Senin, 19 Juli 2010

SISTEM PENYALURAN DANA HIBAH PEMP 2006

Kebijakan pengelolaan dana hibah Program PEMP 2006 pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu kebijakan pemberian kredit oleh lembaga perbankan kepada koperasi nelayan dan kebijakan pemberian pinjaman kredit dari koperasi kepada kelompok nelayan.

I. Fasilitas Kredit Perbankan dengan agunan tunai ( Cash Collateral )
Kebijakan pemberian kredit kepada koperasi oleh lembaga perbankan disertai jaminan dana hibah dari Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan). Dana hibah dari Pemerintah Pusat yang menjadi beban APBN sejak tahun 2001-2003 diserahkan langsung kepada koperasi nelayan, tetapi pada program PEMP 2006 dana hibah dari Pemerintah Pusat dijadikan jaminan kredit pada lembaga perbankan (cash collateral). Perubahan kebijakan ini menyebabkan tingginya beban bunga pinjaman kelompok nelayan karena pembebanan bunga di samping pembebanan bunga dari koperasi nelayan, juga ada pembebanan bunga dari lembaga perbankan. Hal ini dipandang sudah menyimpang dari konsep dasar bahwa kebijakan PEMP dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan akses permodalan kelompok nelayan, sehingga pemerintah memberikan dana hibah kepada koperasi nelayan agar kelompok nelayan dapat mengakses permodalan dengan cepat dan bunga murah. Kebijakan PEMP bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat pesisir atau kelompok nelayan, kelompok pemasaran ikan skala kecil, pembudidaya ikan skala kecil, pengolahan ikan berskala kecil serta membantu melepaskan nelayan dari lilitan rentenir.

II. Bantuan Pinjaman Bergulir pada Kelompok Nelayan
Peraturan pelaksanaan pemberian kredit kepada kelompok nelayan melalui koperasi nelayan belum diatur secara khusus, terutama mengenai kedudukan agunan yang harus diserahkan oleh anggota kelompok nelayan kepada koperasi mereka. Demikian pula sanksi yang akan dikenakan terhadap anggota nelayan yang wanprestasi atau lalai tidak membayar angsuran kreditnya. Hal ini tidak diatur dalam buku Pedoman Umum Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan-peraturan tersebut belum dibuatkan secara khusus dalam Buku Pedoman Umum khususnya aturan-aturan yang menyangkut kelompok nelayan, sebagai pengguna dana.

Buku Pedoman Umum program PEMP 2006 memuat ancaman sanksi bagi koperasi nelayan yang lalai membayar bunga dan angsuran selama tiga bulan berturut-turut kepada lembaga perbankan, berupa ancaman sanksi akan diblack list oleh pemerintah dan lembaga perbankan, dan tidak akan diberikan lagi bantuan pada tahap berikutnya. Ketentuan tersebut sangat menggelikan, karena yang menikmati dana adalah nelayan tanpa sanksi bila tidak membayar kewajibannya, tetapi koperasi nelayan sebagai penyalur yang dikenakan sanksi black list. Lembaga perbankan lagi-lagi mendapat perlindungan khusus dari pemerintah, berupa diberikannya kewenangan untuk mencairkan dana hibah koperasi nelayan, bila lalai melakukan pembayaran angsuran pokok dan bunga selama tiga bulan berturut-turut.

Mengingat persyaratan agunan pinjaman anggota nelayan yang harus diserahkan kepada koperasi tidak diatur secara khusus oleh pemerintah di dalam buku Pedoman Umum pengelolaan dana hibah PEMP 2006, maka Pasal 1338 KUH Perdata menjadi dasar hukum yang digunakan oleh koperasi nelayan membuat perjanjian pinjam-meminjam uang dengan kelmpok nelayan, guna meminimalisir resiko kerugian akibat wanprestasinya anggota nelayan dalam memenuhi kewajiban pengembalian pinjamannya kepada koperasi nelayan. Walaupun langkah ini dianggap kurang efektif mengingat biaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan jauh lebih besar dibanding kewajiban anggota koperasi yang wanprestasi. Perjanjian pinjam-meminjam uang tanpa disertai dengan jaminan kebendaan yang diikat secara fiduciaire eigendoms overdrach (FEO) mengandung resiko yang cukup tinggi.

1. Perjanjian kredit
Perjanjian sama artinya dengan perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut R. Subekti adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Syahmin AK, (2005:2) mengutip M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.

Apabila koperasi nelayan menggunakan Pasal 1338 KUH Perdata sebagai landasan hukum pembuatan perjanjian atau kontrak dengan para anggotanya, maka perjanjian atau kontrak dimaksud harus mengacuh pada asas-asas atau prinsip-prinsip dasar perjanjian. Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak atau perjanjian, sehingga dapat terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak, menurut Syahmin AK, (2006 :4-8 ) adalah sebagai berikut :
1). Asas kebebasan berkontrak.
Asas ini merupakan suatu prinsip dimana para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam naskah perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUH Perdata asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 yang dirumuskan bahwa Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2). Asas Konsensualitas
Suatu perjanjian timbul apabila ada konsensus atau persesuaian kehendak antara para pihak, dengan kata lain sebelum tercapainya kata sepakat. Kensensus tidak perlu ditaati apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan, ataupun kekelirun obyek kontrak. Pacta sunt servanda artinya adalah setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata)
3). Asas Kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti oleh masyarakat umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1339 dan 1347 KUH Perdata).

4). Asas Peralihan Resiko
Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual-beli, tukar-menukar, pinjam pakai, sewa-menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

5). Asas Ganti Kerugian
Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUH Perdata prinsip ganti kerugian diatur dalam Pasal 1365 yang menentukan “setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang tersebut memberikan ganti kerugian karena kesalahannya yang menimbulkan kerugian. Dengan demikian, untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.

6). Asas Kepatutan
Prinsip ini menghendaki apapun yang dituangkan dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).

7). Asas Ketepatan waktu
Setiap kontrak, apapun bentuknya, harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi (obyek kontrak). Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.

8). Asas Keadaan Darurat (force majeure)
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang amat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik yang berskala nasional, regional maupun kontrak internasional. Hal ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi obyek kontrak. Jika tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia, seperti bencana alam, maka siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam itu?

9). Asas Klausula Pilihan Hukum (Choice of law)
Dalam praktek hukum, seringkali kita melihat para pihak yang mengadakan suatu kontrak yang bersifat internasional memilih hukum dari negara tertentu yang dikehendaki oleh para pihak guna menghindari ketentuan-ketentuan dari suatu negara yang dianggap kurang menguntungkan

2. Jaminan Fiducia (Fiduciaire Eigendoms Overdrach)

Konsep perikatan antara koperasi nelayan dengan anggota kelompok nelayan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat mengikat antara koperasi dan anggota nelayan, bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi akan dikenakan sanksi. Untuk memaksakan masing-masing pihak memenuhi isi perjanjian, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu di dalam praktek biasanya di samping perjanjian kredit dan perjanjian fiducia atau FEO (fiduciaire Eigendoms overdrach). Pernyataan penyerahan hak milik oleh debitur kepada kreditur atau perjanjian fiducia dibuatkan secara notariel dan debitur sejak saat itu berkedudukan sebagai peminjam pakai. Oleh karena itu debitur berkewajiban pula memberikan surat kuasa untuk menjual, dimana kreditur mempunyai pula kekuasaan untuk menetapkan harga penjualan barang tersebut kepada pihak ketiga (Erman Rajagukguk, 1983: 47), Atau dapat diartikan bahwa barang-barang berupa hak milik debitur yang dijadikan sebagai jaminan kredit, disertai surat kuasa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, tetapi debitur sebagai pemilik (hak milik) atas barang jaminan tersebut tetap dapat menggunakan barang dimaksud, tetapi berubah status dari pemilik menjadi hanya sebagai peminjam pakai saja. Dan kreditur mempunyai hak menjual benda fiducia untuk pelunasan piutangnya, bila debitur wanprestasi atau pailit.

Ting Swen Tiong memperingatkan bahwa penjualan barang fiducia dibawah tangan akan memberatkan kreditur juga, terutama bila barang-barang jaminan fiducia tersebut yang dijual dibawah tangan harganya tidak memuaskan debitur, sehingga debitur bisa menggugat kreditur tentang harga tersebut. Untuk mengatasi hal itu Ting Swen Tiong menyarankan agar dalam perjanjian dicantumkan harga minimal dari barang-barang tersebut, jika dijual dibawah tangan (Erman Rajagukguk, 1983 :48).

Di pihak lain Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai hipotik dan lembaga-lembaga jaminan lainnya di Yogyakarta (1977) menyatakan, bahwa karena ketentuan dalam perundang-undangan sekarang yang menetapkan eksekusi terhadap perjanjian-perjanjian jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum, dirasakan sangat merugikan baik kreditur maupun debitur, maka disarankan supaya dibuka kemungkinan eksekusi itu dapat dilakukan dibawah tangan, tetapi penjualan di bawah tangan tersebut harus berdasarkan harga tertinggi dari calon pembeli yang diajukan oleh kedua belah pihak (Erman Rajagukguk, 1983 : 48).

Sepanjang, belum ada pengaturan khusus mengenai perikatan antara koperasi nelayan dan anggota nelayan, maka upaya dalam perhubungan hukum yang dilakukan oleh koperasi nelayan dengan angotanya (nelayan) hanyalah dengan pengikatan fiducia atau FEO.

3. Pemberian Sanksi
Pemberian sanksi terhadap anggota nelayan yang wanprestasi atas kewajibannya terhadap koperasi, berupa dikeluarkan dari anggota kelompok nelayan dan tidak mempunyai hak lagi untuk menerima bantuan apapun dari pemerintah, baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah pada setiap kesempatan berikutnya sangat efektif. Dalam hal ini diperlukan suatu ketentuan perundang-undangan berupa Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemberian sanksi anggota nelayan yang wanprestasi dalam mengembalikan pinjamannya baik terhadap koperasi mereka, maupun terhadap pemerintah.

Penyaluran dana dari koperasi nelayan kepada kelompok nelayan, dipandang lebih menojol unsur bisnisnya dari pada unsur pelayanannya, karena karyawan koperasi harus hidup dari pendapatan bunga yang dibayar oleh anggota nelayan. Di samping itu koperasi juga harus membayar bunga kredit kepada lembaga perbankan serta biaya operasional koperasi.

Sehubungan dengan pemberian pinjaman oleh koperasi nelayan kepada kelompok nelayan yang tidak mensyaratkan jaminan kebendaan berarti koperasi tidak mempunyai lagi kekuasaan atas harta yang dilepaskan dan tidak mempunyai daya untuk menekan kelompok nelayan untuk mengembalikan pinjamannya artinya koperasi nelayan tidak memiliki lagi kekuasaan yang menurut pandangan Machiavelli koperasi tidak memiliki lagi hukum. Koperasi tidak mempunyai kekuatan untuk memperkarakan kelompok nelayan yang wanprestasi, karena walaupun kelompok nelayan kalah dalam perkara perdata, koperasi tidak akan mendapatkan apa-apa untuk disita. Di samping itu, biaya dan waktu menjadi mahal dibandingkan dengan jumlah dana yang dipinjam oleh kelompok nelayan, sehingga dapat dikatakan dalam hal pinjam-meminjam uang tanpa jaminan, pihak kreditur seakan-akan melepaskan kekuasan atas hartanya kepada pihak debitur.

Tidak ada komentar: