Sabtu, 17 Juli 2010

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM?

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi yang cukup pesat yang didukung oleh kemajuan di bidang teknologi menyebabkan hampir-hampir seluruh kebutuhan dalam kehidupan manusia dipenuhi melalui usaha kerjasama, baik usaha yang belum berbadan hokum, maupun yang sudah berbadan hukum yang disebut korporasi. Khusus di Indonesia kegiatan ini tampak lebih menonjol di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya. Setiap orang yang ingin memenuhi kebutuhannya, ia dapat bekerja pada suatu badan hokum, baik yang berbadan hukum public maupun berbadan hukum privat. Mereka yang berprofesi sebagai buruh, karyawan, maupun sebagai kelompok managemen dan pemilik usaha sering terlibat dalam usaha kerjasama. Bentuk kerjasama mereka berupa korporasi yang dapat berbentuk badan hukum seperti PT, CV, Firma dan sebagainya, dan ada juga yang belum berbadan hukum seperti perkumpulan-perkumpulan, lembaga-lembaga social dan berbagai macam usaha kecil yang didorong pertumbuhannya oleh Pemerintah. Di samping itu ada juga yang bekerja sama pada perusahaan-perusahaan Negara atau badan hukum BUMN, Perjan, Perbankan dan Pegawai Negeri sipil diberbagai instansi pemerintah yang dikategorikan sebagai badan hukum public.Dalam perkembangannya, pelaksanaan operasional dari berbagai jenis korporasi, sebagian besar bermotifkan ekonomi berupa usaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara guna memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya yang terlibat dalam usaha kerjasama tersebut. Hal ini terlihat mulai dari pemilik usaha, kelompok managemen dan kelompok karyawan atau buruh berupaya dengan sekuat tenaga untuk mencapai tujuan mereka yang telah ditentukan sebagai tujuan korporasi. Karena masing-masing korporasi mengejar tujuan yang sudah ditentukan oleh mereka, maka timbul persaingan-persaingan tajam di antara badan usaha atau korporasi yang tidak sedikit melakukan pergesekan-pergesekan, kecurangan-kecurangan, bahkan ada juga yang melanggar rambu-rambu hukum yang dapat dikategorikan sebagai “kejahatan korporasi”. Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsinya, berupa penyelenggaraan ketertiban umum, perlindungan terhadap yang lemah, memberikan rasa aman terhadap rakyat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan yang tidak kalah pentingnya adalah usaha menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, membuat aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan hidup bermasyarakat termasuk kegiatan usaha korporasi. Peraturan perundang-undangan yang dibuat terutama ditujukan kepada usaha-ussaha yang belum ada aturan hukumnya, atau aturan hukumnya sudah tidak up to date lagi ataukah aturan hukumnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang.

2. Permasalahan
Badan usaha Korporasi yang melakukan pelanggaran atau melakukan tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi, telah menimbulkan permasalahan dalam penerapan sanksi, karena belum terjadi kesepakatan para ahli, mengenai subjek hukum yang harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi. Padahal dalam kenyataannya sudah banyak terjadi pelanggaran hukum atau tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yang merugikan pihak lain atau masyarakat pada umumnya
Terdapat 3 pendapat mengenai subjek hokum yang harus mempertanggungjawabkan pelanggaran pidana korporasi, yaitu :
1. Pengurus Korporasi,
2. Korporasinya
3. Pengurus bersama Korporasi.

Dalam hal ini timbul masalah, yaitu bila sanksi pidana hanya ditujukan kepada pengurus, dikhawatirkan sanksinya terlalu ringan dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya. Bila dibebankan kepada korporasi bagaimana bentuk pidananya bila termasuk pelanggaran berat. Dan pendapat ketiga adalah subyek hukum yang harus mempertanggung jawabkan adalah Pengurus dan korporasinya. Alternatif yang ketiga ini rasanya sudah mendekati kebenaran demi terciptanya keadilan, tinggal bagaimana pertimbangan “penegak hUkum” untuk mencapai kebenaran, kepantasan, dan hukuman yang setimpal agar tercipta keadilan di dalam masyarakat.

B. TINJAUAN TEORI BADAN HUKUM

Di muka telah disebutkan bahwa perkembangan ekonomi yang didukung oleh kemajuan pesat dibidang teknologi, peranan korporasi semakin menonjol, hampir seluruh kebutuhan hidup diatur dan disuplai oleh korporasi. Sebagian besar individu terutama di kota-kota besar melibatkan diri dalam kegiatan korporasi baik sebagai anggota atau buruh, karyawan maupun sebagai pimpinan dan pemilik korporasi. Di sisi lain aturan main atau hukum yang mengaturnya berjalan tertatih-tatih jauh ketinggalan dibelakang. Timbul pertanyaan mengapa terjadi hal itu dan apakah sebenarnya itu korporasi?, untuk mengetahui permasalahannya perlu diangkat beberapa pengertian tentang Koperasi dari para ahli. Perlu dipahami teori-teori tentang badan hukum atau korporasi dan bagaimana bentuk hukum yang ideal agar tidak merugikan pihak lain di dalam masyarakat.

Menurut dosen Dr. H. Andi Abu Ayyub Saleh, SH.MH, (hakim Agung) bahwa untuk memahami pengertian Korporasi harus dilihat dari berbagai disiplin ilmu, antara lain :

a. Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Dagang
Menurut pandangan disiplin ilmu ini korporasi disamakan dengan badan hukum, suatu sudut pandang yang melihat eksistensinya atau keberadaannya yang meliputi syarat-syarat berdirinya, jenis-jenisnya dan kemampuan hukum yang dimilikinya.
Dari sudut pandang ini korporasi diartikan oleh Chidir Ali “sebagai badan hukum dan dinyatakannya sebagai subjek hukum sesuai dengan pengertian yang diberikan bahwa subjek hukum adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban (2001 : 18)”.
Beberapa pakar memberikan pengertian korporasi dari perspektif hukum perdata, antara lain : Maijers bahwa badan hukum meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. R. Subekti berpendapat bahwa badan hukum (korporasi) pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Rahmat Soemitro berpendapat, bahwa badan hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Sedang menurut Wirjono Projodikoro bahwa korporasi sebagai suatu badan hukum (2001: 18-20)

b. Perspektif Hukum Konsumen
Dalam perspektif ini korporasi atau badan usaha diberi istilah pelaku usaha, sebagimana disebutkan dalam pasal 1 butir 3 UU Perlindungan Konsumen, yaitu Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi ( Yusuf Shofie, 2002 : 15).

c. Perspektif Kriminologi
Prespektif ini melakukan pembahasan pada persoalan faktor yang menyebabkan korporasi melakukan kejahatan dan faktor-faktor pendukung timbulnya kejahatan serta akibat yang ditimbulkan kejahatan korporasi. Dengan pendekatan pada sisi korban kejahatan korporasi akan dijumpai suatu kondisi objektif bahwa korporasi dalam aktivitas usahanya cenderung melakukan kejahatan yang membahayakan dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat luas (J.E. Sahetapy, 1994 : 41-44)

d. Perspektif Hukum Pidana
Dari pserspektif ini korporasi mengalami perluasan makna, menurut pasal 1 (13) UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika atau pasal 1 (19) UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika memberikan pengertian bahwa korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan. Rancangan KUHP Baru tahun 1999/2000 berbunyi Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum ataupun bukan.
Dari pengertian yang diberikan para pakar tersebut di atas tentang korporasi, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum, termasuk sebagai subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban, dapat digugat dan dapat digugat baik secara perdata maupun secara pidana.
Untuk memudahkan pembahasan perlu juga dikemukakan pembagian Badan Hukum (korporasi) menurut jenisnya :

a. Badan hukum Publik
Suatu badan hukum menurut Setyono yang mempunyai territorial yang harus menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal didaerah atau wilayah tersebut. Misalnya wilayah Negara RI dari Sabang sampai Merauke. Di samping itu badan hukum public yang tidak mempunyai wilayah territorial seperti Bank Indonesia, dibentuk oleh yang berwajib dengan tujuan tertentu saja. Demikian juga Perjan, dan Perum

b. Badan Hukum Privat (keperdataan)
Adalah badan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang perorangan. Misalnya Perkumpulan, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan

Selanjutnya, sebagai landasaan berpijak pembahasan tentang korporasi, perlu disajikan teori-teori Badan Hukum (korporasi) yang dikelompok menjadi 2 bagian, yaitu

1. Teori kekayaan bersama dan teori organ.
a. Chidir Ali memberikan uraian Theori Propriete Collectief (teori kekayaan bersama), teori ini berasal dari Rudolf Von Jehring yang disebut sebagai teori kekayaan. Korporasi memiliki harta kekayaan yang merupakan harta kekayaan bersma. Orang yang terhimpun di dalamnya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum yang disebut suatu “kontruksi yuiridis”.

b. Otto Von Gierke mengemukakan teori Orgaan. Menurut teori ini badan hukum adalah suatu realitas yang sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia yang ada di dalam pergulan hukum. Badan hukum mempunyai kehendak dan kemampuan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota). Dan apa yang mereka putuskan adalah kehendak atau kemauan badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.

2.Teori yang termasuk golongan kedua hendak mempertahankan persoalan badan hukum seperti teori fiksi, teori kekayaan yang bertujuan, dan teori kekayaan yuridis.

a. Teori fiksi dikemukakan oleh F.C. Von Savigny dan Opzemer menyatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Sebenarnya menurut alam hanya manusia saja subjek hukum, badan hukum hanya fiksi saja artinya suatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangan suatu pelaku hukum sebagai subjek hukum yang diperhitungkan sama dengan manusia.

b.Teori harta kekayaan bertujuan atau Doel Vermogens Theori. Ajaran ini terkenal dengan nama Zwekvermogen yang dikemukakan oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah hak-hak yang tidak dipunyainya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan milik suatu tujuan.

c. Teori kekayan Yuridis atau Juridische Realiteitsleer dikemukakan oleh Meijers bahwa badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit/riil, walupun tidak bisa diraba, bukan khayal tapi suatu yuridis-realitas. Teori ini menekankan bahwa hendaknya dalam mepersamakan badan hukum dengan manusia terbatas pada bidang hukum saja (Chidir Ali, 1999 : 31-35).
Menurut Andi Abu Ayub Saleh bahwa pendapat J.H.P. Bellfroid mengaskan bahwa telah menjadi sebuah realitas di tengah masyarakat, dimana badan hukum telah ditempatkan dan menempatkan dirinya sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang berarti bahwa badan hukum (korporasi) tersebut adalah juga subjek hukum di samping manusia alamiah.
Teori-teori tersebut di atas tampak masih mempertentangkan apakah Korporasi dapat bertindak sebagai subjek hukum atau tidak, terutama yang termasuk teori fiksi dan teori harta kekayaan bertujuan yang hanya mengakui manusia saja sebagai subjek hukum. Bila pendapat ini kita jadikan acuan, maka hukum kita akan ketinggalan jauh dari perkembangan ekonomi dan teknologi yang mendorong lajunya pertumbuhan korporasi. Kemajuan ekonomi dan teknologi selalu membawa berbagai permasalahan yang belum diatur oleh kaidah-aidah hukum ataukah kaidah-kaidah hukumnya sudah usang. Bagi korporasi yang melakukan kegiatan yang sama sekali belum mempunyai kaidah hukum yang mengaturnya, sudah jelas banyak mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Yang pasti kita tidak mungkin menghentikan lajunya perkembangan korporasi dengan alasan belum terjadi kecocokan pendapat para ahli tentang boleh atau tidak bolehnya korporasi bertindak sebagai subjek hukum, kita membuang-buang waktu dan energi saja memperdebatkannya, sementara korporasi berlari dengan kencangnya tanpa memperdulikan pendapat para pakar ilmiah tentang status hukum.
Mereka mengeksploitasi isi alam ini dengan semaksimal mungkin, mereka menciptakan berbagai peralatan canggih, baik yang bermanfaat bagi kebutuhan hidup manusia, seperti bidang teknologi transportasi, teknologi komunikasi, peralatan rumah tangga, peralatan kantor yang serba canggih seperti computer, robot, alat-alat kedokteran yang canggih, maupun product yang memberikan dampak negative bagi kelangsungan hidup manusia, seperti peralatan meliter dengan teknologi mutahir, pesawat tempur supersonic, rudal balestic antar benua, oba-obatan yang membahayakan kesehatan manusia. Sementara kita masih menggunakan KUHD dan KUH Perdata peninggalan Belanda walaupun mereka telah kita caci maki habis-habisan melalui pelajaran sejarah, mulai dari bangku sekolah Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Kita memang aneh, pelajaran sejarah menyajikan betapa kejam perlakuan Belanda terhadap Rakyat Indonesia selama beratus-ratus tahun, tetapi betapa juga setianya kita terhadap hukum peninggalannya yang kita anggap tidak manusiawi. Apakah Pola perilaku Belanda yang bengis (kata sejarah) itu sedikitpun tidak tercermin di dalam budaya mereka termasuk hukumnya, kita sebagai ilmuan seharusnya mengkritisi hal ini. Penulis tidak percaya bahwa pada jaman penjajahan Belanda hukum mereka sangat baik, tetapi orang Belanda nya yang jahat dan sedikit pun tidak mengindahkan hukum yang mereka buat. sehingga sejak kemerdekaan kita, belum dapat merubah pasal-pasal yang tidak sesuai di Negara kita, padahal dinegara asalnya Francis, Belanda sudah mengalami perubahan mendasar. Suatu yang perlu kita renungkan lagi adalah bahwa mengapa kita harus mempertahankan mati-matian pendapat orang yang dianggap ahli yang hidup dizaman yang jauh berbeda dengan zaman kita sekarang ini. Kita menjadikan acuan pendapat orang yang hidup di zaman yang peradabannya berada jauh dibawah peradaban sekarang. Sangat ekstrim bila dikatakan bahwa peradaban seperti sekarang ini dapat dicapai berkat jasa sebagian besar korporasi, seperti perusahaan industri pesawat terbang, industri otomotif, industri computer, dan sebagainya, sehingga seyogyanyalah kita realistis saja memilih yang dapat memberikan manfaat bagi kita, memberikan nilai kebenaran yang dapat menciptakan keadilan sesuai dengan filosofi Negara kita, agar peraturan perundang-undangan kita tidak tertinggal jauh kebelakang dari perkembangan dan kemajuan ekonomi khususnya bidang korporasi.
Sebaiknya kita menyamakan persepsi bahwa korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Koperasi kita akui keberadannya, seperti yang terjadi pada hukum pajak, hukum agraria, hukum lingkungan hidup. Pemberian status subjek hukum kepada badan hukum atau koperasi diharapkan dapat menjawab kebutuhan hukum dalam menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan akan lebih berhasil, selain itu untuk memudahkan menentukan siapa yang bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggungjawab. Hal ini sesuai dengan pasal 44 dan 45 Rancangan KUHP Baru, bahwa Pasal 44 Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Pasal 45 Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana. Yang perlu diperbincangkan adalah sanksi pidana yang dijatuhkan apakah kepada pengurus saja ataukah kepada korporasi saja ataukah kedua-duanya. Kalau pengurus saja dikhawatirkan sanksinya terlalu ringan dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya, seperti ledakan tenaga Nuklir Chernobyl di Ukraina Uni Soviet tahun 1986. Bila korporasi saja yang dijatuhi sanksi pidana, bagaimana bentuknya, yang jelas korporasi tidak bisa dijatuhi hukum penjara atau hukuman mati. Bila pelanggaran cukup berat misalnya Impor 1.115 ton pupuk beracun dari Singapura ke Pulau Galang Batam Kepulauan Riau oleh PT. xxxx yang mencemari lingkungan hidup, apakah perusahaan dicabut izin usahanya? lantas bagaimana nasib beratus-ratus karyawannya? Bila hanya didenda saja dikhawatirkan terlalu ringan dibandingkan keuntungan yang diperolehnya, sehingga timbul unsur bisnis di dalamnya, dengan istilah fifty-fifty saja dengan penegak hukum. Dan pendapat ketiga adalah subjek hukum yang harus mempertanggung jawabkan adalah Pengurus dan korporasinya. Alternatif yang ketiga ini rasanya sudah mulai mendekati kebenaran yang menuju terciptanya keadilan, tinggal bagaimana pertimbangan penegak hukum untuk mencapai kebenaran, kepantasan, dan hukuman yang setimpal agar tercipta keadilan.

C. Kesimpulan dan Saran
Korporasi adalah subjek hukum yang bertindak sebagai pendukung hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Perbedaannya korporasi tidak dapat dipidana penjara dan hukuman mati, tetapi dapat dikenakan denda dan pencabutan izin usaha. Untuk menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha hendaknya mempertimbangkan dampaknya terhadap tenaga buruh atau karyawan korporasi yang bersngkutan.

Untuk mengejar ketertinggalan hukum dibandingkan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi yang mendorong tumbuh suburnya korporasi, sebaiknya kita lebih realistis saja, dengan mencoba melihat apa yang ada saat ini dan apa yang didepan kita serta mulai mengurangi kesetiaan yang berlebihan pada para ahli yang hidup pada beberapa abad yang lalu, sehingga kita dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang lebih realistis, yang substansinya tidak terlalu jauh menyimpang dari kenyataan agar dapat efektip penerapannya.

Tidak ada komentar: