BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Masyarakat pesisir yang lebih dikenal dengan sebutan kelompok masyarakat nelayan memiliki tingkat kehidupan yang jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok masyarakat petani, pedagang, pegawai dan lain-lainnya. Sebagian besar angggota keluarga masyarakat pesisir termasuk anggota keluarga tidak produktif dari segi ekonomi dalam arti anggota keluarga hanya menggantungkan nasib pada hasil tangkapan ikan suami. Isteri hanya berfungsi sebagai ibu rumah tangga semata-mata. Hasil tangkapan ikan para suami dipasarkan oleh kelompok lain yang tergolong lebih mapan ekonominya seperti punggawa pedagang ikan.
Kelompok punggawa sebagian besar melakukan fungsi ganda yaitu di samping sebagai punggawa juga sebagai rentenir. Disatu sisi nelayan harus membayar bunga tinggi atau membeli barang yang disediakan punggawa dengan harga lebih tinggi, disisi lain nelayan juga berkewajiban menjual ikan kepada punggawa dengan harga lebih rendah sebagai konpensasi pemberian pinjaman dana untuk memenuhi kebutuhan. Praktek inilah yang mencekik leher nelayan selama ini dan nelayan tidak bisa melepaskan diri dari dilemma ini karena tidak mempunyai pilihan lain, sehingga tingkat kehidupan nelayan ketinggalan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Jumlah anggota yang termasuk kelompok nelayan kecil yang menangkap ikan secara tradisional di Kabupaten Polewali Mandar menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan mencapai sekitar 16.000 kepala keluarga.
Pemerintah mengidentifikasikan keterbelakang kelompok nelayan kecil, sebagai akibat dari rendahnya budaya kewirausahaan, kurangnya partisipasi dalam usaha produktif dan tersumbatnya akses permodalan. Pemerintah hendak mengubah kondisi ini melalui perubahan budaya seperti menumbuhkan bakat kewirausahaan bagi anggota keluarga nelayan melalui penyuluhan mengenai betapa pentingnya nelayan berkelompok, mendidik berkoperasi dan mengarahkan agar hasil tangkapan ikan suami dipasarkan sendiri oleh isteri atau anggota keluarga lainnya.
2. PERMASALAHAN
a. Bagaimana pelaksanaan Program Pemp 2006?
b. Apa faktor-2 penghambat dalam pelaksanaanya?
BAB II
PROGRAM PEMP TAHUN ANGGARAN 2006
Kebijakan Pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat pesisir berupa pemberian dana hibah kepada Koperasi Nelayan dalam rangka penguatan modal atau dikenal dengan nama Dana Penguatan Modal (DPM) Koperasi Nelayan.Kebijakan ini dikenal sebagai Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir tahun anggaran 2006. Dana hibah tersebut harus dijadikan agunan kredit (cash colletaral) pada lembaga perbankan. Kebijakan PEMP 2006 melibatkan empat lembaga, yaitu :
• Pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan)
• Lembaga perbankan,
• Koperasi Nelayan dan
• Kelompok Nelayan.
1. Pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan)
Kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi berupa pemberian hibah dalam rangka penguatan modal koperasi nelayan (DPM) atau dikenal sebagai Dana Ekonomi Produktif (DEP) Pemberdyaan Ekonomi Masyarakat Pesisir tahun Anggaran 2006 (untuk selanjutnya ditulis PEMP 2006). Dana tersebut ditujukan kepada Masyarakat Pesisir yang lebih dikenal dengan nama kelompok masyarakat nelayan guna membantu mengatasi kesulitan akses permodalan.
Pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan khususnya untuk mensejahterakan masyarakat pesisir, bersama Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif melahirkan berbagai peraturan undang-undang dibidang ekonomi seperti Undang-undang No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan, Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang perikanan dan Undang-undang no 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, merupakan sumber hukum (hukum ekonomi) kebijakan Alokasi Dana Program Pemp 2006.
Selanjutnya, timbul pertanyaan bahwa sampai sejauh manakah manfaat bagi kelompok nelayan atas kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan yang dituangkan dalam buku pedoman umum pelaksanaan Alokasi Dana hibah Program Pemp 2006, yang substansinya bersumber dari pasal-pasal 60 (1) Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang perikanan, yang menyatakan bahwa :
Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil melalui :
a. Penyediaan Skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil, baik untuk modal usaha maupunbiaya operasional dengan cara yang mudah, bunga rendah dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil.
b. Penumbuh-kembangan kelompok nelayan kecil, kelompok pembudidaya-ikan kecil dan koperasi perikanan
Kemudian dari pada itu penjelasan pasal 21 Undang-undang No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil menyatakan bahwa Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat harus menyediakan pembiayaan yang meliputi antara lain Kredit perbankan dan hibah. Peraturan perundang-undangan ini mensyaratkan pemberian bantun kepada nelayan kecil baik dalam bentuk hibah maupun pinjaman kredit perbankan dengan bunga yang rendah dan cara yang mudah melalui koperasi mereka (nelayan).
Kebijakan teknis Pelaksanaan Program PEMP 2006 dituangkan Dalam bentuk Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir tahun Anggaran tahun 2006 sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan No 18/Men/2004 dan Keputusan Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. SK07/KP3K/I/2006 tanggal 26 Januari 2006 merupakan delegated legislation yang dimiliki oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dimana secara substantitif bertentangan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Kebijakan departemen Kelautan dan Perikanan yang memerintahkan kepada Koperasi Nelayan untuk menjadikan dana hibah sebagai modal tidak tetap (dimasukkan kedalam modal pinjaman koperasi) bertentangan dengan pasal 41 ayat 1 undang-undang no 25 tahun 1992 tentang perkoperasian dan tidak mengindahkan tujuan awal atau filisofi program pemberian bantuan kepada pengusaha kecil dan kelompok nelayan sebagaimana yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal peraturan perundangan tersebut diatas.
Pelaksanaan kebijakan Pemerintah ini hanya memberikan keuntungan kepada lembaga perbankan dan sedikit memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir. Dikatakan demikian, karena penyaluran dana hibah Pemp 2006 sebagian besar dinikmati nelayan yang tergolong ke dalam “pemasaran ikan”, sedangkan nelayan tangkap sedikit sekali yang tersentuh program ini. Hal ini disebabkan karena koperasi nelayan juga memperhitungkan “untung rugi” pengelolaan dana kredit bank dan resiko pengembalian angsuran kredit.
2. Lembaga Perbankan
Lembaga Perbankan khususnya Bank Pemerintah seperti Bank Rakyat Indonesia adalah suatu lembaga keuangan yang sudah mapan, dan termasuk usaha yang berskala besar atau berskala nasional. Lembaga keuangan seperti ini seyogyanya turut membantu masyarakat kecil yang berada disekitarnya seperti nelayan yang dililit utang dari rentenir, tetapi karena lembaga perbankan yang selalu diliputi unsur kehati-kehatian sebagaimana halnya dengan lembaga keuangan atau lembaga komersil lainnya, hanya terpaku pada kelayakan usaha nasabah atau relasi dan agunan kebendaan, sehingga analisa pemberian pinjaman kredit merupakan benefit cost analysis. Hal itu menyebabkan kelompok nelayan kecil dan koperasinya tidak menjadi perhatian mereka, karena tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Lembaga legislative telah mengeluarkan undang-undang No. 7 tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perbankan? Pasal 12 menyatakan bahwa Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada koperasi dan pengusaha ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang kemitraan yang menurut penjelasan pasal 1 (1) menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian usaha kecil tersebut adalah badan Hukum koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-undang No 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang kemitraan juga menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, saling dan menguntungkan dengan pola kemitraan antara lain pembiayaan (pasal 2c). Penjelasan Undang No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 1 (8) menyatakan bahwa kerjasama usaha dalam kemitraan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat. Peraturan perundang-undangan inilah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah (Dinas Kelautan dan Perikanan ) untuk melibatkan lembaga perbankan guna menampung dana hibah untuk Koperasi nelayan (usaha kecil) yang dijadikan jaminan kredit (cash colleteral).
Penetapan Dana hibah sebagai agunan kredit merupakan usaha pengerahan dana murah oleh lembaga perbankan (tanpa bunga) disatu sisi, dan disisi lain mendapatkan bunga dari kredit yang dialokasikan kepada Koperasi Nelayan yang pada gilirannya menjadi beban kelompok nelayan. Dengan demikian, sekali lagi kelompok nelayan dipihak yang lemah dijadikan lagi sapi perahan. Lembaga perbankan bukanlah suatu mitra kerja yang baik bagi nelayan, karena selama ini tidak pernah mau melirik nelayan dalam pemberian kredit. Usaha nelayan dianggap tidak layak dibiayai dari kacamata ekonomi, tetapi setelah nelayan mendapat dana hibah, maka lembaga perbankan seakan-akan berlomba merayu Pejabat Administrasi Negara agar mau membuat perjanjian kerjasama dibidang pemberian kredit dengan jaminan tunai (cash colletral) yang berasal dari dana hibah koperasi nelayan agar dapat disalurkan kepada mereka. Sebagaimana terlihat perjanjian kerja sama antara Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan dengan
BRI No. K.14/KP3K-BRI/VII/05
B.530-Dir/PRG/07/2005 tanggal 18 Juli 2005.
Timbul pertanyaan, mengapa tiba-tiba terjadi perubahan sikap lembaga perbankan? Bagaimana tidak, bukankah pemberian kredit dengan jaminan cash colletral suatu bisnis yang sangat menguntungkan. Disatu sisi, lembaga perbankan mendapat dana murah (tanpa bunga) berupa dana hibah yang mengendap pada lembaga perbankan dan di sisi lainnya, yaitu pemberian kredit memberikan keuntungan bunga tanpa menanggung resiko kemacetan kredit, karena bilamana tiga bulan berturut-turut Koperasi tidak memenuhi kewajibannya membayar bunga, maka jaminan kredit (cash collateral) langsung dicairkan seluruhnya oleh perbankan dan koperasi nelayan di black list oleh Pemerintah dan lembaga perbankan.
3. Koperasi Nelayan
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1995 tentang pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi dan Peraturan Pemerintah No 33 tahun 1998 tentang modal penyertaan pada Koperasi sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang no. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Pasal 16 (1) Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1995 menyatakan bahwa Koperasi simpan pinjam wajib menyediakan modal sendiri dan dapat ditambah dengan modal penyertaan. Pasal 17 (2) menyatakan bahwa unit simpan pinjam melalui koperasi dapat menghimpun modal pinjaman sebagai modal tidak tetap dari anggota, kopersi lainnya dan atau anggotanya. Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-undang no 25 tahun 1992 tentang perkoperasian menyatakan bahwa dana yang berasal dari hibah harus dibukukan sebagai modal sendiri koperasi (modal tetap), bukan modal pinjaman (modal tidak tetap). Sedangkan pasal 42 (ayat 1 dan 2) mengizinkan pemupukan modal dari penyertaan.
Koperasi Nelayan Madani diberikan kepercayaan oleh Pemerintah untuk mengelola Dana Penguatan Modal (DPM) Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Polewali Mandar tahun anggaran 2006, sesuai Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar No. 523/340/DKP tentang Koperasi Pelaksana Penyaluran Dana Ekonomi Produktif (DEP) Penjaminan Tunai dan Pengelolaan Kedai Pesisir PEMP tahun anggaran 2006 berdasarkan surat usulan Dinas Kelautan dan Perikanan No. 523/303/DKP tanggal 7 Jui 2006 perihal usulan penunjukkan Koperasi Nelayan Madani.
Dari segi penyaluran dana kepada Kelompok Nelayan, belum ditemukan suatu peraturan yang secara khusus mengikat bagi para anggota Koperasi yang ‘wanprestasi’ dalam mengembalikan pinjamannya. Buku Pedoman Umum Departemen Kelautan dan Perikanan tersebut di atas belum mengatur ketentuan di maksud, sehingga Koperasi Nelayan berinisiatif sendiri menggunakan Hukum Perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “kebebasan membuat perjanjian diantara para pihak secara sukarela merupakan undang-undang bagi mereka yag membuatnya”, ketentuan pasal ini merupakan suatu asas hukum dalam membuat perjanjian.
Dalam pelaksanaannya ternyata hukum perjanjian umum tersebut tidaklah efektif untuk menangani kasus anggota Koperasi Nelayan Madani yang wanprestasi mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh jalur hukum (Pengadilan) cukup tinggi ketimbang jumlah dana yang akan dituntut pada anggota yang wanprestasi. Karena dana pinjaman yang dinikmati oleh tiap anggota kelompok nelayan yang jumlahnya rata-rata berkisar hanya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta.
Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu konsep perikatan yang dapat memberikan perlindungan pada semua pihak yang tertlibat dalam pengelolaan dana PEMP. Timbul pertanyaan seperti apa konsep perikatan itu. Untuk menjawabnya marilah kita cermati dulu arti “perikatan” itu sendiri.
Perikatan sama artinya dengan perjanjian yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Menurut pasal 1313 Buku III Bab II KUH Perdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut R. Subekti adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Sementara menurut M. Yahya Harahap suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi. (Syahmin AK, 2005:2).
Konsep perikatan antara Koperasi Nelayan dan anggota kelompok nelayan merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat mengikat antara Koperasi dan anggota nelayan, bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi. Untuk memaksakan masing-masing pihak memenuhi isi perjanjian, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
• Di dalam praktek biasanya di samping perjanjian kredit dan perjanjian fiducia atau FEO (fiduciaire Eigendoms overdrach), dibuat juga pernyataan penyerahan hak milik dan debitur sejak saat itu berkedudukan sebagai peminjam pakai. Oleh karena itu debitur berkewajiban pula memberikan surat kuasa untuk menjual, dimana kreditur mempunyai pula kekuasaan untuk menetapkan harga penjualan barang tersebut kepada pihak ketiga (Erman Rajagukguk, 1983: 47), Atau dapat diartikan bahwa barang-barang berupa hak milik debitur yang dijadikan sebagai jaminan kredit, disertai surat kuasa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, tetapi Debitur sebagai pemilik ( hak milik) atas barang jaminan tersebut tetap dapat menggunakan barang dimaksud, tetapi berubah status dari pemilik menjadi hanya sebagai peminjam pakai saja. Dan kreditur mempunyai hak menjual benda fiducia untuk pelunasan piutangnya, bila debitur wanprestasi atau pailit..Prof Ting Swen Tiong memperingatkan bahwa penjualan barang fiducia dibawah tangan akan memberatkan kreditur juga, terutama bila barang-barang jaminan fiducia tersebut yang dijual dibawah tangan harganya tidak memuaskan debitur sehingga debitur bisa menggugat kreditur tentang harga tersebut. Untuk mengatasi hal Ting Swen Tiong menyarankan agar dalam perjanjian dicantumkan harga minimal dari barang-barang tersebut, jika dijual dibawah tangan (Erman Rajagukguk, 1983 :48).. Di pihak lain Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai hipotik dan lembaga-lembaga jaminan lainnya di Yogyakarta (1977) menyatakan, bahwa karena ketentuan dalam perundang-undangan sekarang yang menetapkan eksekusi terhadap perjanjian-perjanjian jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum dirasakan sangat merugikan baik kreditur maupun debitur, maka disarankan supaya dibuka kemungkinan eksekusi itu dapat dilakukan dibawah tangan, tetapi penjualan di bawah tangan tersebut harus berdasarkan harga tertinggi dari calon pembeli yang diajukan oleh kedua belah pihak (Erman Rajagukguk, 1983 : 48). Sepanjang, belum ada pengaturan khusus mengenai perikatan antara Koperasi Nelayan dan anggota nelayan, maka satu-satunya upaya dalam perhubungan hukum yang dilakukan oleh Koperasi Nelayan dengan angotanya (nelayan) adalah pengikatan fiducia atau FEO.
• Peraturan Daerah atas pemberian Sanksi non materiel. Pemberian sanksi non materiel terhadap anggota nelayan yang wanprestai atas kewajibannya terhadap koperasi, berupa dikeluarkan dari anggota kelompok nelayan dan tidak mempunyai hak lagi untuk menerima bantuan apapun dari pemerintah baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah pada setiap kesempatan berikutnya. Dalam hal ini diperlukan suatu ketentuan perundang-undangan berupa Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemberian sanksi anggota nelayan yang wanprestasi.dalam mengembalikan pinjamannya baik terhadap koperasi mereka, maupun terhadap pemerintah.
4. Kelompok Nelayan Kecil
Sejak dulu Kelompok masyarakat nelayan kecil atau nelayan tradisional hidup dari keterbelakangan. Hidup dalam kesulitan, baik perupa kehidupan sehari-hari maupun berupa kesulitan mendapatkan permodalan untuk usaha mereka. Lembaga keuangan seperti lembaga perbankan sangat tidak tertarik dalam membantu pemberian kredit untuk modal usaha mereka, disebabkan selain tidak memiliki jaminan kebendaan yang merupakan persyaratan mutlak bagi lembaga perbankan dalam pemberian kredit, juga usaha mereka menangkap ikan dianggap sebagai bukan usaha yang layak dibiayai. Itulah sebabnya, walaupun undang-undang perbankan mensyaratkan untuk memberikan bantuan terhadap usaha kecil termasuk koperasi nelayan tidak pernah terwujud. Untuk membantu mengatasi permasalaan kelompok ini Pemerintah meminta agar mereka berkelompok dan mendirikan koperasi sendiri (koperasi nelayan) agar memudahkan pemerintah memberikan bantuan. Tahun 2001 dan 2003 dana hibah di salurkan langsung kepada koperasi mereka, tetapi entah kenapa Pemerintah berbalik haluan setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional dana hibah tahun 2006 harus dijadikan agunan kredit kepada lembaga perbankan, sehingga lembaga perbankan memperoleh keuntungan di samping mendapat bunga kredit dari koperasi nelayan, juga mendapatkan dana murah tanpa bunga.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Pemberian Dana Hibah kepada koperasi Nelayan dalam rangka pelaksanan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk dijadikan agunan kredit pada lembaga perbankan tidak membantu kelompok nelayan mengatasi kesulitannya, tetapi hanya menguntungkan lembaga perbankan.
b. Diperlukan peraturan khusus dalam rangka penyaluran kredit kepada kelompok nelayan terutama mengenai sanksi bila anggota kelompok nelayan wanprestasi dalam mengembalikan pinjamannya.
2. S A R A N
Di samping dana hibah untuk koperasi nelayan dalam rangka membantu mengatasi kebuntuan akses permodalan nelayan, perlu dipertimbangkan juga dana penyertaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ataukah diterapkan system campuran antara modal dana hibah, modal penyertaan dan modal kredit perbankan yang ditujukan untuk pendirian Bank Perkreditan Nelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar