Sabtu, 17 Juli 2010

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA PEMP 2006

1. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan pengelolaan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dituangkan ke dalam Buku Pedoman Umum yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pengguna dana PEMP. Pelaksanaannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep 18/Men/2004 dan Keputusan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) No. SK 07/KP3K/I/2006 tanggal 26 Januari 2006 tentang Pedoman Umum Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir.

Pedoman umum tersebut dapat diartikan, sebagai hukum tertulis yang merupakan pedoman pelaksanaan operasional yang mengandung unsur perintah, larangan, hak dan kewajiban. Sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pengguna dana PEMP, bila melanggar ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang ditetapkan dalam Pedoman Umum PEMP. Kebijakan PEMP 2006 merupakan penjabaran Pasal 60 sampai Pasal 64 Undang-undang no 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Substansi kebijakan PEMP 2006 didukung oleh Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang direvisi dengan undang-undang No 10 Tahun 1998, dan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Semua Undang-undang ini merupakan pendukung pelaksanan kebijakan PEMP yang menjadikan koperasi nelayan sebagai wadah dan sasaran perantara yang perlu didukung dan dibantu. Undang-undang tersebut sekaligus merupakan subsistem-subsistem yang saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling mengait dalam membentuk suatu sistem yang disebut kebijakan PEMP. Undang-undang tersebut di atas menjadi pendukung dalam pembentukan pedoman umum kebijakan pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 setelah mengalami proses pada Departemen Kelautan dan Perikanan.

Pasal-pasal Undang-undang dan Peraturan Pemerintah pendukung kebijakan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 adalah sebagai berikut :
- Pasal 5 (1 e) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan, bahwa yang termasuk usaha kecil adalah badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum termasuk koperasi, dengan syarat modal tidak melebihi Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Penjelasan umum undang-undang ini juga menjelaskan bahwa usaha kecil termasuk koperasi perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan dengan berpijak pada kerangka hukum nasional yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terwujudnya ekonomi yang berdasarkan pada asas kekeluargaan.
- Pasal 21 Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa pemerintah, dunia usaha dan masyarakat harus menyediakan pembiayaan yang meliputi antara lain kredit perbankan dan hibah. Pasal-pasal tersebut di atas beserta penjelasan umum undang-undang ini merupakan landasan hukum atau faktor pendukung bagi pemerintah untuk memberikan bantuan permodalan kepada koperasi.
- Pasal 88 Undang-undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menetapkan ketentuan penyisihan dan penggunaan laba mereka untuk pembinaan usaha kecil termasuk koperasi dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN tersebut. Ketentuan perundang-undangan ini mewajibkan BUMN seperti lembaga perbankan milik pemerintah untuk membantu permodalan lembaga perkoperasian yang termasuk usaha kecil. Pasal ini sebagai faktor pendukung bagi koperasi untuk menerima bantuan permodalan dari lembaga perbankan (BUMN)
- Pasal 1 (1) dan Pasal 2 c Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyatakan, bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, saling menguntungkan dengan pola kemitraan antara lain pembiayaan.
- Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 menyatakan, bahwa kerjasama usaha dalam kemitraan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat.
- Pasal 12 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan, bahwa pemerintah dapat menugaskan bank umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha ekonomi lemah atau pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pasal ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah untuk menugaskan perbankan untuk membantu mengembangkan usaha kecil termasuk koperasi yang merupakan faktor pendukung bagi koperasi nelayan mendapat fasilitas perbankan dengan syarat-syarat yang ringan dan mudah.
- Pasal 16 (1) dan Pasal 17 (2) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 menyatakan koperasi simpan pinjam wajib menyediakan modal sendiri dan dapat ditambah dengan modal penyertaan. Unit simpan pinjam koperasi dapat menghimpun modal pinjaman sebagai modal tidak tetap dari anggota dan dari koperasi lainnya.
- Peraturan Pemerintah no 33 Tahun 1998 merupakan dasar hukum bagi modal penyertaan pada koperasi untuk memperkuat permodalannya.
- Pasal 41 ( 1 dan 2 ) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian menyatakan bahwa dana yang berasal dari hibah harus dibukukan sebagai modal sendiri koperasi atau modal tetap, artinya tidak dibukukan sebagai modal tidak tetap atau modal pinjaman. Pasal-pasal undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut di atas menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi, ketentuan modal penyertaan pada koperasi dan ketentuan pembukuan dana hibah dan modal pinjaman.
- Pasal 60 ( 1 ) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudi-daya ikan kecil melalui antara lain penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara mudah, bunga rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Pasal 62 undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun dari sumber lura negeri. Undang-undang ini menjadi dasar hukum dan merupakan faktor pendukung bagi penyediaan dana pinjaman kepada nelayan kecil atau koperasinya.

2. Kebijakan Pengelolaan Dana PEMP
a. Pengertian Kebijakan
Kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam bentuk program Pemp 2006 merupakan suatu paradigma baru dalam melakukan pembangunan ekonomi masyarakat nelayan yang tidak dapat dijelaskan dengan hanya melihat dari satu segi yuridis formal saja, atau segi Hukum Ekonomi saja, atau segi sosiologi saja, tetapi juga memerlukan sudut pandang Hukum Administrasi Negara yang melihat sudut validitas kewenangan, batas-batas kewenangan dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Sudut pandang Hukum Ekonomi menyoroti substansi perundang-undangan terutama mengenai manfaat atau hal-hal yang menguntungkan dan merugikan pihak nelayan. Tinjauan dari sudut yuridis formal dimaksudkan untuk mengetahui landasan hukum atau asas legalitas, taat asas atau tidak, sinkronisasi baik vertical maupun horizontal terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan tersebut dengan mengacu kepada Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan tinjauan sosio-yuridis adalah untuk melihat sampai sejauh mana efektifitas kebijakan dalam masyarakat.

Muhadar (2006:42) memberikan pengertian tentang kebijakan dengan mengutip Henry Campbell Black, Pertama, kebijakan dapat bermakna menerapkan apa yang ditentukan tanpa memperhatikan hasil kebijakan dimaksud. Maknanya mempunyai watak lebih normatif dan oleh sebab itu dapat dipandang sebagai suatu sistem (penerapan) kewenangan. Kedua, menurut Enschede en Heijder yang dikutip oleh Muhadar, bahwa kebijakan juga bermakna suatu penggunaan sebaik-baiknya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang demi suatu hal yang berdayaguna. Kebijakan lebih mempunyai watak yang normatif pragmatis dan oleh karenanya dapat dipandang sebagai suatu sistem pengendalian, yaitu suatu kebijakan yang memperhatikan keselarasan antara paham dan penerapan demi suatu hasil yang berdayaguna. Henry Campbell Black menyatakan, bahwa kebijakan sebagai sistem pengendalian yang rasional ialah suatu sistem kebijakan yang berorientasi pada dampak, proporsionalitas, sarana, waktu dan tujuan yang telah terseleksi. Kebijakan sebagai suatu sistem pengendalian yang bersifat rasional, yaitu sistem yang berorientasi pada penerapan tujuan-tujuannya yang telah diseleksi.

Robert R. Mayer dan Ernes Greenwood merumuskan Kebijakan (policy atau beleid ) sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif, dan David L Sills, mengartikan kebijakan sebagai suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan (Dwidja Priyatno, 2004 :139).

Miriam Budiardjo (2008 : 20) menjelaskan kebijakan sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuatan untuk melaksanakannya.

b. Substansi Kebijakan
Suatu kebijakan dianggap benar bila dapat memberikan manfaat, memuaskan dan sah serta dirasakan adil bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu. Pendapat Charles S. Piere yang dikembangkan oleh William James dan dikutip oleh Imam Syaukani (2004 : 39) bahwa kebenaran suatu pernyataan atau kebijakan diukur dengan kriteria apakah pernyataan atau kebijakan tersebut fungsional dengan kehidupan praktis atau tidak. Bagi kaum pragmatis validitas kebenaran terletak pada manfaat (utility), kemudian dapat dikerjakan dan akibat yang memuaskan. Dari segi Yuridis formal kebijakan itu benar bila mempunyai dasar hukum yang sah, di Indonesia harus menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004.

Unsur keadilan menjadi permasalahan bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu. Menurut Hans Kelsen (2007 : 77) dalam teori nilai relativistic yang bermakna bahwa nilai bersifat relatif bukan mutlak, dan keadilan tidaklah mutlak tergantung dari nilai-nilai yang diterapkan oleh pencipta norma. Sebuah tatanan hukum yang dinilai sebagai tatanan yang tidak adil berdasarkan suatu sistem moral, bisa saja dinilai adil berdasarkan sistem moral yang lain.

Lili Rasjidi (2003 : 119) mengutip John Austin (1790-1859) bahwa hukum merupakan perintah penguasa; hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (obyeknya dipisahkan dari nilai); hukum positif harus memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, diluar itu bukan hukum melainkan moral positif.

Lili Rasjidi (2003:120) mengutip Hans Kelsen (1881-1973) menyatakan bahwa hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir bukan hukum seperti, anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya; hukum harus dibebaskan dari unsur moral; hukum termasuk sollenskategori (hukum sebagai keharusan), bukan seinskategori (hukum sebagai kenyataan). Orang menaati hukum karena memang harus menaati sebagai perintah negara. Kelalaian terhadap perintah itu akan mengakibatkan berurusan dengan sanksi.

Hans Kelsen juga mengajarkan tentang stufentheorie,yang pada dasarnya sama dengan pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah, teori ini dikenal dengan asas lex superior derogat legi inferiori artinya undang-undang yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan undang- undang yang lebih rendah tingkatannya. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya; dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya, sehingga ada tiga penegasan penting ajaran Hans Kelsen, yaitu :

1). Hukum sebagai sistem tertutup atau hukum murni yang harus dipisahkan dari anasir-anasir lain yang bukan hukum,
2). Hukum sebagai sollenskategori atau hukum sebagai keharusan, bukan seinskategori atau suatu kenyataan.
3). Hukum sebagai kesatuan sistem peringkat yang sistematis menurut keharusan tertentu.

Pendapat John Austin, Hans Kelsen tersebut diatas sangat relevan dengan teori hukum cybernetics.Cybernetics diambil dari bahasa Yunani “Kubernetis” yang artinya steersman atau governor diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai alat atau pengatur. Lili Rasjidi (2003 : 66,92) mengutip Norbert Wiener yang mendefinisikan hukum sebagai suatu system pengawasan perilaku yang diterapkan pada system komunikasi yang wujudnya norma-norma yang diproduksi oleh suatu pusat kekuasan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. Hukum dipandang sebagai suatu sistem kontrol searah yang dilakukan oleh sentral organ yang memiliki kekuasaan terhadap system komunikasi. Sistem kontrol searah otomatis-mekanis (cybernetic) menuntun perilaku setiap komponen tanpa adanya penolakan atau komponen tidak memiliki otonomi perilaku. Paradigma hukum positif juga berasumsi dan menempatkan komponen-komponen masyarakat hanya memiliki satu kemampuan yaitu taat perintah, penyimpangan atas perintah dinetralkan melalui sanksi. Kedua teori hukum ini menunjukkan banyak persamaan, sehingga teori cybernetics yang diterapkan di dalam paradigma hukum positif dengan perspektif hukum Eropa Kontinental mempunyai persamaan dengan teori Hukum John Austin dan Hans Kelsen

Apabila substansi kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir yang telah dituangkan dalam Buku Pedoman Umum PEMP tahun 2001-2003 dan tahun 2006, penekanannya lebih menitik-beratkan pada pendekatan Civil law system atau Hukum Positif Eropa Kontinental daripada common law system, maka akan bersesuaian dengan teori sistem hukum Cybernetics oleh Norbert Wiener untuk paradigma hukum positip yaitu suatu teori system mekanis yang secara analog diterapkan kedalam kehidupan masyarakat pesisir bersama lembaga yang terlibat dalam usaha pemberdayaan ekonominya. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa bila suatu kebijakan yang mengacu kepada Civil Law atau sistem hukum Eropa Kontinental atau menurut ajaran Austin dan Hans Kelsen, maka penerapan kebijakan menyerupai sistem tertutup atau hukum murni yang harus dipisahkan dari anasir-anasir lain yang bukan hukum. Kebijakan PEMP dianggap sebagai sollenskategori atau kebijakan sebagai keharusan, dipandang sebagai kesatuan sistem peringkat yang sistematis menurut keharusan tertentu atau hirarkhi perundang-undangan atau azas stufentheorie.

Dalam pengertian ini Wiener memandang hukum atau kebijakan penguasa sebagai pusat pengendalian komunikasi antar individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sebagai tujuannya. Hukum atau kebijakan penguasa itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang disebut sebagai “central organ”. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan penerapan sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan demikian, setiap individu diharapkan berperilaku sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud karenanya (Lili Rasjidi, 2003 : 87).

Persamaan antara cybernetics dengan paradigma hukum positif adalah keduanya memandang hukum sebagai perintah dan control searah. Cybernetics menempatkan komponen masyarakat sebagai Unautonomous component (UO), sedangkan teori hukum positif menganggap komponen massyarakat tidak mempunyai kemampuan kecuali taat perintah.

Dari sudut pandang ekonomi substansi kebijakan seharusnya mengacu kepada konsep-konsep effeciency yang disebut pareto efficiency dan Kaldor-Hicks efficiency. Pareto efficiency (nama seorang ahli ekonomi dari Italia) yang terorinya mempertanyakan bahwa apakah kebijakan atau perubahan hukum tersebut membuat seseorang lebih baik dengan tidak mengakibatkan seseorang lainnya bertambah buruk. Sebaliknya Kaldor-Hicks efficiency (nama dua ahli ekonomi Inggeris) yang mengajukan pertanyaan bahwa apakah kebijakan atau perubahan hukum tersebut akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang mengalami perubahan itu sehingga ia secara hipotetis dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan akibat kebijakan atau perubahan hukum tersebut, disebut juga sebagai pendekatan cost benefit analysis ( Syahmin AK, 2006 : 104 )

c. Kebijakan Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang
Ahmad Kamil (2004:33) menyatakan, bahwa sebenarnya sudah dipahami secara umum, dan tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang yang merupakan produk lembaga legistatif juga dapat mengandung kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan, bagaimanapun cermatnya manusia menyusun dan merumuskan undang-undang. Setelah tiba saat operasionalnya baru muncul dan diketahui berbagai kelemahan dan kekurangan dan bahkan mungkin terdapat hal-hal yang sifatnya mendasar tidak termuat atau tidak terumuskan dalam undang-undang tersebut. Kenyataan ini harus disadari oleh berbagai pihak dan tidak dimanfaatkan sebagai jalur penyelundupan hukum, dalam hubungannya dengan seringnya rumusan undang-undang tercecer jauh di belakang dari perubahan perkembangan nilai-nilai kesadaran masyarakat. Hal ini menunjukkan nilai negatif yang tidak dapat dipertahankan lagi dalam pandangan civil law system, karena pada umumnya undang-undang masih bersifat umum, abstrak dan masih perlu dibuat lebih operasional, mengingat lembaga legislatif tidak mungkin dapat melakukan suatu produk undang undang yang lebih operasional dan mendekati kenyataan, sehingga pemerintah atau Administrasi Negara melakukan penjabaran normatif terhadap undang-undang tersebut menjadi aturan-aturan yang bersifat lebih operasional.

Bila saja undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif yang khusus menekuni bidang tersebut masih dapat terjadi kelemahan dan kekurangan, sehingga diperlukan uji materiel yang saat ini menjadi tugas Mahkamah Konstitusi, apalagi peraturan pelaksanaan operasional yang dibuat oleh Pejabat Administrasi Negara yang lebih dekat dan berhadapan langsung dengan masyarakat, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dan bersifat operasional, lebih konkrit, yang sering mendapat tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh S. Pamudji (1983 : 26) bahwa dewasa ini kelompok-kelompok kepentingan menekankan keinginannya pada proses pembuatan hukum/undang-undang dengan jalan mempengaruhi anggota-anggota badan perwakilan, dan juga badan eksekutif. Demikian kuat pengaruh dan penekanan tersebut sehingga sering Pemerintah terpaksa menerima keinginan-keinginan interest group tadi.

Menurut Rusadi Kantaprawira (1980 : 130) bahwa tugas eksekutif yang hampir selalu berhadapan dengan kasus-kasus nyata yang meliputi seribu satu macam kemungkinan dalam penerapan aturan yang telah ditetapkan. Karena yang diutamakan oleh eksekutif itu adalah tindakan (action), maka orientasinya pun lebih cenderung diarahkan pada kebijaksanaan dan program-program untuk membangun masyarakat secara lebih real, yang tentu saja tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada.

Ukasah Martadisastra, (1983 :31,32) mengutip dari John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus yang mengatakan bahwa Publik administration involves the implementation of publik policy which has been determine by representative political bodies. Pejabat Administrasi Negara berwenang menafsirkan undang-undang dan membuat kebijakan yang wewenangnya diatur dalam Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan atau atau Hukum Tata Usaha Negara, sebagaimana yang diartikan oleh Diana Halim Koentjoro (2004 : 9), produk hukumnya dikenal dengan sebutan legislasi semu (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 99).

Prajudi Atmosudirdjo (1983 : 102) menyatakan, bahwa Administrasi Negara memiliki kewenangan membuat peraturan dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu
1). Penjabaran secara normatif dari ketentuan undang-undang menjadi peraturan (administratif)
2). Interpretasi pasal-pasal undang-undang yang dijadikan peraturan atau instruksi dinas.
3). Penentuan atau penciptaan kondisi-kondisi nyata untuk membuat ketentuan undang-undang dapat direalisasikan (menjadi operasional).

Di dalam literatur Negara-negara Anglo Sakson pembuatan peraturan-peraturan oleh Administrasi Negara disebut Administratif legislation atau delegated legislation. Wewenang Administrasi Negara dalam membuat peraturan-peraturan yang sangat dekat kepada realitas keadaan masyarakat, sangat membantu badan legislatif karena bilamana tidak ada wewenang semacam ini maka segalanya akan macet (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 102).

Prajudi Atmosudirdjo (1983 : 35) menyatakan bahwa diantara undang-undang dalam arti materiel (substansial) itu terdapat semacam hirarkhis, dan undang-undang yang berada dibawahnya sekali-kali tidak boleh melanggar, melawan, atau mengubah ataupun mengabaikan begitu saja undang-undang yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi.

Walaupun Pejabat Administrasi Negara telah diberikan wewenang membuat kebijakan, namun tidak boleh melupakan dan melepaskan diri dari keterikatan dengan landasan filosofis kebijakannya dan yang lebih utama adalah harus mengacu kepada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur pada Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004. Permasalahan utamanya berkaitan dengan penerapan hukum berupa tidak adanya suatu ketentuan yang sifatnya sangat mendasar bagi penerapan nilai-nilai di dalam kehidupan ini. Kelemahan utama adalah ditinggalkannya konsep taat asas yang harus diterapkan baik vertical maupun horizontal, sejak dari peraturan yang tertinggi sampai pada peraturan yang lebih rendah penerapannya harus taat asas ( Sri Redjeki Hartono, 2000 :67 )

Di Indonesia Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi acuan yang harus ditaati suatu kebijakan, seperti termuat pada Pasal 7 (1) :
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3.Peraturan Pemerintah
4.Peraturan Presiden
5.Peraturan Daerah (2)
- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur
- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota
- Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
6. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang diatur pada Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No 10 Tahun 2004 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (4). Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.

d. Kebijakan PEMP Sebagai Suatu Sistem

Lili Rasjidi ( 2003 : 53) memberikan pengertian sistem dengan mengutip teori analogi organis (organic analogy) yang menyatakan bahwa setiap bagian dari keseluruhan dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keutuhan itu. Selanjutnya ia mengutip Menenius Agrippa (zaman Romawi Purba) yang menyatakan bahwa …state, like a living body, is whole and just as the parts of the body are interrelated and require each ather’s pre-sence artinya negara sebagai suatu kesatuan hidup, sebagai suatu keseluruhan yang utuh dan sebagai suatu kesatuan yang tersusun atas bagian-bagian yang tak terpisahkan.

Rusadi Kantaprawira (1980 : 3) menyatakan bahwa sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan di mana di dalamnya terdapat unsur-unsur, elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain berada dalam keadaan kait-mengait dan fungsional. Masing-masing unsur mempunyai sifat-sifat keterikatan, kohesif, sehingga bentuk totalitas unit tersebut terjaga utuh eksistensinya. Sistem dapat juga diartikan sebagai suatu cara yang mekanismenya berpatron (berpola) dan konsisten, bahkan sering-sering mekanismenya bersifat otomatis.

S. Pramudji (1983 : 9) menyatakan bahwa sistem sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh di mana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata cara atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Inu Kencana Syafiie (2003: 1) menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat gangguan.

Menurut Johannes Ibrahim (2004 : 53) bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum.

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kebijakan pengelolaan dana hibah program PEMP merupakan suatu sistem, yang subsistemnya adalah terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan seperti undang-undang tentang perkoperasian, undang-undang tentang usaha kecil, undang-undang tentang perbankan, undang-undang tentang perikanan, undang-undang tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sub-sub sistem tersebut juga terdiri dari lagi dari sub-sub sistem yang lebih rendah tingkatannya seperti peraturan pemerintah tentang kemitraan, peraturan pemerintah tentang usaha simpan pinjam koperasi, peraturan pemerintah tentang modal penyertaan, peraturan menteri BUMN tentang penyisihan keuntungan untuk pembinaan usaha kecil termasuk koperasi, dimana satu sama lain sebagai suatu subsistem saling berhubungan, saling mempengaruhi dalam rangka membentuk suatu sistem yang disebut sistem kebijakan PEMP

Sub-sub sistem tersebut mendukung kebijakan PEMP 2006 dan dijabarkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri, seperti : Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Permenneg BUMN per 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Peraturan-peraturan tersebut dipandang sebagai sub-sub sistem yang membentuk sistem dalam mendukung pelaksanaan program PEMP bagi koperasi nelayan sebagai ujung tombak. Agar peraturan pemerintah tersebut merupakan pelaksanaan real, konkret, dan bersifat operaional, faktor substansial peraturan perundang-undangan yang merupakan subsistem-subsistem harus saling mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk suatu sistem berupa kebijakan PEMP.

Apabila dibuat suatu diagram , maka akan menunjukkankepada kita bahwa semakin banyak subsistem atau semakin sempurna hubungan, keterikatan, kaitan dan pengaruh antar sub-sub sistem yang mendukung kebijakan, maka semakin kecil ruang gerak pemerintah atau pembuat kebijakan menafsirkan pasal-pasal udang-undang pendukung suatu sistem. Semakin banyak subsistem yang membentuk suatu sistem kebijakan, maka semakin kecil kebebasan pemerintah atau pembuat kebijakan membuat peraturan pelaksanaan undang-undang, sehingga kebijakan pemerintah lebih mendekati kehendak undang-undang yang menjadi sub-sub sistem.

Pasal-pasal undang-undang dan pasal-pasal peraturan pemerintah yang membentuk sistem kebijakan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 dapat diihat pada butir 1 Peraturan per-undang2an. Pasal-pasal undang-undang tersebut diatas menjadi sub-sub sistem yang membentuk sistem kebijakan PEMP 2006 dan tidak memerlukan lagi penafsiran yang prinsipil, sehingga dikatakan semakin sempurna hubungan dan keterkaitan antar subsistem dan semakin banyak subsistem yang membentuk suatu sistem kebijakan, maka semakin mengurangi kebebasan pembuat kebijakan menafsirkan undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Penafsiran atasnya dikhawatirkan substansi kebijakan akan lepas konteks tujuan.

Tidak ada komentar: