Kamis, 22 Juli 2010

Integrated Criminal Justice System di Indonesia

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu hukum memiliki lapisan yang terdiri dari Filsafat hukum, Teori Hukum, Dogmatik hukum (hukum positif) yang diarahkan kepada praktek hukum yang menyangkut dua aspek utama, yaitu Pembentukan hukum dan Penerapan hukum.

Pembentukan hukum di Indonesia termasuk ruang lingkup dan pekerjaan eksekutif dan legislative berdasarkan UUD 45, sedangkan penerapan hukum termasuk ke dalam ruang lingkup dan pekerjaan pihak judikatif yakni pihak Mahkamah Agung bersama jajarannya ke bawah Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri. Para hakim yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara harus mampu melakukan penerapan hukum baik melalui penemuan hukum maupun melalui pengkajian hukum, sehingga dikenal prinsip bahwa setiap perkara pasti ada dasar hukumnya.

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana vide Undang-undang No 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri atas 4 komponen yang masing-masing merupakan susbsistem dalam system peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem Peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal justice system yang sangat berperan dalam menegakkan hukum (law enforcement). Oleh karena itu Muladi sependapat menggunakan istilah integrated criminal justice system dalam rangka untuk lebih mengarahkan pada tekanan integrasi dan koordinasi. Menurut Muladi Sinkronisasi mengandung makna keserempakan dan keselarasan. Sinkronisasi dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi structural (structural syncronization) dan dapat pula bersifat substansial (substancial syancronization) serta bersifat cultural (cultural syancronization) (1995 :1). Namun demikian Muladi juga menyatakan dalam bukunya Kapita Selecta System Peradilan Pidana (1995 : 3) bahwa kita tidak boleh mengharapkan terlalu besar tentang peranan system peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, sebab sistem ini hanya merupakan salah satu sarana saja dalam politik criminal (yang bersifat penal). Sistem peradilan pidana hanya berfungsi terhadap recorded crimes yang menjadi masukannya. Fungsinya pun kadang-kadang tidak dapat bersifat maksimal (total enforcement), sebab demi menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (public order) dan hak-hak individual (individual right), maka batas-batas penegakan hukum dibatasi oleh ketentuan yang ketat.

Suatu substansi hukum yang sangat baik, belum tentu penegakan hukum (law enforcement) secara otomatis baik, karena masih sangat dipengaruhi oleh kualitas atau kemampuan, kemauan, moral dari penegak hukum itu sendiri. Bagaimana pun baiknya substansi hukum tetapi penegak hukum kurang baik, maka penegakan hukum sangat sulit terwujud. Sebaliknya Substansi hukum buruk tetapi penegak hukum baik, masih dapat diharapkan penegakan hukum sedikit lebih baik. Dan yang lebih parah bila substansi hukum dan penegak hukum kedua-duanya buruk, sudah pasti penegakan hukum buruk dan terjadilah pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebaliknya yang ideal bila substansi hukum dan penegak hukum sama-sama baik. Prof Taverne mengatakan berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik, dengan Undang-undang yang kurang baik sekali pun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik
Substansi hukum dan penegak hukum baik, namun penerimaan masyarakat kurang baik bahkan terjadi penolakan karena substansi hukum tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat setempat atau tidak sesuai dengan budaya hukum setempat, maka penegakan hukum juga sulit berjalan dengan baik.

Untuk mencapai harapan penegakan hukum yang baik dan menyangkut unsur substansi, strukral dan budaya hukum setempat, maka diperlukan agar setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan harus menciptakan situasi yang memungkinkan timbulnya partisipasi masyarakat yang bersangkutan. Harus terjadi dialog antara rakyat dengan Pemerintah, lembaga legislative, pengusaha, kelompok-kelompok kepentingan yang ada di dalam masyarakat, sehingga substansi hukum, struktur dan budaya hukum merupakan suatu system terpadu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi penegakan hukum melalui sistem perdilan pidana diIndonesia?
2. Bagaimana perilaku penegak hukum terhadap dimensi kejahatan?

BAB II
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

A. Undang-Undang No 8/1981 tentang KUHAP

Berlakunya Undang Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Undang-undang ini sebagai pengganti Het Herziene Inlandsch Regement Staatsblad tahun 1941 nomor 44 yang dipandang tidak sesuai lagi dengan cita-cita hukum nasional.

Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, maka di dalam Integrated criminal justice system Indonesia menggunakan empat komponen aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat aparat tersebut seharusnya memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan saling menentukan, dengan harapan agar tercipta kesatuan tindakan di antara para aparat penegak hukum.

Pada masa berlakunya HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) staatsblad tahun 1941 nomor 44 sebagai landasan hukum proses penyelesaian perkara pidana, telah terjadi berbagai ekses penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum disebabkan karena tidak mampu memantapkan pelaksanaan tugas dan tujuan masing-masing sebagai bagian dari criminal justice system. Keadaan demikian sering menimbulkan konflik wewenang di antara para aparat penegak hukum terutama dalam masalah penangkapan atau penahanan yang seharusnya ditangani secara berhati-hati karena sangat menyentuh harkat dan martabat tersangka sebagai manusia. Konflik semacam ini jarang sekali diungkap di muka umum dan tidak diselesaikan secara tuntas oleh para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Oleh karena itu sering dilontarkan bahwa criminal justice system hanya sebagai aspirasi saja yang seharusnya diimplementasikan dengan baik secara serius. A. Abu Ayyub Saleh (Hakim Agung RI) mengatakan bahwa permasalahan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia karena tidak berfungsinya sistem ini :
o Setiap subsistem mempunyai kewenangan dan kekuasaan sendiri-sendiri
o Tidak adanya kerjasama antara subsistem
o Tidak/kurang memahami tujuan sistem peradilan pidana itu sendiri oleh oknum-oknum yang bekerja dalam proses peradilan pidana.

Undang-undang no 8 tahun 1981 merupakan landasan terseleng garanya proses peradilan pidana yang benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai manusia, dengan mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses atau disebut criminal justice process dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana pada lembaga pemasyarakatan. KUHAP vide UU No 8 tahun 1981 telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan era baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat KUHAP tidak seperti HIR yang tujuan utamanya hanya untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa mempersoalkan sejauh mana peraturan yang ada dapat memberikan perlindungan atas harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa. UU No 8/1981mengutamakan tujuan bagaimana menghindarkan sejauh mungkin perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia. Selain perlindungan hak asasi tersangka juga terkandung harapan agar penegak hukum berlandaskan undang-undang tersebut memberikan kekuasan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pidana.

B. Penegakan Hukum (law enforcement)

Penegakan hukum dapat dikatakan baik apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak memihak, serta dapat mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penegakan hukum harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai hubungan timbal balik antara perkembangan kejahatan yang bersifat multi dimensi dengan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.

Evaluasi perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga dimensi, yaitu dimensi kepapaan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan. Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapaan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti pencurian, penganiayaan, pencopetan, dan lain-lain. Kejahatan yang bermuara pada dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut ”corporate crime” atau ”white collar crime”. Sedangkan kejahatan yang bermuara pada dimensi kekuasaan akan menghasilkan kejahatan dalam bentuk korupsi atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan pemerintahan atau governmental crime

Di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana pelaku kejahatan yang berdemensi keserakahan dan kekuasaan jarang dihadapkan ke pengadilan dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan. Hal ini disebakan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama. Di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan kolusi

C. Tahap-Tahapan Acara dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Perkara pidana adalah perkara yang menyangkut tindak kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap jiwa, badan atau harta benda, sehingga negara berkewajiban menjatuhkan sanksi bagi mereka yang melakukan kejahatan atau pelanggaran guna menjaga ketertiban umum. Di dalam perkara pidana pemeriksan dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan.

Untuk memperjelas wewenang masing-masing aparat dalam sistem peradilan pidana, berkut ini disajikan tahap-tahapan beracara dalam sistem peradilan pidana.

1. Penyelidikan

Menurut Wasingatu Zakiyah dkk (2002:45) Penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP. Sedangkan Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol. SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang terkandung dalam dua diantara :
- Laporan polisi
- Berita Acara Pemeriksaan Polisi
- Keterangan saksi/saksi ahli
- Barang bukti
Sedangkan barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

2. Penyidikan

Menurut Yahya Harahap (1993 :99) Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi peejabat yang berwenang adalah kejaksaan. Penyidikan harus diawali dengan pemberitahuan kepada penuntut umum sehingga proses penyidikan adalah bagian yang integral dari proses penuntutan karena berawal dari koordinasi jaksa dalam proses penyidikan di polisi. Bila dalam penyidikan tidak diketemukan bukti yang cukup, penyidikan dapat dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jika pihak korban tidak menerima keputusan SP3 dapat mengajukan gugatan pra peradilan terhadap penyidik.

3. Penuntutan

Setelah penyidikan selesai, berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut umum yang disertai surat dakwaan. Menurut pasal 1 (7) KUHAP penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang menurut undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.

4. Pemeriksaan Pengadilan

Persidangan adalah upaya untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sebuah perkara. Persidangan dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim. Bila terdakwa tidak hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi, majelis hakim akan mengundangnya sekali lagi dan bila belum juga hadir majelis hakim berwenang melakukan upaya paksa untuk menghadirkan terdakwa. Pada awal persidangan terdakwa atau pengacaranya dapat mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa sehingga harus dibatalkan dan apabila hakim menerima keberatan terdakwa, sidang langsung selesai, tetapi sebaliknya bila keberatan ditolak persidangan diteruskan dengan pembuktian. Di dalam hukum acara pidana pembuktian salah satu bagian penting karena putusan hakim didasarkan atas bukti (kebenaran materiel) dan keyakinan hakim.

5. Putusan

Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk memutuskan perkara. Putusan diucapkan di persidangan untuk mengakhiri suatu perkara yang berarti menentukan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Apabila bersalah ditentukan jenis hukuman yang harus dibebankan kepada terdakwa, yang berat ringannya tergantung pada tuntutan jaksa dan faktor-faktor yang meringankan.

Putusan hakim dalam perkara pidana dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :

a. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan hukum (vrijspraak) artinya apa yang didakwakan kepada terdakwa oleh jaksa penutut umum menurut surat dakwaannya sama sekali tidak terbukti di persidangan secara sah dan meyakinkan menurut undang-undang (pasal 191 (1) KUHAP).

b. Dilepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atau ontslag van rechts vervolging (pasal 191 (2) KUHAP) artinya apa yang didakwakan kepada terdakwa oleh jaksa penutut umum sesuai surat dakwaannya terbukti secara kenyataan di depan persidangan, tetapi tidak memenuhi persyaratan terdakwa untuk dipidana/dihukum karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak melawan hukum, karena adanya ketentuan alasan pemaaf (pasal 44,49 (1 dan 2) KUHP) dan alasan pembenar (pasal 48,50,51 KUHP), atau perbuatan terdakwa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana/bukan delik (tidak diatur di dalam hukum pidana materiel, bukan kejahatan dan bukan pelanggaran).

c. Putusan yang bersifat menghukum apabila perbuatan terdakwa terbukti memenuhi delik yang didakwakan dan ada unsur melawan hukum.

6. Pelaksanaan Putusan

Putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh Jaksa setelah menerima salinan putusan dari panitera. Jika terdakwa dihukum penjara, jakasa akan membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan dan dikirim kepada lembaga pemasyarakatan. Bila kemudian terdakwa dijatuhi hukuman pidana sejenis, maka hukuman harus dijalani secara berturut-turut.

7. Banding

Apabila salah satu pihak dalam perkara pidana tidak menerima vonis yang dijatuhkan hakim, masih dimungkinkan untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi untuk diperiksa ulang. Dalam sidang banding majelis hakim akan memeriksa ulang seluruh fakta-fakta dalam persidangan tingkat pertama, sehingga pada pengadilan tingkat banding dikenal istilah judex factie. Selanjutnya Pengadilan Tinggi membuat keputusan baru berupa memperkuat vonis pengadilan tingkat pertama atau sebaliknya membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan membuat keputusan baru.

8. Kasasi

Apabila terdakwa atau jaksa masih juga belum puas terhadap putusan banding, masih dimungkinkan untuk mendapatkan keputusan dari lembaga peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung. MA melakukan upaya penyatuan hukum guna memberikan kepastian hukum dan menjamin konsistensi dalam setiap putusan pengadilan. MA berfungsi sebagai judex jurist yang hanya memeriksa pertimbangan hukum dan penerapan hukum dalam putusan pengadilan di bawahnya.

9. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya (Kejaksaan). PK hanya diajukan terhadap putusan pengadilan yang tidak memuat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Alasan bagi upaya Peninjauan Kembali
- Munculnya situasi baru yang diduga sudah ada pada saat sidang dilaksanakan yang dikhawatirkan akan mengubah keputusan hakim menjadi putusan bebas, atau tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima berdasarkan situasi baru tersebut.
- Karena satu dan lain hal ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya.
- Apabila putusan yang telah dibuat menampakkan kehilaafan atau kekeliruan hakim

D. Perilaku aparat Penegak hukum

Wasingatu Zakiyah dkk (2002 : v) mengatakan bahwa penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia dapat diibaratkan menegakkan benang basah. Berbagai persoalan terutama korupsi menjadikan penegakan hukum hanya slogan dan pidato kosong. Kenyataan di lapangan menunjukkan hukum bukan lagi keadilan, tetapi hukum identik dengan uang. Hukum dan keadilan dapat dibeli yang akhirnya pengadilan tak ubahnya seperti balai lelang, yang menang tergantung jumlah penawaran. Akibatnya, hukum menjadi barang mahal dinegeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan di pengadilan. Yang terjadi justru sebaliknya, peradilan membutuhkan biaya yang mahal, waktu lama dan bertele-tele, keadilan dan kepastian hukum tidak bisa lagi diberikan oleh peradilan. Usul radikal yang pernah dilontarkan oleh Daniel S. Lev untuk memecat seluruh hakim dan jaksa dan menggantinya dengan orang-orang baru patut dipertimbangkan. Persoalannya sanggupkah pemerintah menyediakan dana yang tidak sedikit untuk menyelenggarakan pelatihan bagi orang baru sebagai penegak hukum? Di dalam praktek sulit untuk diterapkan.

Ada suatu cerita dari seorang pengelola perguruan tinggi swasta di wilayah Jakarta yang ingin bertemu hakim dengan membawa sejumlah uang yang telah disepakati untuk diserahkan kepada hakim tersebut. Dia membayangkan tidak akan menyerahkan uang di ruangan hakim itu karena ada 3 orang hakim lainnya diruangan itu. Namun alangkah kagetnya peneglola perguruan tinggi swasta itu karena sang hakim menyatakan bahwa serahkan saja di sini ( di ruangan hakim tersebut ), lalu si hakim memasukkan satu persatu uang panas itu ke dalam lacinya (Wasingatu Zakiyah dkk, 2002 :xii).
Cerita dari peristiwa kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara mobil yang menabrak penegendara sepeda motor yang menyebabkan luka parah. Pengendara mobil seharusnya ditahan oleh Kepolisian, tetapi malah terjadi tawar-menawar uang pembebasan dihadapan beberapa anggota polisi lainnya. Demikian juga pada saat dilakukan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), petugas terus terang meminta kepada tersangka uang pembeli bensin, dana untuk penebusan kendaraan, dana untuk pemberhentian pengusutan perkara atau perkara tidak diteruskan ke Kejaksaan.

Secara umum perilaku korupsi terjadi pada hampir semua lapisan penegak hukum bukan karena moral yang rendah, namun akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak hukum itu sendiri. Akibatnya menerima uang secara tidak halal menurut persepsi mereka bukanlah suatu yang aneh lagi, tetapi menjadi suatu keharusan untuk mereka lakukan.

Menurut Wasingatu Zakiyah dkk setidaknya ada empat penyebab dari perilaku korupsi penegak hukum, yaitu ;
1. Kesejahteraan / gaji rendah tetapi life style –nya tinggi
2. Adanya ketidakpercayaan timbal balik di antara penegak hukum itu sendiri
3. Akibat pola korupsi yang terjadi pada masa orde baru
4.Tidak adanya standar profesi bagi advokat, sehingga perilaku mereka masih maju tak gentar membela yang bayar


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana vide Undang-Undang No 8 tahun 1981 masih sulit melaksanakan law enforcement atau penegakan hukum sebagai akibat penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Penyalahgunaan wewenang dapat disebabkan karena suap, korupsi, kolusi, nepotisme, solidaritas korps, intervensi penguasa.

Di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana jarang sekali menghadapkan para pelaku kejahatan yang berdemensi keserakahan dan kekuasaan dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, disebabkan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama. Di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan kolusi.

Perilaku korupsi aparat penegak hukum, disebabkan karena tingkat kesejahteraan mereka rendah, tidak adanya kepercayaan timbal balik di antara para penegak hukum tentang kejujuran mereka, korupsi sebagai warisan atau peninggalan orde baru dan tidak adanya standar profesi bagi advokat sehingga sering menjadi penghubung antara terdakwa dengan penegak hukum.

B. S A R A N

Diperlukan suatu undang-undang yang memberikan wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa para penegak hukum dan memberikan sanksi yang cukup berat bagi pelaku korupsi kalau perlu hukum kurungan seumur hidup dan tidak diberikan perlakuan istimewa dari Lembaga Pemasyarakatan.

Kiranya perlu dilanjutkan penayangan foto-foto koruptor melalui media elektronik dan media cetak guna membuat jera aparat penegak hukum melakukan korupsi.

Selasa, 20 Juli 2010

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN PROGRAM PEMP 2006

1. Pedoman Umum PEMP 2006
Setelah program Pemberdayan Ekonomi Masyarakat Pesisir berjalan empat tahun, terbitlah Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah membuat kebijakan Pedoman Umum pengelolaan dana hibah program PEMP 2006. Salah satu ketentuan kebijakan PEMP 2006 yang diatur di dalam Buku Pedoman Umum PEMP 2006 yang termuat dalam bab II butir E halama 9 menyatakan, bahwa dalam menjalankan fungsinya, koperasi menerima Dana Ekonomi Produktip ( DEP ) sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Dana pinjaman tersebut selanjutnya disalurkan untuk dapat diakses masyarakat pesisir melalui LKM (Lembaga Keuangan Mikro) milik koperasi yang bersangkutan. Kemudian bab III butir A (1 dan 2 halaman 11-12) menyatakan bahwa DEP (Dana Ekonomi Produktip ) yang dijadikan sebagai penjaminan tunai (cash collateral) dikelola dengan tahapan sebagai berikut :

1. DEP dibukukan pada rekening giro atas nama koperasi untuk kemudian dijadikan jaminan kepada bank pelaksana. Bank memberikan kredit kepada koperasi minimal sebesar DEP yang dijaminkan.

2. Kredit dari bank tersebut dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap (selanjutnya disingkat MTT ) pada unit usaha simpan pinjam untuk diteruskan sebagai pinjaman kepada masyarakat pesisir anggota atau calon anggota koperasi.
Pengaturan pengelolaan Dana PEMP 2006 menurut buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 1 hal 2dan 3 melibatkan koperasi dan lembaga perbankan dalam memberikan pelayanan bantuan pinjaman dana PEMP kepada kelompok nelayan. Hal ini berarti, bahwa selain Undang-Undang No 31 Tahun 2004 sebagai dasar hukum pembuatan Pedoman Umum PEMP 2006, juga harus mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil serta Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Apabila ketentuan Buku Pedoman Umum khususnya yang mengatur tentang permodalan koperasi, dibandingkan dengan pasal 41 (1 dan 2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka akan tampak adanya ketidak-sinkronisasian. Pasal 41 (1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 mengatur tentang pembukuan modal koperasi nelayan yang diperoleh dari dana hibah, pinjaman dan iuran anggota. Pasal ini mengatur pembukuan modal hibah yang harus dibukukan sebagai modal sendiri atau Modal Tetap (MT), sedangkan Pedoman Umum menyatakan bahwa harus dibukukan sebagai modal pinjaman atau Modal Tidak Tetap (MTT) lihat bab 3 butir A 1 dan 2 halaman 11-12. Konsekwensi penyimpangan Pedoman umum PEMP 2006 atas ketentuan Perundang-undangan khususnya pasal 41 (1 dan 2 ) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, adalah dana hibah PEMP 2006 seharusnya dinikmati oleh nelayan berupa pinjaman yang berbunga rendah dari koperasi nelayan, berubah menjadi pinjaman berbunga tinggi, karena dana hibah dinikmati oleh lembaga perbankan sebagai dana murah (tanpa bunga) berupa agunan kredit.

Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 (4) menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan pada Pasal 7 (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya Pasal 7 ( 5 ) menyebutkan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Untuk jelasnya dapat dilihat hirarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ( 1 ) Undang-Undang No 10 Tahun 2004 sebagai berikut :
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.Peraturan Pemerintah
d.Peraturan Presiden
e.Peraturan Daerah
- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama gubernur
- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota
- Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
f.Jenis peraturan perundang-undangan selain yang diatur pada Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU
No 10 Tahun 2004 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (ayat 4).Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki
sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas.
Hans Kelsen juga mengajarkan tentang stufentheorie,yang pada dasarnya sama dengan
Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yaitu sistem hukum pada hakekatnya merupakan sistem hirarkis
yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang
lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum
yang lebih tinggi. Sifat pertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan
batalnya daya laku hukum itu. Sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar
dan sumber dari hukum yang lebih rendah, teori ini dikenal dengan asas hukum lex
superior derogat legi inferiori artinya undang-undang yang lebih tinggi
tingkatannya mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya.
Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat
norma yang dikandungnya; dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata dan
operasional sifat norma yang dikandungnya.

Apabila kita membuka beberapa literatur, ditemukan beberapa pendapat bahwa suatu kebijakan dianggap benar, bila dapat memberikan manfaat, memuaskan dan sah, serta dirasakan adil bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu. William James mengembangkan pendapat Charles S Piere yang dikutip oleh Imam Syaukani (2004 : 39) mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan atau kebijakan diukur dengan kriteria, apakah pernyataan atau kebijakan tersebut fungsional dengan kehidupan praktis atau tidak. Bagi kaum pragmatis validitas kebenaran terletak pada manfaat (utility), kemudian dapat dikerjakan dan akibat yang memuaskan.

Dari segi yuridis formal, suatu kebijakan dikatakan benar bila mempunyai dasar hukum yang sah, di Indonesia suatu kebijakan Pemerintah yang melibatkan masyarakat luas harus mengacu peraturan perundang-undangan yang secara hirarki diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004. Yang menjadi permasalahan adalah keadilan bagi masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu, karena menurut Hans Kelsen (2007 : 77) dalam teori nilai relativistic yang bermakna, bahwa nilai bersifat relatif bukan mutlak, dan keadilan tidaklah mutlak, tergantung dari nilai-nilai yang diterapkan oleh pencipta norma. Sebuah tatanan hukum yang dinilai sebagai tatanan yang tidak adil berdasarkan suatu sistem moral, bisa saja dinilai adil berdasarkan sistem moral yang lain.

Di lain pihak, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir Pulau-Pulau Kecil sebagai pembuat kebijakan yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006 dengan menjadikan Pasal 60 (1 a) dan 62 Undang-Undang No 31 Tahun 2004 sebagai landasan hukumnya. Pada bab II butir E halaman 9 Pedoman umum menyatakan, bahwa koperasi berfungsi sebagai komponen utama dalam pelaksanaan program PEMP 2006 di daerah, dan dalam menjalankan fungsinya koperasi menerima Dana Ekonomi Produktip (DEP) sebagai hibah yang dijaminkan kepada lembaga perbankan untuk mendapatkan pinjaman dan dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap (MTT). Ketentuan ini menguntungkan perbankan dan memberatkan nelayan dan koperasinya sebagai penerima hibah. Perbankan memperoleh keuntungan dua kali, yaitu dana hibah mengendap padanya tanpa bunga, dan pemberian kredit kepada koperasi nelayan dengan agunan tunai (kredit tanpa risiko) disertai bunga kredit. Ketentuan ini menyimpang dari ketentuan Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang mengatur tentang pembukuan dana hibah pada koperasi sebagai modal tetap bukan modal tidak tetap. Ketentuan ini, juga tidak sinkron dengan Pasal 5 ( 1e) dan Pasal 21 Undang-undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan, bahwa koperasi termasuk usaha kecil, perlu diberdayakan dan disediakan permodalan, baik berupa pinjaman kredit maupun hibah. Demikian juga Pasal 88 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur tentang ketentuan penyisihan sebagian laba BUMN untuk pembinaan usaha kecil, termasuk koperasi ( BRI termasuk salah-satu bank pemerintah )

Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin dapat terjadi permasalahan seperti ini ? Ahmad Kamil (2004:33) memberikan komentarnya, bahwa sebenarnya sudah dipahami secara umum, dan tidak dapat dipungkiri, bahwa undang-undang yang merupakan produk lembaga legistatif dapat mengandung kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan. Bagaimana pun cermatnya manusia menyusun dan merumuskan undang-undang, setelah tiba saat operasionalnya, baru muncul dan diketahui berbagai kelemahan dan kekurangan, bahkan mungkin terdapat hal-hal yang sifatnya mendasar tidak termuat atau tidak terumuskan dalam undang-undang tersebut. Kenyataan ini harus disadari oleh berbagai pihak dan tidak memanfaatkannya sebagai jalur penyelundupan hukum, karena seringnya rumusan undang-undang tercecer jauh di belakang dari perubahan perkembangan nilai-nilai kesadaran masyarakat, menunjukkan suatu nilai negatif yang tidak dapat dipertahankan lagi dalam pandangan civil law system.

Pada umumnya undang-undang masih bersifat umum, abstrak dan masih perlu dibuat lebih operasional, mengingat lembaga legislatif tidak mungkin dapat melakukan suatu produk undang-undang yang lebih operasional dan mendekati kenyataan, sehingga pemerintah atau Administrasi Negara melakukan penjabaran normatif terhadap undang-undang tersebut menjadi aturan-aturan yang bersifat lebih operasional. Bila saja undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif yang khusus menekuni bidang tersebut masih dapat terjadi kelemahan dan kekurangan yang memerlukan uji materiel atau yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi, apalagi peraturan pelaksanaan operasional yang dibuat oleh Pejabat Administrasi Negara yang lebih dekat dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Pemerintah sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dan bersifat operasional, lebih konkrit, sering mendapat tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh S. Pamudji (1983 : 26), bahwa dewasa ini kelompok-kelompok kepentingan menekankan keinginannya pada proses pembuatan hukum/undang-undang dengan jalan mempengaruhi anggota-anggota badan perwakilan, dan juga badan eksekutif.
Demikian kuat pengaruh dan penekanan tersebut, sehingga sering pemerintah terpaksa menerima keinginan-keinginan interest group tadi.

Rusadi Kantaprawira (1980 : 130) bahwa tugas eksekutif yang hampir selalu berhadapan dengan kasus-kasus nyata yang meliputi seribu satu macam kemungkinan dalam penerapan aturan yang telah ditetapkan. Eksekutif itu lebih mengutamakan tindakan (action), orientasinya pun lebih cenderung diarahkan pada kebijaksanaan dan program-program untuk membangun masyarakat secara lebih real, yang tentu saja tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada. Ukasah Martadisastra, (1983 :31,32) mengutip dari John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus yang mengatakan bahwa Publik administration involves the implementation of publik policy which has been determine by representative political bodies. Pejabat Administrasi Negara berwenang menafsirkan undang-undang dan membuat kebijakan yang wewenangnya diatur dalam Hukum Administrasi Negara, produk hukumnya dikenal dengan sebutan legislasi semu (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 99).

Di dalam literatur Negara-negara Anglo Sakson pembuatan peraturan-peraturan oleh Administrasi Negara disebut Administratif legislation atau delegated legislation. Wewenang Administrasi Negara dalam membuat peraturan-peraturan yang sangat dekat kepada realitas keadaan masyarakat, sangat membantu badan legislatif, karena bilamana tidak ada wewenang semacam ini maka segalanya akan macet (Prajudi Atmosudirdjo 1983 : 102). Prajudi Atmosudirdjo (1983 : 35) menyatakan, bahwa diantara undang-undang dalam arti materiel (substansial) itu terdapat semacam hirarkis, dan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya sekali-kali tidak boleh melanggar, melawan, atau mengubah ataupun mengabaikan begitu saja undang-undang yang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Walaupun Pejabat Administrasi Negara telah diberikan wewenang membuat kebijakan, namun tidak boleh melupakan dan melepaskan diri dari keterikatan dengan landasan filosofis kebijakannya, dalam hal ini, khusus sistem peraturan kebijakan Program PEMP 2006 yang lebih utama adalah harus mengacu kepada hirarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 7 (1) Undang Undang No 10 Tahun 2004
Kemudian dari pada itu, bila substansi Pedoman Umum kebijakan PEMP 2006 dipandang dari teori system, maka sub-sub sistemnya terdiri dari pasal-pasal undang-undang dan peraturan pemerintah yang menunjang kehidupan usaha kecil khususnya koperasi nelayan seperti Pasal 41 ( 1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 tentang perkopersian, Pasal 21 dan Pasal 5 ayat 1e serta Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9/1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 88 Undang Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 60 dan 62 Undang Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Pasal 1 (1) dan Pasal 2 c Peraturan Pemerintah no 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Pasal 12 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 harus tampak adanya saling keterkaitan antara subsistem-subsistemnya, baik peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif maupun peraturan pemerintah.

Teori system menggambarkan bahwa diantara subsistem harus ada keterikatan, saling ketergantungan, saling pengaruh mempengaruhi, saling menentukan satu sama lain sebagai suatu kesatuan atau kebulatan, sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa pakar. Sebagai suatu system, Kebijakan PEMP 2006 yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006 merupakan penjabaran dari Pasal 60 (1 a) dan 62 Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus bersifat lebih operasional. Pelaksanaan Pedoman Umum PEMP 2006 yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri No. Kep 18/Men/2004 dan selanjutnya dengan Keputusan Dirjen KP3K No. SK/07/KP3K/I/2006 tgl 26 Januari 2006 tentang Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun Anggaran 2006 disebut juga sebagai kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kebijakan ini ditunjang oleh Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Undang-undang tersebut dijabarkan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri, seperti : Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Permenneg BUMN per 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 1998tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.

Bila peraturan perundang-undangan tersebut berfungsi sebagai sub-sub sistem yang membentuk sistem hukum dalam mendukung pelaksanaan program PEMP yang dituangkan ke dalam Pedoman Umum PEMP 2006, maka materi muatan yang menjadi dasar hukum penyaluran dana PEMP 2006 bagi koperasi nelayan kepada kelompok nelayan yang diatur dalam Pedoman Umum PEMP 2006 akan tampak seperti diagram pada halaman 52. Namun bila salah satu subsistemnya bertentangan satu sama lain, seperti pasal 41 (1 dan 2) Undang No 25 Tahun 1992 yang mengatur tentang pembukuan modal koperasi nelayan yang diperoleh dari dana hibah harus dibukukan sebagai modal sendiri atau Modal Tetap (MT), bertentangan dengan ketentuan Pedoman Umum menyatakan, bahwa harus dibukukan sebagai modal pinjaman atau Modal Tidak Tetap ( bab 3 butir A 1 dan 2 halaman 11-12 ), maka akan cacat, karena tidak membentuk suatu system yang merupakan kesatuan atau kebulatan yang utuh.

Pasal-pasal undang-undang terdiri dari subsistem-subsistem yang membentuk undang-undang sebagai suatu sistem yang mendukung pemberian bantuan kepada koperasi nelayan sebagai usaha kecil. Sehingga secara teoritis kebijakan PEMP ditinjau dari sudut pandang sistem, substansinya seharusnya juga saling kait-mengait dan saling berhubungan dengan pasal-pasal peraturan perundang-undangan produk lembaga legislatif sebagai sub-sub sistemnya, seperti “Pasal 5 (1e) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 menyatakan bahwa yang termasuk usaha kecil, adalah badan usaha orang perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum termasuk koperasi, dengan syarat modal tidak melebihi Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Pasal ini memberikan dukungan terhadap koperasi nelayan sebagai suatu lembaga yang perlu mendapat bantuan. Demikian juga penjelasan umum Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 menyatakan, bahwa usaha kecil (termasuk koperasi) perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan dengan berpijak pada kerangka hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terwujudnya ekonomi yang berdasarkan pada asas kekeluargaan.

Dari segi undang-undang perbankan substansinya juga sebagai suatu sistem juga belum tampak adanya saling keterkaitan antara sub-sub sistemnya, karena permasalahan perkoperasian belum mendapat perhatian dari lembga perbankan, khususnya pada masalah agunan dan suku bunga pinjaman, sebagai contoh kebijkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga 15 % pertahun dan persyaratan penyerahan agunan kredit bagi koperasi nelayan, adalah suatu kebijakan yang tidak sinkron dengan pasal-pasal undang-undang usaha kecil, undang-undang BUMN, peraturan pemerintah tentang kemitraan.

Dari segi undang-undang perkoperasian, ketentuan Buku Pedoman Umum Departemen Kelautan dan Perikanan RI yang mengatur agar dana hibah dijadikan modal tidak tetap (modal pinjaman) merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang perkoperasian No. 25 Tahun 1992 Pasal 41 (1 dan 2). Kebijakan ini dianggap tidak taat asas, karena tidak sesuai aturan hirarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2004, dan menyimpang dari ajaran Hans Kelsen tentang stufentheorie, sehingga dianggap tidak taat asas. Dan sebagai suatu sistem hukum, sub-sub sistemnya menjadi tidak utuh atau cacat.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang ajaran hirarki peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di muka dan Undang Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dikatakan, bahwa secara normatif/substantif Kebijakan PEMP 2006 tidak memenuhi unsur teoritis, tidak taat asas dan menyimpang dari konsep dasar yang semula dimaksudkan sebagai penunjang pelaksanaan pengelolaan dana hibah program PEMP 2006, malahan terjadi kebalikannya, menjadi faktor penghambat yang menjadikan suku bunga pinjaman kredit kepada nelayan cukup tinggi.

Kebijakan ini memberatkan pihak nelayan yang akan dibantu dan memberikan keuntungan ganda bagi pihak perbankan, berupa adanya dana hibah yang mengendap tanpa bunga disatu sisi, dan di sisi lain lembaga perbankan juga mendapatkan bunga kredit. Hal-hal tersebut merupakan faktor penghambat, sehingga perlu diadakan penyempurnaan.

2. Aktivitas Pemerintah

a. Pembentukan Kelompok Usaha
Salah satu cara yang dianggap dapat mempermudah dan mempercepat pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir adalah pembentukan kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo (2004 : 1), bahwa manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok yang merupakan senjata bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Pembentukan kelompok-kelompok di dalam masyarakat pesisir tersebut di atas dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, namun dalam pembentukan tersebut belum diterbitkan suatu surat keputusan atau surat-surat lain yang merupakan dasar hukum bagi berdirinya kelompok nelayan tersebut. Surat Keputusan pembentukan kelompok nelayan atau pemanfaat perlu diregistrasi, sebagai dasar hukum bagi keberadaan kelompok. Demikian juga peraturan pengelolaan dan penggunaan dana bantuan masih perlu diatur dalam suatu peraturan daerah (Perda).

Kapal-kapal bermotor nelayan yang beroperasi dilautan teritorial sebagian besar belum mendapatkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Surat-surat tersebut diperlukan bagi setiap kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan yang mencapai jauh antara 4-12 mil laut atau pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau sejauh antara 12-200 mil dari perairan teritorial
Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan telah membentuk kelompok-kelompok di dalam masyarakat pesisir berdasarkan jenis usaha, seperti nelayan tangkap, pembudi-daya ikan kecil, pemasaran ikan, pengolah ikan, petambak, jaring apung pada setiap desa yang termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil atau perkampungan nelayan.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kelompok nelayan tangkap di dalam masyarakat pesisir mendominasi, disusul dengan kelompok Petambak Ikan. Kelompok Pemasaran ikan hanya berjumlah 9,6 %, namun bila ditinjau dari segi jumlah kelompok yang menerima bantuan dana PEMP 2006, kelompok pemasaran ikan menerima yang terbanyak, disusul oleh kelompok nelayan tangkap dan kelompok pengolahan ikan.
Penelitian yang dilakukan terhadap Koperasi Nelayan Madani menunjukkan, bahwa beberapa kelompok nelayan, seperti Kelompok Siamasei, kelompok Naga Mas, Kelompok Fajar Nelayan, Kelompok Buah Harapan yang direkomendasikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk diberikan bantuan dana hibah PEMP 2006 mengalami kemacetan. Walaupun Kelompok-kelompok tersebut pada saat mengajukan permohonan pinjaman kelompok telah dilakukan verifikasi bersama, antara petugas Dinas Kelautan dan Perikanan, Tim Pendamping Desa dan petugas Koperasi Nelayan Madani, namun Koperasi Nelayan Madani menganggap aktivitas itu hanya sebagai formalitas saja dari pemerintah daerah. Adanya pesan-pesan khusus dari pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan kepada Koperasi Nelayan Madani terhadap pemberian bantuan kepada kelompok nelayan tertentu, menyebabkan kelompok nelayan tersebut merasa mendapat bantuan khusus, sehingga enggan melakukan pembayaran angsuran.

Bila terjadi kemacetan seperti pada kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas, maka tunggakan angsuran pokok yang timbul tetap dibebankan bunga oleh Bank Rakyat Indonesia Polewali kepada Koperasi Nelayan Madani. Bank Rakyat Indonesia Polewali tidak mau menerima alasan kemacetan usaha kelompok nelayan. Campur tangan Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan dana hibah PEMP 2006, khususnya yang ditangani oleh Koperasi Nelayan Madani berdampak negatif, sehingga seyogyanyalah koperasi nelayan diberikan kebebasan untuk menentukan kelompok nelayan yang layak diberikan bantuan tanpa campur tangan pejabat Pemerintah Daerah.

Dengan semakin banyaknya program bantuan pemerintah, baik yang berasal dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah sendiri, maka seyogyanya pemberian bantuan kepada kelompok-kelompok masyarakat pesisir diatur dalam suatu Peraturan Daerah (Perda) yang dapat menjadi landasan hukum, baik bagi pengelola maupun bagi penerima dana bantuan. Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pembina dan penanggung jawab operasional telah membuat startegi berupa pembentukan kelompok-kelompok nelayan yang melibatkan Kepala Desa atau Kelurahan untuk memudahkan sosialisasi dan pengelolaan dana pinjaman anggota nelayan, sehingga institusi Dinas Kelautan dan Perikanan seharusnya menjadi faktor penunjang pelaksanaan kebijakan PEMP, bukan menjadi faktor penghambat.

b. Alokasi Dana Bantuan Untuk Masyarakat Pesisir.

Jumlah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagaimana yang disajikan pada tabel 10, yaitu dana bantuan Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Ekonomi Rumah Tangga dikucurkan kepada masyarakat Pesisir mencapai jumlah Rp 2,5 milyar untuk 64 kelompok nelayan tangkap atau 1401 orang. Bantuan ini merupakan kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berjumlah Rp 10 milyar, diberikan sebagai modal usaha dan harus bergulir pada kelompok nelayan yang bersangkutan. Dana bantuan P2KBERT ini diberikan tanpa bunga.

Dana bantuan Pemerintah Pusat Rp 8,2 milyar untuk pembangunan sarana dan prasarana Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Lantora merupakan dana bantuan Pemerintah Pusat yang cukup tinggi, yaitu mencapai 61,9 % dari seluruh dana bantuan. Apabila alokasi dana peningkatkan kesejahteraan nelayan dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Polewali Mandar tahun 2006 yang jumlahnya mencapai Rp 358,6 milyar baru mencapai 3,7%, merupakan angka persentase yang belum sebanding dengan persentase jumlah penduduk masyarakat pesisir yang mecapai 4,5 % dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Polewali Mandar.

Untuk mendorong pelaksanaan program PEMP pemerintah mengeluarkan Kebijakan Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis Ekonomi Rumah Tangga (P2KBERT) guna membantu nelayan tangkap. P2KBERT merupakan pinjaman dana bergulir sebesar Rp 2,5 milyar dari pemerintah tanpa bunga kepada rakyat meskin termasuk nelayan tangkap. Dana P2KBERT disalurkan langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan kepada kelompok nelayan tangkap tanpa melalui koperasi nelayan atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

c. Penyediaan Solar melalui SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan).

Kegiatan penyediaan solar melalui SPDN oleh Pemerintah melalui Koperasi Nelayan Madani tampaknya tidak efektif. Persediaan solar melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum ( SPBU) berlebihan, sehingga juragan ikan (‘punggawa ikan’) dapat membeli langsung pada SPBU terdekat. Kebijakan ini juga tidak membantu nelayan kecil, karena perahu nelayan kecil hanya memerlukan premium dan minyak tanah bukan solar. Kebutuhan solar hanya untuk kapal-kapal juragan ikan yang beroperasi antara 12 sampai 200 mil dari perairan toritorial, sehingga menyimpang dari konsep dasar kebijakan PEMP 2006, yaitu bantuan diperuntukkan bagi kelompok nelayan berskala kecil.

Modal Kerja untuk SPDN kecamatan Polewali disediakan sendiri oleh Koperasi Nelayan Madani. Pembelian solar dilakukan dengan sangat hati-hati karena adanya harga BBM akhir-akhir naik turun. Sejak harga BBM tidak menentu, Koperasi Nelayan Madani menghentikan penyediaan solar bagi kapal-kapal nelayan atau kelompok juragan ikan. Bantuan Dana hibah PEMP 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan disalurkan kepada SPDN Karama yang berada di Kecamatan Tinambung.

d. Penyediaan Kebutuhan pokok nelayan melalui Kedai Pesisir.

Penyediaan kebutuhan pokok dan alat-alat keperluan nelayan menurut ketentuan Pedoman Umum PEMP 2006 harus ditangani oleh Kedai Pesisir yang ditunjuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan bernaung di bawah Koperasi Nelayan. Kedai Pesisir di Polewali Mandar ditempatkan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan ) pada lokasi TPI/PPI Lantora dianggap tidak efektif dan tidak efisien. Tempat Pelelangan Ikan/Pusat Pelelangan ikan (TPI/PPI) belum berfungsi dan jauh dari perkampungan nelayan. Di samping itu, Kedai Pesisir yang ditempatkan di lokasi TPI/PPI pintu gerbangnya ditutup sejak pembangunan lokasi tersebut. Pintu gerbang yang tersedia sangat jauh dari Kedai Pesisir, sehingga susah dijangkau. Setahun yang lalu Koperasi Nelayan Madani hendak memindahkan Kedai Pesisir ke lokasi perkampungan nelayan, namun tidak mendapat izin dari Dinas Kelauatan dan Perikanan. Saat ini Nelayan lebih memilih membeli barang-barang kebutuhan pokok mereka pada toko yang berada di dekat rumahnya atau sekalian di pasar, dari pada harus berbelanja di TPI/PPI yang hubungan transportasinya tidak tersedia.

Bantuan dana hibah PEMP 2006 sebesar Rp 200 juta untuk kegiatan Kedai Pesisir, terdiri dari Rp 80 juta untuk investasi dan Rp 120 juta untuk modal kerja, sudah dapat dipastikan mengalami kegagalan.

3. Aktivitas Perbankan

Lembaga perbankan atau bank pelaksana menurut bab II F halaman 10 Pedoman Umum PEMP adalah lembaga keuangan perbankan yang ditetapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan tugas dan fungsi :
(1) menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekwensi dari adanya DEP yang
dijaminkan untuk kegiatan penguatan modal,
(2) menyalurkan DEP langsung dengan pola hibah melalui rekening koperasi yang ada di
bank pelaksana untuk kegiatan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) Pesisir, SPDN dan
atau Kedai Pesisir, dan
(3) melakukan pendampingan teknis dan administratif kepada koperasi dan atau
LKM/USP.

Menurut Surat Edaran BRI No S.48-DIR/ADK/11/2005 tanggal 15 November 2005 Butir II Ketentuan Umum yang merupakan sebagian isi perjanjian antara pemerintah ( DKP/KP3K ) dengan Bank Rakyat Indonesia
No K.14/KP3K-BRI/VII/05 tanggal 18 Juli 2005 menyatakan :
B.530-DIR/PRG/07/2005

(1) bahwa Program PEMP terdiri atas beberapa komponen, salah satunya adalah Dana Ekonomi Produktif ( DEP ) yang merupakan hibah kepada koperasi yang penggunaannya diperuntukkan bagi kegiatan produktif.

(2) DEP adalah dana yang dialokasikan oleh pemerintah dalam program PEMP untuk pengembangan usaha rakyat pesisir melalui penguatan modal usaha dan investasi skala-kecil. Dana tersebut berstatus hibah kepada koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang ditunjuk yang harus dijaminkan kepada bank pelaksana untuk memperoleh pinjaman yang selanjutnya dapat diakses oleh masyarakat pesisir.

(3) DEP dibagi dalam 4 kategori penggunaan yaitu :
a. DEP untuk penjaminan (cash collateral)
b. DEP untuk BPR Pesisir (Bank Perkreditan Rakyat Pesisir)
c. DEP untuk Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)
d. DEP untuk Kedai Pesisir

(4). Kredit PEMP adalah kredit dengan agunan Cash Collateral yang berupa DEP
Butir III Tugas dan Fungsi Bank Pelaksana
(1) Menyediakan kredit kredit kepada koperasi dengan agunan tunai (cash collateral) dana DEP yang ditempatkan di Kanca BRI dalam bentuk rekening giro.
(2) Melakukan pembinaan kepada tenaga manajemen Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi.
Lembaga perbankan memberikan fasilitas kredit kepada koperasi nelayan dengan agunan tunai (cash collateral). Agunan tunai tersebut berasal dari dana hibah pemerintah yang diperuntukkan bagi koperasi nelayan dan merupakan Dana Penguatan Modal. Bilamana koperasi nelayan tidak memenuhi kewajibannya membayar angsuran pokok dan bunga tiga kali berturut-turut, maka lembaga perbankan akan mencairkan agunan tunai koperasi. Dengan dijadikannya dana hibah koperasi yang ditampung dalam rekening giro sebagai agunan tunai, berarti rekening giro koperasi nelayan diblokir oleh lembaga perbankan, sehingga seakan-akan lembaga perbankan sebagai penyedia dana (kredit) bagi koperasi, namun pada hakekatnya lembaga perbankan bukanlah penyedia dana, tetapi hanya sebagai tempat lalu lintas dana yang meraup keuntungan dua kali dari kebijakan pemerintah, yaitu di satu sisi mendapatkan dana murah berupa agunan tunai (cash collateral) yang ditampung dalam rekenin giro koperasi tanpa bunga dan di sisi lainnya terjadi pemberian kredit dengan bunga 6 % pertahun (Bab 3 butir 3b tentang suku bunga, halaman 13 Pedoman Umum PEMP 2006). Fasilitas kredit ini tanpa resiko kemacetan, karena bilamana koperasi nelayan lalai memenuhi kewajibannya dalam tiga bulan berturut-turut lembaga perbankan mencairkan agunan tunai koperasi nelayan (Bab 3 butur A 5 tentang sanksi). Ketentuan tersebut di atas memberikan kesempatan lembaga perbankan meraup dua kali keuntungan, yaitu pertama dapat memperoleh dana murah (tanpa bunga) dan kedua dapat memperoleh bunga kredit tanpa resiko karena adanya agunan tunai dari dana hibah koperasi nelayan. Sementara pihak nelayan yang miskin memikul beban bunga ganda yaitu bunga perbankan dan bunga dari koperasi nelayan.

Pengaturan penyaluran dana hibah PEMP tersebut di atas, sangat jauh dari konsep dasar yang termuat dalam ketentuan :
-Pasal 5 ayat 1e Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa yang termasuk usaha kecil adalah badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak, termasuk koperasi, dengan syarat modal tidak melebihi Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
-Pasal 21 Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menyatakan bahwa pemerintah, dunia usaha dan masyarakat harus menyediakan pembiayaan kepada usaha kecil termasuk koperasi yang meliputi antara lain kredit perbankan dan hibah.
-Pasal 88 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menetapkan ketentuan penyisihan dan penggunaan laba mereka untuk pembinaan usaha kecil termasuk koperasi dan masyarakat sekitar BUMN.
-Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, menetapkan bahwa kerjasama dalam kemitraan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat.
-Penjelasan Pasal 1 (8) Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, saling menguntungkan dengan pola kemitraan antara lain pembiayaan ( Pasal 2c).
-Pasal 12 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan, bahwa pemerintah dapat menugaskan bank umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Undang-undang ini juga bertujuan untuk mendorong lembaga perbankan untuk membantu memberikan pembiayaan kepada usaha kecil termasuk koperasi nelayan.
-Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyatakan, bahwa yang termasuk dalam pengertian usaha kecil adalah koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
-Ketentuan perbankan yang dituangkan dalam Surat Edaran Bank Rakyat Indonesia No S.48-DIR/ADK/11/2005 tanggal 15 November 2005 butir III (2) Tugas dan Fungsi Bank Rakyat Indonesia menyatakan, bahwa bank melakukan pembinaan kepada tenaga manajemen Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi.

Semua ketentuan yang dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, Surat Edaran Bank Rakyat Indonesia tersebut di atas menekankan perlunya pembinaan usaha kecil seperti koperasi nelayan, namun dalam kenyataannya Bank Rakyat Indonesia sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara mengingkari aturan-aturan tersebut di atas, termasuk tugasnya sebagai pembina tenaga manajemen Usaha Simpan Pinjam Koperasi Nelayan dan hanya memperhitungkan faktor keuntungan semata-mata, tanpa memperdulikan lingkungannya khususnya masyarakat pesisir.
Tampaknya, Lembaga perbankan menganut ajaran Hans Kelsen (2007:2) yang menyatakan, bahwa hukum haruslah dipisahkan dari anasir-anasir bukan hukum seperti, anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya; hukum harus dibebaskan dari unsur moral, Hans Kelsen (2003 :120) juga mengajarkan, bahwa hukum termasuk sollenskategori (hukum sebagai keharusan), bukan seinskategori (hukum sebagai kenyataan). Orang menaati hukum karena memang harus menaati sebagai perintah negara.

Teori ekonomi ini dijadikan dasar bagi lembaga perbankan untuk mencari keuntungan, bukan untuk kepentingan umum atau kepentingan sosial, berbeda halnya bila instansi pemerintah yang menggunakan teori ini akan berorientasi kepada masyarakat luas yang akan dilayani karena memang tujuannya menekankan unsur pelayanan masyarakat. Antara lembaga perbankan dengan instansi pemerintah mempunyai tujuan yang sangat berjauhan. Lembaga perbankan mempunyai tujuan yang sudah mapan, yaitu keuntungan materiel, dan ukuran efisien tercapai bila pengorbanan sekecil-kecilnya diperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan instansi pemerintah menekankan pada unsur pelayanan, efisien tercapai, bila dapat memberikan pelayanan yang sah dengan sebaik-baiknya atau memuaskan masyarakat banyak, tanpa memperhitungkan untung ruginya.
Pertanyaan, mengapa lembaga perbankan ikut mencari keuntungan dari kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan pada masyarakat pesisir; jawabannya sangat relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sri Redjeki Hartono (2000:65) bahwa setiap temuan baru, setiap metode baru, dan setiap penyalah-gunaan baru, dengan cepat akan dimanfaatkan oleh dunia bisnis sebagai komoditi secara maksimal. Dunia bisnis adalah dunia yang penuh kreativitas dan inovasi yang sangat efektip karena tujuannya yang mapan dan jelas, yaitu keuntungan ekonomi. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kreativitas di bidang-bidang lain dimana faktor idealisme dan kepuasan batin yang lebih dominan, sehingga nilai ekonomi dapat dikesampingkan.

Selanjutnya Sri Redjeki Hartono (2000:68) mengemukakan teorinya bahwa setiap penemuan baru yang nilai manfaatnya tinggi bagi kemajuan kehidupan dan perbaikan taraf hidup manusia, dapat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi pula, yang akhirnya akan menjadi komoditi yang tinggi nilai ekonominya. Sesuatu yang nilai kemanfaatannya cukup tinggi, maka secara otomatis menyebabkan nilai ekonominya juga menjadi lebih tinggi. Suatu benda atau kebendaan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mengandung dan mengundang potensi pertikaian yang tinggi pula. Para teoritis hukum selalu didera oleh berbagai pertanyaan mendasar yang pada akhirnya selalu bermuara pada satu titik, yaitu pada titik harkat dan martabat kehidupan manusia dan kemanusiaan, seberapa jauh dijamin dan dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, kreativitas dibidang ekonomi perlu diberikan rambu-rambu agar tetap aman bagi tata kehidupan dan harus mengatur semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam rangka melindungi kepentingan manusia dan kemanusiaan pada umumnya.

Jawaban lain atas pertanyaan di atas, juga relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Richard Quinney, bahwa hukum di dalam suatu masyarakat kapitalis memberikan pengakuan politis terhadap kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomis yang kuat. Sistem hukum memberikan mekanisme untuk mengendalikan mayoritas dalam masyarakat, karena negara dan sistem hukum mencerminkan pemenuhan kebutuhan pihak-pihak yang berkuasa (Soerjono Soekanto, 1985 :58).

Aktivitas perbankan dalam pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 juga bersesuaian dengan teori sistem hukum cybernetics. Teori hukum ini memandang komponen-komponen masyarakat tidak mempunyai kemampuan selain menaati hukum. Kelalaian terhadap perintah itu akan mengakibatkan berurusan dengan sanksi. Teori cybernetics di dalam hukum positif oleh Wiener, hukum didefinisikan sebagai suatu sistem pengawasan perilaku yang diterapkan pada sistem komunikasi yang wujudnya norma-norma yang diproduksi oleh suatu pusat kekuasan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. Hukum dipandang sebagai suatu sistem kontrol searah yang dilakukan oleh sentral organ yang memiliki kekuasaan terhadap sistem komunikasi. Sistem kontrol searah otomatis-mekanis (cybernetic) menuntun perilaku setiap komponen tanpa adanya penolakan atau komponen tidak memiliki otonomi perilaku.

Paradigma hukum positif juga berasumsi dan menempatkan komponen-komponen masyarakat hanya memiliki satu kemampuan yaitu taat perintah, penyimpangan atas perintah dinetralkan melalui sanksi. Antara teori hukum cybernetics dan hukum poistif menunjukkan banyak persamaan, sehingga teori cybernetics dapat diterapkan di dalam paradigma hukum positif dengan perspektif hukum Eropa Kontinental.
Apabila ditelaah substansi kebijakan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir yang telah dituangkan dalam Buku Pedoman Umum PEMP tahun 2006, materi muatannya menekanan pada pendekatan Civil law sistem atau Hukum Positif Eropa Kontinental dan teori sistem hukum Cybernetic,. yaitu suatu teori sistem mekanis yang secara analog diterapkan kedalam kehidupan manusia, khususnya sistem hukum. Koperasi dan komponen-komponen masyarakat pesisir, dipandang tidak memiliki kemampuan selain mentaati aturan hukum yang diberlakukan padanya.

Menurut Norbert Wiener, hukum merupakan pusat pengedalian komunikasi antar individu, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sebagai tujuannya. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang disebut sebagai “central organ”. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu. Penghindaran sengketa dengan menerapan sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan demikian, setiap individu diharapkan berperilaku sesuai dengan perintah dan keadilan dapat terwujud karenanya ( Lili Rasjidi, 2003 : 87).

Penerapan aturan hukum yang menyatakan, bahwa “koperasi harus membayar angsuran pokok beserta bunga tiap bulan dan bila menunggak tiga bulan berturut-turut, maka lembaga perbankan akan mencairkan dana hibah koperasi yang menjadi agunan tunai “ (Bab 3 butir 3b hal 13 Buku Pedoman Umum PEMP 2006 ) dan dilaksanakan secara otomatis oleh lembaga perbankan melalui komputer, merupakan alasan yang kuat untuk mengatakan, bahwa lembaga perbankan menyalurkan dana PEMP 2006 kepada koperasi nelayan, menerapan ajaran hukum menurut teori cybernetics pada hukum positif Eropa Kontinental, karena koperasi nelayan tidak memiliki kemampuan untuk memberi alasan, apalagi bernegosiasi atas aturan ini, kecuali tunduk pada aturan perbankan dan ketentuan Pedoman Umum PEMP 2006.

Pada saat ini (tahun 2008) pemerintah mengelurkan kebijakan berupa Kredit Usaha Rakyat ( KUR) yang juga diperuntukkan bagi koperasi nelayan dengan bunga 15 % per tahun dan kewajiban menyerahkan agunan kebendaan. Kebijakan ini tampak sangat jauh dari kehendak peraturan perundang-undangan yang mengatur pembinaan usaha kecil termasuk koperasi mengingat koperasi nelayan baru tumbuh satu tahun diperlakukan persyaratan kredit yang sama dengan persyaratan kredit perusahaan konglomerat, tidak ada keringanan, bahkan persyaratan lebih berat lagi dengan adanya kewajiban pengembalian pokok dan bunga secara angsuran setiap enam bulan dan harus lunas dalam jangka waktu tiga tahun. Sikap lembaga perbankan lebih memperkuat pendapat di atas yang menganggap lembaga perbankan menggunakan ajaran hukum yang bersesuaian dengan pandangan Hans Kelsen dan Hukum Cybernatics oleh Norbert Wiener

4. Aktivitas Koperasi

Sebgaimana telah disebutkan di muka, bahwa program PEMP 2006 menjadikan koperasi nelayan sebagai sasaran perantara dengan
memfokuskan pada kegiatan pokok, yaitu :
a.Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro-Usaha Simpan Pinjam (LKM-USP),
b.Mendirikan Kedai Pesisir
c.Mendirikan tempat penjualan solar bagi nelayan yang dikenal dengan istilah Solar
Packed Dealer Nelayan (SPDN)

Kegiatan pokok PEMP tersebut ditunjang dana hibah tahun 2003, 2006 dan 2007 yang dilaksanakan oleh :

1)Lembaga Keuangan Mikro-Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LKM-LEPPM3) yang mendapat dana hibah langsung tahun 2003 sebesar Rp 600 juta dan mengalami kemacetan, karena kesalahan managemen, sehingga program PEMP 2003 di Polewali Mandar mengalami kegagalan total.

2)Koperasi Nelayan Madani menggantikan LKM-LEPPM3 menjalankan Usaha Simpan Pinjam kepada Nelayan yang diberi nama LKM-USP Nelayan mendapat dana hibah Rp 563.980.000,-yang dijadikan agunan kredit pada lembaga perbankan guna mendapatkan fasilitas kredit BRI sebesar Rp 555 juta.

3)Koperasi Nelayan Madani juga mengelola Kedai Pesisir memperoleh dana hibah sebesar Rp 200 juta tunai. Kedai Pesisir yang melayani penjualan eceran barang-barang kebutuhan pokok yang diperuntukkan bagi nelayan, tetapi karena lokasinya di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) yang saat ini masih mengalami tahap pembangunan dan jauh dari perkampungan nelayan, sehingga mengalami kesulitan pemasaran barang dagangan.

4)SPDN Polewali dipercayakan juga pengelolaannya kepada Koperasi Nelayan Madani dengan modal sendiri, memperoleh jatah 30 kilo liter (30.000 liter) perbulan dari Pertamina, namun hanya dapat menjual solar paling banyak 5 kilo liter (5.000 liter) perbulan.

5)Koperasi Swadaya Pa’banua memperoleh dana PEMP 2007 sebesar Rp 475 juta untuk SPDN yang berada di Tinambung yang baru diresmikan pada akhir tahun 2007 sudah mulai beroperasi dengan baik dengan jatah solar 16.000 liter perbulan,

Usaha simpan pinjam yang dikelola oleh Koperasi Nelayan ternyata lebih memperioritaskan pada pemberian pinjaman dana PEMP 2006 kepada kelompok pemasaran ikan yang jumlah kelompok maupun anggotanya jauh lebih sedikit dari pada kelompok nelayan tangkap, dengan alasan bahwa kelompok nelayan tangkap tidak disiplin dalam mengembalikan angsuran pokok dan bunga pinjamannya, sehingga terjadi tunggakan yang memberatkan koperasi nelayan, karena harus menalangi bunga dana pada lembaga perbankan atau BRI Polewali.

Adanya keraguan pihak koperasi untuk menyalurkan lebih banyak dana PEMP kepada kelompok nelayan tangkap karena takut akan mengalami kesulitan pengembalian dana perbankan yang akan berakibat pada pencairan agunan tunai (cash collateral) milik koperasi yang pada gilirannya akan menghadapi kemacetan dan di black list baik oleh perbankan maupun oleh pemerintah, sebagaimana halnya pengelola dana PEMP 2003. Oleh karena itu, sebagian besar dana PEMP disalurkan kepada kelompok pemasaran ikan.

Penyaluran dana PEMP kepada sebagian besar kelompok pemasaran ikan dikhawatirkan akan memgembalikan keadaan awal titik tolak konsep dasar, yaitu nelayan tangkap sebagai tesis berhadapan dengan pemasaran ikan sebagai anti tesis yang akan melahirkan punggawa atau juragan ikan baru, dalam percaturan ini lagi-lagi kelompok nelayan tangkap berada pada pihak yang lemah, tergilas kembali oleh juragan ikan, sebagai akibat dari perioritas pemberian dana PEMP 2006 oleh Koperasi Nelayan Madani kepada kelompok pemasaran ikan.

Buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 3 butir A.3b menetapkan, bahwa bunga dan pokok pinjaman dibayar secara rutin setiap bulan kepada bank, namun menurut penelitian dokumen diketemukan bahwa antara koperasi nelayan dan lembaga perbankan telah membuat perjanjian kredit modal kerja yang bersifat revolving (penarikan berulang), sehingga koperasi seakan-akan hanya membayar bunga kredit saja, sedangkan hutang pokok relatip konstan atau tidak dikembalikan. Koperasi memang melakukan pembayaran angsuran pokok, tetapi dapat ditarik kembali bilamana ada anggota koperasi nelayan yang memerlukan tambahan pinjaman atau ada kelompok baru yang mengajukan permohonan pinjaman baru. Alasan koperasi melakukan penyimpangan ketentuan pengembalian angsuran pokok kepada lembaga perbankan karena Pemerintah menginginkan Program PEMP berkembang dalam arti anggota yang mendapat bantuan PEMP semakin bertambah. Apabila pokok atau modal koperasi dikembalikan kepada lembaga perbankan, bagaimana mungkin anggota baru bisa bertambah. Hal ini merupakan suatu hal yang mustahil (impossible).

Ketentuan Bab 3 butir A.3b Pedoman Umum, dipandang berkontrakdiksi dengan ide pokoknya atau konsep dasar, sehingga Koperasi Nelayan Madani lebih memilih menyimpang aturan ini dan melakukan negosiasi dengan Pimpinan Bank Rakyat Indonesia agar fasilitas kredit yang dikucurkan bukan plafond menurun atau aflopend palfond tetapi fasilitas kredit revolving atau dapat ditarik berulang kali.
Lembaga perkoperasian, termasuk lembaga komersial dalam menganalisis suatu kontrak selalu berpatokan pada faktor efektivitas dan efisiensi tanpa meperdulikan kepada siapa yang dilayani. Lembaga ini menganut paham Neo Classical efficiency yang menurut pandangan Pareto dan Kaldor-Hicks yang dikutip oleh Johannes Ibrahim (2004 : 47), yaitu menurut Pareto suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seseorang pun dibuat menjadi lebih buruk. Kaldor-Hicks memberikan ukuran suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial, maksudnya adalah membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadan yang memperburuk.

Lembaga Keuangan Mikro-Usaha Simpan Pinjam (LKM-USP) Nelayan, semula diharapkan akan menggantikan kedudukan punggawa dalam penyediaan kebutuhan modal nelayan, ternyata tidak dapat berbuat banyak, mengingat dana yang dikelola relatip kecil dibandingkan dengan jumlah nelayan yang harus dilayani. Tampaknya Koperasi Nelayan Madani lebih menitik beratkan pada unsur komersil daripada unsur pelayanan, karena resiko kredit perbankan dipikulkan kepadanya, sehingga dana PEMP 2006 sebagian besar hanya disalurkan kepada kelompok pemasaran ikan.

Kendala lain dalam pelaksanaan Program PEMP 2006 adalah penyediaan solar untuk nelayan (SPDN) bagi kapal-kapal bermotor nelayan, karena kebijakan tersebut hampir-hampir tidak menyentuh kepentingan kelompok nelayan kecil. Kelompok nelayan kecil hanya memerlukan premium dan minyak tanah untuk menjalankan mesin-mesin tempel pada perahu mereka, bukan solar. Solar dibutuhkan oleh kapal-kapal bermotor dan mesin nelayan ‘bagang’ milik punggawa ikan.

Kapal-kapal bermotor milik punggawa ikan beroperasi di perairan teritorial (sampai 12 mil) atau perairan provinsi dan hasil tangkapan ikan mereka sering dijual di kabupaten lain dan sekaligus melakukan pengisian bahan bakar di tempat menjual ikan tersebut, sehingga jatah SPDN dari Pertamina untuk Koperasi Nelayan Madani Polewali tidak habis terpakai.

Koperasi Nelayan sebagai sasaran perantara dan menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan program PEMP, koperasi nelayan telah menyalurkan pinjaman kredit kepada nelayan secara real dan bertanggung jawab, dalam arti menerapkan manajemen yang baik, karena takut akan sanksi yang akan dikenakan baik oleh lembaga perbankan maupun dari pemerintah (DKP). Bila diteliti lebih dalam, ternyata ketaatan koperasi terhadap peraturan kebijakan PEMP 2006 bukan karena rasionalnya peraturan, tetapi karena berlakunya sistem hukum cybernetics padanya, dimana koperasi dan anggotanya dianggap sebagai suatu komponen yang tidak ada pilihan lain kecuali menaati perintah yang diatur di dalam buku Pedoman Umum dan tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpangi, kecuali atas persetujuan lembaga perbankan dan pembuat aturan.

Ketaatan koperasi terhadap kebijakan pemerintah dan lembaga perbankan diharapkan merupakan faktor pendukung keberhasilan program PEMP. Penyimpangan atas ketentuan penarikan kredit secara aflopend plafond (plafond menurun) menjadi revolving atau dana dapat ditarik berulang kali sampai berakhir jangka waktu perjanjian kredit dan dapat diperpanjang dianggap sebagai suatu pengeculian yang menunjang kelancaran perguliran dana hibah PEMP 2006.

Pemberian bantuan pinjaman yang memprioritaskan kelompok pemasaran ikan ketimbang nelayan tangkap dengan alasan komersil, dipandang sebagai suatu faktor penghambat pengentasan kemiskinan bagi nelayan tangkap pada masyarakat pesisir.

5. Tim Pendamping Desa (TPD) dan Konsultan Managemen

Salah satu lembaga pembantuan dalam menyalurkan dana PEMP adalah Tim Pendamping Desa (TPD ). Tim ini dapat dilakukan oleh perseorangan dan dapat juga oleh suatu badan atau lembaga. Tugas pokoknya yang diatur di dalam Buku Pedoman Umum PEMP bahwa TPD membantu kelompok nelayan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk mengakses permodalan kepada koperasi, bersama Dinas Kelautan dan Perikanan memberikan sosialisasi kepada kelompok masyarakat pesisir tentang maksud dan tujuan PEMP 2006, membantu mangarahkan kelompok nelayan mengatur keuangannya, membina kekompakan kelompok, membantu koperasi melakukan verifikasi kelompok dan membantu koperasi nelayan melakukan penagihan angsuran pokok dan bunga kelompok-kelompok masyarakat pesisir yang menunggak. Aktivitas TPD Kabupaten Polewali Mandar adalah bekerjasama Dinas Kelautan dan Perikanan serta Koperasi Nelayan Madani melakukan verifikasi kelompok nelayan baru yang mengajukan permohonan bantuan dana PEMP. TPD seharusnya juga bertindak sebagai konsultan kelompok nelayan guna membantu mengatasi kesulitan pengaturan keuangan nelayan dengan jalan meminta ketua atau anggota kelompok nelayan melakukan tabungan harian. Namun dalam kenyataannya, Tim Pendamping Desa (TPD) belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik kecuali hanya verifikasi kelompok nelayan, tugas-tugas seperti pembinaan usaha kelompok nelayan dan membantu memberi petunjuk pengaturan keuangan kelompok, membantu koperasi melakukan pendekatan kepada kelompok untuk menyelesaikan kewajibannya belum tampak dilakukan dengan baik. TPD masih sebatas lembaga formalitas saja, sehingga berdampak pada permasalahan wanprestasi kelompok nelayan kepada koperasi nelayan, seperti membengkaknya tunggakan angsuran dan tunggakan bunga kelompok nelayan. Hal ini merupakan indikator utama ketidak-berhasilan TPD yang pada gilirannya dikategorikan sebagai faktor penghambat.

Di samping itu, Konsultan manajemen yang berfungsi membantu Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menata manajemen lembaga-lembaga pelaksana kebijakan, terutama terhadap Koperasi Nelayan dan TPD, sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan program PEMP, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila konsultan manajemen dapat berfungsi dengan baik, maka pelaksanaan pengelolaan dana PEMP 2006 akan berjalan dengan baik pula khususnya kelancaran perguliran dana PEMP 2006. Konsultan manajemen hanya memperjuangkan kepentingan kelompok nelayan tanpa memperhitungkan kondisi koperasi nelayan, sehingga harapan untuk menjadi penunjang malah menjadi faktor penghambat.

6. Sikap Kelompok Nelayan

Menurut hasil penelitian melalui angket (check list) yang dikirim kepada 15 kelompok nelayan yang mewakili 236 (42,1 %) dari anggota yang telah memperoleh bantuan pinjaman dana PEMP (lampiran 7), 93,3 % responden memberikan jawaban, bahwa bantuan pemerintah seperti program PEMP sangat bermanfaat untuk membantu mengatasi kesulitan permodalan nelayan dan bunga yang dibebankan kepada mereka sebesar 21 % pertahun dianggap sedang-sedang saja atau biasa-biasa saja.

Sesungguhnya tingkat suku bunga yang dibebankan oleh Koperasi Nelayan Madani kepada anggotanya sebesar 21 % pertahun sudah termasuk cukup tinggi mengingat bunga perbankan rata-rata hanya 15 % pertahun, tetapi nelayan masih menganggap sedang-sedang saja. Hal ini dapat dimengerti karena respondennya sebagian besar kelompok pemasaran ikan yang selama ini sudah terbiasa menerima pinjaman dengan suku bunga jauh lebih tinggi daripada suku bunga Koperasi Nelayan Madani yaitu pinjaman yang diperoleh dari rentenir dan punggawa ikan. Hasil wawancara dengan beberapa anggota nelayan yang menyatakan, bahwa memang suku bunga tersebut tinggi, tapi mereka bersyukur karena mendapat bantuan pinjaman yang lebih rendah suku bunganya dan angsurannya dari pada pinjaman selain bantuan pemerintah.

Jawaban lain responden tentang bantuan pinjaman dana bergulir PEMP 2006 adalah pengelolaan Koperasi Nelayan Madani adalah baik, perjanjian yang telah dibuat perlu ditaati, karena bila tidak ditaati, pemerintah tidak akan memberikan lagi bantuan, di samping adanya sanksi hukum.

Kesulitan yang dihadapi adalah masalah kurangnya dana yang dikelola oleh Koperasi Nelayan Madani, sehingga kelompok baru memerlukan waktu beberapa bulan menunggu antrian untuk mendapatkan pinjaman. Bentuk pinjaman yang diperlukan dapat berupa uang tunai dan dapat juga peralatan melaut serta kebutuhan hidup sehari-hari.

Selanjutnya, jawaban responden tentang Keberadaan Kedai Pesisir tetap diperlukan, tetapi lokasinya harus lebih mendekati lokasi perkampungan nelayan, agar tidak menyulitkan transportasinya. Penyediaan solar untuk kebutuhan melaut melalui SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan) yang disediakan oleh Pemerintah melalui Koperasi Nelayan Madani ataupun Koperasi Pa’banua hanyalah untuk kepentingan kapal-kapal nelayan besar atau kebanyakan untuk kepentingan punggawa ikan, bukan untuk kepentingan perahu motor nelayan kecil. Perahu motor nelayan kecil hanya menggunakan premium dan minyak tanah. Sehingga sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan juga penyediaan premium dan minyak tanah melalui Koperasi Nelayan.

Faktor budaya hukum masyarakat setempat merupakan faktor yang yang sangat mempengaruhi keberhasilan program PEMP. Dan sekaligus juga sebagai faktor penghambat yang sangat potensial. Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa pelaksanaan penyaluran dana PEMP kepada kelompok nelayan dilakukan dengan menggunakan surat perjanjian pinjam-meminjam uang atau perjanjian kredit tanpa disertai dengan jaminan kebendaan. Perjanjian kredit ini dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat oleh dua orang atau lebih dengan kesepakatan bersama yang disertai dengan itikad baik merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Perjanjian ini dalam kenyataannya tidak menguntungkan pihak koperasi nelayan, karena anggota nelayan yang wanprestasi atas kewajibannya, seperti tidak melakukan pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjamannya, koperasi tidak dapat berbuat apa-apa kecuali melakukan pendekatan persuasif saja terhadap kelompok nelayan yang wanprestasi dan sama sekali tidak mempunyai kemampuan menempuh jalur hukum, mengingat tidak adanya jaminan kebendaan yang diserahkan oleh anggota koperasi nelayan, dan biaya perkara cukup tinggi dibandingkan dengan besarnya pinjaman anggota nelayan.

Hasil wawancara yang menunjukkan ada beberapa orang anggota yang memprovokasi, bahwa bantuan yang diterima dari koperasi nelayan merupakan dana hibah dari pemerintah. Dana hibah yang dikelola oleh Koperasi nelayan dianggap bantuan pemerintah kepada nelayan tidak perlu dikembalikan, karena berasal dari uang rakyat juga, serta tidak mengandung resiko atau sanksi hukum bila tidak dikembalikan.

Apabila hal ini terjadi, yakni sebagian besar anggota koperasi tidak memenuhi kewajiban pembayaran angsuran dan bunganya, maka koperasi nelayan pada suatu titik tertentu, dimana modal yang berasal dari kredit perbankan dikuras oleh beban bunga bank dan pinjaman anggota yang wanprestasi, koperasi nelayan tidak akan mampuh memenuhi kewajibannya kepada lembaga perbankan, yang pada gilirannya lembaga perbankan akan menjatuhkan sanksi kepada koperasi. Bila kejadian ini berulang sampai tiga kali berturut-turut, maka agunan tunai (cash collateral) koperasi akan dicairkan dan nama koperasi beserta pengurusnya akan di black list oleh lembaga perbankan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan.

Apabila koperasi telah di masukkan ke dalam black list, maka sanksi berikutnya adalah koperasi nelayan tidak akan diberikan lagi kesempatan untuk menyalurkan dana bantuan, baik dari pemerintah maupun dari lembaga perbankan, yang berarti kegagalan program pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir. Paham atau pandangan masyarakat seperti inilah merupakan faktor penghambat yang sangat serius terhadap keberhasilan suatu kebijakan pemerintah

Di samping faktor penghambat dari segi budaya hukum terdapat juga faktor pendukung berupa adanya kelancaran anggota nelayan memenuhi kewajibannya karena takut pada ancaman sanksi dari Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa bila anggota tidak memenuhi kewajibannya, maka anggota nelayan dan kelompoknya tidak akan diberikan lagi bantuan dari pemerintah dalam bentuk apapun, tetapi ancaman sanksi ini baru ancaman lisan.

B. Kesimpulan
1.Ketentuan peraturan pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 yang diatur
pada Bab II butir E halaman 9 Pedoman Umum yang menyatakan, bahwa koperasi
menerima DEP sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan
pinjaman dan harus dibukukan sebagai modal tidak tetap, tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU No 25/1992 tentang Perkoperasian. Hal ini
berarti, bahwa peraturan pelaksanaan PEMP 2006 tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 7 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian, ketentuan
pelaksanaan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 tidak taat pada asas hukum Lex
Superior derogat legi inferiori.
2.Pelaksanaan peraturan penerimaan dana PEMP 2006 yang menjadikan dana hibah
sebagai agunan tunai kredit koperasi nelayan pada BRI Polewali menyebabkan
tingginya suku bunga pinjaman kelompok nelayan, lebih menguntungkan lembaga
perbankan ketimbang kelompok nelayan dan koperasinya.

c. S a r a n
1. Peraturan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 yang menjadikan dana hibah sebagai agunan tunai kredit koperasi pada BRI Polewali sebaiknya ditinjau kembali, karena hanya menguntungkan lembaga perbankan dan memberatkan kelompok masyarakat pesisir, khususnya tingkat suku bunga.
2. Sistem Penyediaan solar dan kebutuhan melaut bagi kelompok nelayan perlu ditinjau kembali pelaksanaannya, karena hanya mengutungkan punggawa ikan, bukan nelayan tangkap (nelayan kecil).
3. Penyediaan bahan kebutuhan pokok nelayan dan peralatan melaut bagi nelayan melalui Kedai Pesisir pada lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak efektif karena masalah transportasi. Perlu dipertimbangkan pendirian kios-kios di perkampungan nelayan kecil yang mudah dijangkau.
4. Pembentukan Kelompok-kelompok nelayan di dalam masyarakat pesisir oleh Pemerintah Daerah hendaknya dibuatkan Surat Keputusan dari Dinas Kelautan dan Perikanan agar menjadi dasar hukum berdirinya kelompok nelayan tersebut. Pemerintah Daerah juga perlu menerbitkan Perda yang mengatur ketentuan pengaturan dana bantuan baik bagi pengelola maupun bagi penerima bantuan.

Senin, 19 Juli 2010

PELAKSANAAN PENGELOLAAN DANA HIBAH PEMP 2006 OLEH KOPERASI NELAYAN MADANI

1. PENERIMAAN DANA

Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan skala kecil, sebagai berikut :
• Pasal 60 (1) menyatakan bahwa penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan skala kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara mudah, bunga rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudidaya ikan berskala kecil.
•Pasal 62 undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun dari sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan pengelolaan Dana PEMP 2006 menurut buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 1 hal 2dan 3 melibatkan koperasi dan lembaga perbankan dalam memberikan pelayanan bantuan pinjaman dana PEMP kepada kelompok nelayan. Hal ini berarti bahwa di samping Undang-Undang No 31 Tahun 2004 sebagai dasar hukum pembuatan Pedoman Umum PEMP 2006, juga harus mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil, serta Undang-Undang No 7 Tahun 1992 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Departemen Kelautan dan Perikanan telah membuat Pedoman Umum pengaturan pengelolaan dana hibah PEMP 2006 berdasarkan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang mengatur pemberian bantuan kepada para nelayan kecil dalam mengatasi kesulitan permodalan dengan jalan mengubah sistem pengelolaan pemberian dana hibah langsung kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) milik koperasi nelayan menjadi pola fasilitas kredit dari lembaga perbankan dengan agunan tunai (cash collateral). Lembaga Keuangan Mikro milik koperasi nelayan merupakan suatu badan hukum yang berfungsi menyediakan dana pinjaman bagi kelompok nelayan tanpa kewajiban memberikan jaminan kebendaan atau agunan sesuai kebijakan pengelolaan dana hibah Peogram PEMP 2006 yang telah dituangkan secara terinci ke dalam suatu Buku Pedoman Umum yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep 18/Men/2004 dan Keputusan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) No. SK 07/KP3K/I/2006 tanggal 26 Januari 2006 tentang Pedoman Umum Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir.

Menurut bab II butir E halama 9 Pedoman Umum PEMP 2006, bahwa Koperasi berfungsi sebagai komponen utama pelaksanaan Program PEMP 2006 di daerah. Dalam pelaksanaan kegiatan, koperasi harus berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/kota sebagai penanggungjawab operasional di daerah dan juga dengan lembaga perbankan/pembiayaan sebagai mitra usaha mereka. Dalam menjalankan fungsinya, koperasi menerima Dana Ekonomi Produktip (DEP ) sebagai hibah yang dijaminkan kepada perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Dana pinjaman tersebut selanjutnya disalurkan untuk dapat diakses masyarakat pesisir melalui LKM (Lembaga Keuangan Mikro) milik koperasi yang bersangkutan. Kemudian bab III butir A (1 dan 2 hal 11,12) menyatakan bahwa DEP (Dana Ekonomi Produktip ) yang dijadikan sebagai penjaminan tunai (cash collateral) dikelola dengan tahapan sebagai berikut :

1). DEP dibukukan pada rekening giro atas nama koperasi untuk kemudian dijadikan jaminan kepada bank pelaksana. Bank pelaksana memberikan kredit kepada koperasi minimal sebesar DEP yang dijaminkan.

2). Kredit dari bank pelaksana dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap ( MTT ) pada unit usaha simpan pinjam untuk diteruskan sebagai pinjaman kepada masyarakat pesisir anggota atau calon anggota koperasi

Buku Pedoman Umum PEMP 2006 Bab 3 butir A.3b menetapkan, bahwa bunga dan pokok pinjaman dibayar secara rutin setiap bulan kepada bank, namun menurut penelitian dokumen diketemukan bahwa antara koperasi nelayan dan lembaga perbankan telah membuat perjanjian kredit modal kerja yang bersifat revolving (penarikan berulang), sehingga koperasi seakan-akan hanya membayar bunga kredit saja, sedangkan hutang pokok relatip konstan atau tidak dikembalikan. Koperasi memang melakukan pembayaran angsuran pokok, tetapi dapat ditarik kembali bilamana ada anggota koperasi nelayan yang memerlukan tambahan pinjaman atau ada kelompok baru yang mengajukan permohonan pinjaman baru. Alasan koperasi melakukan penyimpangan ketentuan pengembalian angsuran pokok kepada lembaga perbankan karena Pemerintah menginginkan Program PEMP berkembang dalam arti anggota yang mendapat bantuan PEMP semakin bertambah. Apabila pokok atau modal koperasi dikembalikan kepada lembaga perbankan, bagaimana mungkin anggota baru bisa bertambah. Hal ini merupakan suatu hal yang mustahil (impossible).

Ketentuan Bab 3 butir A.3b Pedoman Umum, dipandang berkontrakdiksi dengan ide pokoknya atau konsep dasar, sehingga Koperasi Nelayan Madani lebih memilih menyimpang aturan ini dan melakukan negosiasi dengan Pimpinan Bank Rakyat Indonesia agar fasilitas kredit yang dikucurkan bukan plafond menurun atau aflopend palfond tetapi fasilitas kredit revolving atau dapat ditarik berulang kali.

Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan, bahwa Modal yang diperoleh dari dana hibah harus dibukukan sebagai modal sendiri atau Modal Tetap (MT), sedangkan Pedoman Umum PEMP menyatakan harus dibukukan sebagai Modal Tidak Tetap (MTT).

Apabila kita lihat jumlah bantuan dana PEMP yang diterima di Kabupaten Polewali Mandar secara keseluruhan mulai dari Dana PEMP 2003, 2006 dan 2007, jumlahnya telah mencapai Rp 1,8 milyar atau 13,9 % dari total dana yang dialokasikan kepada masyarakat pesisir, dikelola oleh 3 koperasi nelayan, yaitu masing-masing oleh Lembaga Keuangan Mikro-Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (selanjutnya disingkat LKM-LEPPM3), Koperasi Nelayan Madani dan Koperasi Swadaya Pa’banua. Dana PEMP 2003 sebesar Rp 600 juta yang dikelola oleh LKM-LEPPM3 berupa usaha simpan pinjam macet total (100 %), sehingga program PEMP 2003 di Polewali Mandar dapat dikategorikan gagal total.

Sesuai Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar No. 523/340/DKP tanggal 7 Agustus 2006, Koperasi Nelayan Madani ditunjuk sebagai penerima dana hibah PEMP 2006 sebesar Rp 555 juta untuk Dana Ekonomi Produktip yaitu bantuan kredit Bank Rakyat Indonesia Polewali dengan suku bunga rendah (6 % per tahun) dengan jaminan dana hibah Pemerintah sebesar Rp 563,9 juta yang mengendap pada BRI Polewali. Kredit tersebut untuk disalurkan kepada kelompok nelayan dengan sistem pinjaman bergulir. Sedangkan Rp 200 juta dana hibah untuk Kedai Pesisir.

2. PENYALURAN DANA

Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa pelaksanaan program PEMP di Kabupaten Polewali Mandar dimulai sejak tahun 2003 dan sampai tahun 2007 telah 3 (tiga) kali mengucurkan dana hibah dalam rangka pelaksanaan Program PEMP. Pertama kali tahun 2003berupa bantuan dana hibah langsung ke LKM-LEPPM3 tanpa melalui kredit perbankan. Dalam perjalanannya LKM-LEPPM3 mengalami kemacetan karena masalah management sehingga untuk pengelolaan dana hibah program PEMP tahun 2006 ditunjuklah Koperasi Nelayan Madani, sebuah koperasi yang didirikan khusus untuk melayani nelayan pada awal tahun 2005 dengan akte pendirian No 101/BH/IV/20.20 tanggal 10 Januari 2005.

Penunjukan Koperasi Nelayan Madani sebagai pengelola dana hibah Program PEMP 2006 dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar No. 523/340/DKP tanggal 7 Agustus 2006. Dalam menjalankan tugas, Koperasi Nelayan Madani berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Polewali Mandar sebagai penanggung jawab operasional serta lembaga perbankan (Bank Rakyat Indonesia) sebagai mitra usaha.

Koperasi Nelayan Madani mendirikan Lembaga Keuangan Mikro yang merupakan suatu unit usaha berbadan hukum, berfungsi menyalurkan dana pinjaman bagi kelompok nelayan tanpa jaminan kebendaan atau tanpa agunan, sesuai kebijakan pemerintah tentang
pengelolaan dana hibah program PEMP 2006 yang telah dituangkan ke dalam suatu Buku Pedoman Umum yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep 18/Men/2004, dan Keputusan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( KP3K ) No. SK 07/KP3K/I/2006 tanggal 26 Januari 2006 tentang Pedoman Umum Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir.

Dengan demikian, kebijakan pengelolaan dana hibah Program PEMP 2006 pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu kebijakan pemberian kredit oleh lembaga perbankan kepada koperasi nelayan dan kebijakan pemberian pinjaman kredit dari koperasi kepada kelompok nelayan, dan dapat juga dikatakan bahwa penyaluran dana PEMP 2006 dari Pemerintah Pusat untuk sampai kepada kelompok nelayan sebagai pengguna (pemanfaat) melalui dua lembaga perantara yaitu lembaga perbankan dan lembaga perkoperasian, atau melalui dua tahap.

Kebijakan pemberian kredit kepada koperasi oleh lembaga perbankan disertai jaminan dana hibah dari Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan) dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan akses permodalan kelompok nelayan. Pemerintah memberikan dana hibah kepada koperasi nelayan agar kelompok nelayan dapat mengakses permodalan dengan cepat dan bunga murah. Kebijakan ini bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan kelompok masyarakat pesisir atau kelompok nelayan, kelompok pemasaran ikan skala kecil, pembudidaya ikan skala kecil, pengolahan ikan berskala kecil serta membantu melepaskan nelayan dari lilitan rentenir.

Kebijakan Program Pemp 2003 pengaturannya berbeda dengan kebijakan Pemerintah tahun 2006. Kebijakan Program Pemp 2003 mengatur dana hibah yang berasal dari APBN tahun 2003 diserahkan langsung kepada koperasi nelayan, sedangkan pada program PEMP 2006 dana hibah dari Pemerintah Pusat dijadikan jaminan kredit pada lembaga perbankan (cash collateral). Perubahan kebijakan ini menyebabkan bantuan kredit kepada kelompok nelayan mengalami kenaikan suku bunga pinjaman cukup tginggi yang mencapai 1,75 % per bulan, sedangkan sebelumnya hanya 1 %. Hal ini disebabkan karena adanya pembebanan bunga dari bank sebesar 0,5 % per bulan di samping pembebanan bunga dari koperasi nelayan.

Kemudian daripada itu, pelaksanaan penyaluran kredit dana PEMP 2006 dari koperasi nelayan kepada kelompok nelayan belum ada peraturan khusus, terutama mengenai kedudukan agunan yang harus diserahkan oleh anggota kelompok nelayan kepada koperasi mereka. Demikian pula sanksi yang akan dikenakan terhadap anggota nelayan yang wanprestasi atau lalai tidak membayar angsuran kreditnya, sanksinya tidak diatur dalam buku Pedoman Umum Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan-peraturan tersebut belum dibuatkan secara khusus dan tidak disinggung pengaturannya dalam Buku Pedoman Umum khususnya aturan-aturan yang menyangkut kelompok nelayan, kelompok pemasaran ikan, pengolahan ikan berskala kecil, kelompok usaha jasa perikanan sebagai pengguna dana.

Ketentuan yang diatur dalam Buku Pedoman Umum program PEMP hanyalah ancaman sanksi bagi koperasi nelayan yang lalai membayar bunga dan angsuran pokok selama tiga bulan berturut-turut kepada lembaga perbankan. Ancamannya berupa sanksi bagi koperasi nelayan akan diblack list oleh pemerintah dan lembaga perbankan, dan tidak akan diberikan lagi bantuan pada tahap berikutnya jika lalai memenuhi kewajibannya. Ketentuan tersebut sangat menggelikan, karena yang menikmati dana adalah nelayan tanpa sanksi, bila tidak membayar kewajibannya, tetapi koperasi nelayan sebagai penyalur yang dikenakan sanksi black list, dan lembaga perbankan lagi-lagi mendapat perlindungan khusus dari pemerintah berupa diberikannya kewenangan untuk mencairkan dana hibah koperasi nelayan bila tidak melakukan pembayaran angsuran pokok dan bunga selama tiga bulan berturut-turut.

Pelaksanan penyaluran fasilitas kredit PEMP 2006 oleh Bank Rakyat Indonesia Polewali digolongkan kedalam fasilitas kredit umum dan dibuatkan Akte Perjanjian Kredit secara noteriel No 53 tanggal 14 Desember 2006 disertai Cessie (Perjanjian Pemindahan dan Penyerahan hak tagih) no 54 tanggal 14 Desember 2006 dengan jaminan dana hibah dari Pemerintah Pusat. Sedangkan pemberian kredit kepada kelompok nelayan (melalui Ketua Kelompok ) dibuatkan Surat Perjanjian antara Koperasi dengan ketua kelompok nelayan (sebagai penerima kuasa dari anggota nelayan) di bawah tangan atau tidak dibuat secara noteriel dan tanpa disertai dengan jaminan kebendaan.

Di muka telah disebutkan bahwa persyaratan agunan pinjaman anggota nelayan yang harus diserahkan kepada koperasi, tidak diatur secara khusus oleh pemerintah di dalam buku Pedoman Umum pengelolaan dana hibah PEMP 2006, sehingga perjanjian kredit yang seharusnya disertai dengan jaminan kebendaan yang diikat secara fiduciaire eigendoms overdrach (FEO) tidak dilakukan, akibatnya koperasi memikul beban resiko yang cukup tinggi. Untuk meminimalisir resiko kerugian akibat wanprestasinya anggota nelayan dalam memenuhi kewajiban pengembalian pinjamannya kepada koperasi nelayan, koperasi menggunakan perjanjian umum sesuai dengan aturan Pasal 1338 KUH Perdata, namun cara ini dianggap kurang efektif mengingat apabila timbul sengketa pinjam-meminjam uang antara Koperasi dengan kelompok nelayan, akan memerlukan biaya penyelesaian di pengadilan jauh lebih besar dibanding kewajiban anggota koperasi yang wanprestasi, namun hanya inilah cara yang dapat dilakukan oleh koperasi nelayan.

Penelitian yang telah dilakukan terhadap penyaluran dana PEMP 2006 kepada kelompok nelayan diterapkan sistem dana bergulir dalam arti anggota nelayan harus mengangsur hutangnya kepada koperasi setiap bulan bersama dengan bunga sebesar 1,75 % perbulan. Jangka waktu pengembalian bervariasi sesuai dengan keinginan anggota nelayan, maksimum 24 (dua puluh empat) bulan. LKM Koperasi Nelayan Madani telah mengelola dengan baik, dan berkembang dari 24 kelompok pada saat pertama dikucurkan akhir tahun 2006 (363 orang) dan kini akhir tahun 2007 menjadi 35 kelompok (560 orang). Perkembangan tersebut disebabkan karena adanya kelompok baru, penambahan pinjaman lama dan perpanjangan jangka waktu kelompok lama.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan laporan keuangan Koperasi Nelayan Madani tahun buku 2007, menunjukkan bahwa dari Rp 854,2 juta dana PEMP, disalurkan kepada kelompok pemasaran ikan sebesar Rp 624,2 juta atau 73,1 %, dengan jumlah kelompok hanya mencapai 9,6 %. Sedangkan kelompok nelayan tangkap jumlah kelompoknya mencapai 46,2 % hanya menikmati dana PEMP 2006 sebesar Rp 200 juta atau 23,4%. Pengolahan ikan menikmati sebesar 3,5 %. Hal ini berarti bahwa Koperasi Nelayan Madani lebih memprioritaskan penyaluran dana PEMP 2006 kepada kelompok pemasaran ikan ketimbang nelayan tangkap, dengan alasan bahwa kelompok nelayan tangkap susah mengembalikan dana pinjaman kepada koperasi nelayan. Hal itu disebabkan karena prospek bisnis kelompok pemasaran ikan jauh lebih baik dari pada kelompok nelayan tangkap. Pendapat ini dibenarkan mereka, ketika diadakan wawancara terhadap beberapa kelompok nelayan tangkap yang menunggak. Informasi yang diperoleh dari beberapa kali pertemuan kelompok, bahwa mereka menunggak angsuran pinjaman, karena hasil tangkapan ikan dari laut tidak menentu, kadang-kadang ada dan cukup untuk kebutuhan rumah tangga serta membayar kewajiban kepada koperasi nelayan dan kadang-kadang juga tidak memperoleh hasil tangkapan ikan, kalaupun ada hanya untuk dimakan keluarga, sehingga terpaksa harus menunggak pembayaran angsuran dana PEMP.

Koperasi Nelayan Madani menganggap bahwa sebagian besar kelompok nelayan tangkap belum siap berkoperasi, karena tidak disiplin melakukan pembayaran kembali angsuran kreditnya, mereka tidak menabung sebagian dana dari hasil penjualan ikan pada saat mereka mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak daripada biasanya, dan pada saat mereka mendapatkan hasil tangkapan sedikit, mereka menunggak pembayaran angsuran. Oleh karena itu pemberian pinjaman dana PEMP kepada kelompok nelayan tangkap dilakukan secara selektif sekali, karena mengandung resiko tinggi.

Bagi koperasi nelayan, penyaluran dana kepada kelompok nelayan, lebih menonjol unsur bisnisnya dari pada unsur pelayanannya, karena karyawan koperasi harus hidup dari pendapatan bunga yang dibayar oleh anggota nelayan dan harus membayar bunga dana pinjaman kepada lembaga perbankan serta biaya operasional untuk usaha koperasi.
Sikap koperasi nelayan yang menganak-tirikan kelompok nelayan tangkap, menunjukkan bahwa penyaluran dana PEMP oleh Koperasi Nelayan Madani bukan menekankan pada unsur pelayanan atau bantuan kepada masyarakat pesisir, melainkan pertimbangan bisnis semata. Hal ini dapat dimengerti mengingat dana yang disalurkan oleh koperasi nelayan berasal dari dana kredit Bank Rakyat Indonesia dengan agunan tunai atau dana hibah PEMP 2006 dinikmati oleh BRI Polewali (cash collateral).

Apabila Koperasi Nelayan Madani menunggak pembayaran bunga tiga bulan berturut-turut, maka BRI akan mencairkan agunan tunai yang berasal dari dana hibah PEMP. Dan bila hal itu terjadi, maka tamatlah riwayat Koperasi Nelayan Madani, baik perbankan maupun pemerintah bersama-sama memasukkan Koperasi Nelayan Madani ke dalam daftar hitam yang tidak layak menyalurkan dana bantuan pemerintah (di black list).
Bila ditinjau dari pelaksanaan asas-asas perjanjian pinjam-meminjam antara koperasi nelayan dengan kelompok nelayan, maka tampak hasil penelitian sebagai berikut :

a.Semua kelompok nelayan yang memperoleh pinjaman dana PEMP 2006 dibuatkan perjanjian di bawah tangan yang ditanda tangani antara kedua belah pihak, persyaratan-persyaratan yang menyangkut jangka waktu, jumlah pinjaman, dan syarat pengembalian pokok dan bunga disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini telah diterapkan asas kebebasan berkontrak, asas konsensualitas, asas kebiasaan dalam hal pinjam-meminjam uang. Tingkat suku bunga sudah disosialisasikan terlebih dahulu melalui pertemuan para pihak, yaitu antara koperasi, ketua kelompok nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta konsultan managemen.

b.Jaminan Fiducia (FEO) yang berlaku pada lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan lainnya tidak tampak menyertai surat perjanjian pinjam-meminjam uang antara koperasi nelayan dengan kelompok nelayan, sehingga pemberian bantuan pinjaman kepada kelompok nelayan dilakukan tanpa jaminan kebendaan. Penunggakan kewajiban mengangsur pokok dan bunga oleh kelompok nelayan sudah biasa terjadi pada koperasi nelayan dan kedudukan Koperasi Nelayan Madani dipandang dari segi hukum perjanjian berada pada posisi yang lemah. Bila anggota nelayan yang wanprestasi dituntut melalui jalur hukum secara materiel biaya perkara tidak sebanding dengan jumlah kewajiban anggota nelayan, sehingga terjadi penyimpangan asas ketepatan waktu pengembalian angsuran, dan tidak tampak adanya pembebanan denda dalam arti tidak menerapkan asas ganti kerugian.

c.Ancaman sanksi non-materiel, berupa ancaman kelompok nelayan tidak diberikan lagi bantuan pada tahap berikutnya oleh pemerintah bila wanprestasi memenuhi kewajibannya kepada koperasi, merupakan satu-satunya senjata pamungkas koperasi nelayan untuk menekan kelompok nelayan memenuhi kewajibannya. Penerapan ancaman sanksi hukum bukan alasan yang signifikan bagi anggota kelompok nelayan untuk memenuhi kewajibannya atau pengembalian pinjaman kelompok nelayan kepada koperasi, sebagaimana tampak
jawaban responden dalam tabel berikut :

Daftar Jawaban Responden tentang Alasan mengapa mereka membayar Angsuran Pokok dan Bunga Pinjaman kepada Koperasi Nelayan Madani

No Jenis Jawaban Responden Frekwensi(kelompok)* Persentase (%)

1 Takut tidak dibantu lagi oleh Pemerintah 10 66,67

2 Takut Sanksi Hukum dari yang berwajib 3 20,00

3 Bosan ditagih terus oleh petugas Koperasi 1 6,67

4 Tidak menjawab 1 6,67

T o t a l 15 100,00


Sumber : data dari responden diolah. *15 kelompok mewakili 236 orang anggota atau 42,1 %

Dari segi ketaatan terhadap hukum anggota kelompok nelayan, perjanjian simpan pinjam dana bergulir PEMP 2006 dianggap tidak efektif karena koperasi tidak dapat berbuat apa-apa atas anggota kelompok nelayan yang wanprestasi, kecuali tindakan persuasif. Pemberian sanksi terhadap anggota nelayan yang wanprestasi atas kewajibannya terhadap koperasi, berupa dikeluarkan dari anggota kelompok nelayan dan tidak mempunyai hak lagi untuk menerima bantuan apapun dari pemerintah, baik dari

Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah pada setiap kesempatan berikutnya sangat efektif. Namun dalam hal ini diperlukan suatu dasar hukum, yaitu suatu ketentuan perundang-undangan, berupa Peraturan Daerah yang mengatur tentang pemberian sanksi anggota nelayan yang wanprestasi dalam mengembalikan pinjamannya, baik terhadap koperasi mereka, maupun terhadap pemerintah.

Data laporan keuangan Koperasi Nelayan Madani yang disajikan dalam tabel berikut menunjukkan kondisi pemberian pinjaman dana PEMP 2006 kepada kelompok-kelompok masyarakat pesisir

Daftar Kondisi Pinjaman Dana PEMP Kelompok Nelayan


No Keterangan Tahun 2006 Tahun 2007 Persentase (% +/-)

1 Dana Kredit (PEMP2006) 555 juta 555 juta

2 Jumlah peminjam 363 orang 531 orang +46,3

3 Total Pinjaman 545 juta 508 juta -6,8

4 Tunggakan Angsuran - 45,5 juta -

5 Tunggakan Bunga - 9,9 juta -

6 Tunggakan denda - 4,5 juta -


Sumber: data Neraca Koperasi Nelayan Madani akhir tahun 2007 diolah

Data tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah anggota nelayan peminjam dana PEMP 2006 pada Koperasi Nelayan Madani meningkat tajam, namun posisi pinjaman menurun karena timbulnya tunggakan angsuran dan bunga anggota, sehingga perguliran dana tidak selancar yang diharapkan. Tunggakan angsuran dan bunga mencapai 10,8 %. Jumlah tunggakan ini selama tahun 2007 tampak berfluktuasi. Data tersebut dapat diartikan bahwa pemberian pelayanan program PEMP 2006 cukup baik, karena jumlah anggota yang menerima bantuan bertambah banyak, namun dari segi bisnis kurang baik karena posisi pinjaman menurun dan terjadi tunggakan yang merugikan ditinjau dari segi biaya.

Koperasi Nelayan Madani telah berupaya agar para anggota nelayan tidak menunggak, seperti mendatangi anggota kelompok untuk menagih pembayaran angsuran, menjadwal ulang angsuran beberapa kelompok guna penyelesaian tunggakannya.
Koperasi nelayan telah melakukan pendekatan persuasif terhadap kelompok-kelompok nelayan untuk menyelesaikan tunggakannya, tampak beberapa kelompok yang mengalami kemacetan total dan diserahkan kepada pihak yang berwenang, namun hasilnya nihil.

Koperasi Nelayan Madani tidak mempunyai kekuatan untuk menempuh jalur hukum, mengingat jaminan kebendaan tidak diperjanjikan, biaya perkara tidak sebanding dengan jumlah pinjaman kelompok nelayan yang hanya berkisar Rp 20 juta untuk setiap kelompok. Bila koperasi nelayan menang di Pengadilan Negeri, tetap tidak memberikan manfaat, karena lawan berperkaranya adalah nelayan miskin yang tidak mempunyai apa-apa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah wanprestasi anggota adalah tidak efektif. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh oleh Koperasi Nelayan Madani adalah pendekatan persuasif dengan sedikit ancaman bahwa apabila tidak menyelesaikan kewajibannya, maka kelompok nelayan mereka tidak akan diberikan bantuan apapun dari pemerintah. Sanksi ini lebih ditakuti oleh kelompok nelayan daripada sanksi hukum formal.

Namun demikian pengaturan sanksi non-materiel ini seharusnya dibuatkan Peraturan Daerah, mengingat sampai saat ini banyak sekali dana bantuan yang digulirkan Pemerintah Daerah kepada masyarakat bawah. Jumlah kelompok dan anggota nelayan yang telah mendapat bantuan Program Pemerintah dapat digambarkan dalam tabel :

Daftar Kelompok dan Anggota Nelayan yang telah mendapat bantuan
1 : Rp 1 milyar
No Jenis bantuan Jml Kelp Jml Anggota Persentase(%)

1 PEMP 35 531 3,2

2 P2KBERT 64 1.401 8,4

3 Bantuan Pemda lainnya 22 350 2,1

4 Anggota kelp belum dapat bantuan 180 3.189 19,3

5 Tdk berkelomp belum mendapat bantuan 11.102 67,0

T o t a l 301 16.573 100,0


Sumber: data Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Polman thn 2008 diolah

Menurut perhitungan dari data di atas bahwa jumlah anggota kelompok nelayan yang telah memperoleh bantuan telah mencapai 2.282 orang atau 13,7 %. Sehingga secara keseluruhan, anggota nelayan yang belum tersentuh bantuan pinjaman masih cukup signifikan, yaitu 86,3 %. Khusus bantuan dana PEMP baru mencapai 3,2 %, suatu persentase yang sangat kecil, sehingga usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui bantuan dana PEMP masih harus menempuh perjalanan jauh ke depan. Dengan kata lain bantuan PEMP 2006 dan bantuan pemerintah lainnya masih berada pada tingkat yang sangat rendah.

Dalam tahun 2008 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa penyediaan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui lembaga perbankan, namun menurut perhitungan KUR untuk Koperasi Nelayan Madani belum layak sebagai modal kerja usaha karena bunga cukup tinggi dan bank meminta agunan untuk menutup resiko kredit, walaupun ketentuan KUR tidak menyaratkan.

Apabila dilihat dari sudut pandang teori hukum, sistem pengelolaan penyaluran dana PEMP 2006, Koperasi Nelayan Madani menganut perpaduan paradigma hukum pragmatis dengan paradigma hukum civil law (Lili Rasjidi, 2003 : 66-92) bahwa penerapan norma-norma hukum ke dalam masyarakat dipengaruhi oleh interaksi kemasyarakatan yang merupakan komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat, dipengaruhi oleh anasir-anasir hukum. Koperasi nelayan menjadikan Pedoman Umum sebagai dasar acuan bertindak terhadap anggota yang wanprestasi atas kewajiban mengangsur pengembalian dana bergulir PEMP 2006, tetapi masih menerima alasan dari kelompok nelayan mengenai terhambatnya pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjamannya, Contoh dapat dilihat pada penanganan masalah tunggakan angsuran anggota kelompok nelayan yang tidak dapat diselesaikan atau berlarut-larut, tidak langsung dikenakan sanksi denda, tetapi dipertimbangkan alasan-alasan yang dikemukakan kelompok nelayan mengenai sebab-sebab terjadinya tunggakan angsuran sehingga kelompok nelayan tidak memenuhi kewajibannya, seperti usaha Koperasi Nelayan Madani melakukan penjadwalan ulang hutang kelompok nelayan yang menunggak angsuran atau memberikan injeksi kredit atau tambahan kredit baru agar usaha kelompok nelayan dapat berjalan dengan baik sambil menyelesaikan kewajibannya dengan mengangsur.

Koperasi tidak mempunyai kekuatan untuk memperkarakan kelompok nelayan yang cidera janji, karena walaupun kelompok nelayan kalah dalam perkara perdata, kelompok nelayan tidak akan mempunyai apa-apa untuk disita. Di samping itu, biaya dan waktu menjadi mahal, dibandingkan dengan jumlah dana yang dipinjam oleh kelompok nelayan, sehingga dapat dikatakan dalam hal pinjam-meminjam uang tanpa jaminan, pihak kreditur seakan-akan melepaskan kekuasan atas hartanya, sehingga ia tidak memiliki lagi hukum.

Apabila proses program PEMP dipandang dari sudut teori dialektika Hegel guna dapat menangkap konsep yang lebih dekat kepada kebenaran yang sempurna, yaitu konsep nelayan tangkap (tesis) dihadapkan kepada konsep pemasaran ikan (antitesis ). Hasil persaingan ini melahirkan konsep juragan ikan (sintesis). Proses ini dinamakan gerak yang berdasarkan hukum dialektika. Oleh karena gagasan konsep ini semuanya bergerak dan berubah, maka lambat laun juragan ikan (sintesis) atau punggawa ikan, berubah menjadi tesis berhadapan LKM-LEPPM3 yang dibentuk oleh pemerintah melalui pemberian dana hibah, tetapi belum berbadan hukum sebagai antitesis. Oleh karena kebijakan ini baru permulaan dan masih dalam tahap embrio, maka kemenangan persaingan masih berada ditangan punggawa ikan sebagai sintesis. Punggawa ikan kembali berubah menjadi tesis yang baru, berhdapan dengan kebijakan PEMP yang baru pula berupa peningkatan status hukum kelembagaan LKM-LEPPM3 menjadi lembaga perkoperasian yang berbadan hokum, disertai dengan pemberian DPM (Dana Penguatan Modal) dalam bentuk hibah. Dana hibah ini sebagian dijadikan agunan kredit pada lembaga perbankan dan sebagiannya lagi diberikan dalam bentuk tunai langsung kepada koperasi untuk kegiatan Kedai Pesisir.

Lembaga Keuangan Mikro-Unit Simpan Pinjam Nelayan (LKM-USPN) milik koperasi nelayan memperluas bidang usahanya dengan mendirikan SPDN/SPBN serta Kedai Pesisir. Kebijakan baru ini merupakan pesaing (anti tesis) yang akan berhadapan dengan penggawa ikan (tesis) dalam proses teori dialektika. Hasil persingan ini akan dimenangkan oleh Koperasi nelayan karena diperkuat oleh kebijakan P2KBERT, yaitu kebijakan pemberian bantuan dana bergulir tanpa bunga untuk nelayan tangkap yang miskin.

Prsoses dialektika Hegel untuk masyarakat pesisir baru sampai pada tingkat pengoperasian koperasi simpan pinjam yang membawa sayap SPDN, Kedai Pesisir dan dibantu oleh kebijakan P2KBERT yang diharapan akan mengalami perubahan menjadi Bank Perkreditan Rakyat Pesisir yang didukung oleh SPDN dan Kedai Pesisir, sebagaimana gagasan teori dialektika Hegel bahwa semua akan berubah. Menurut pengamatan dan analisa kekuatan kemenangan saat ini berada ditangan Koperasi Nelayan, tetapi belum sampai melahirkan Bank Perkreditan Rakyat Nelayan, sebagaimana yang diinginkan pemerintah dalam konsep dasar. Pada tahap ini pelaksanaan kebijakan PEMP 2006 belum mencapai kebenaran mutlak atau ide mutlak menurut teori dialektika Hegel, karena Koperasi nelayan belum dapat menggantikan peran punggawa secara penuh. Penyediaan solar untuk kapal-kapal bermotor akan lebih memperkuat posisi juragan ikan di dalam masyarakat pesisir, sehingga harus diantisipasi agar tidak kembali melakukan praktek rentenir.

Kekuatan koperasi nelayan masih harus ditingkatkan untuk menuju kepada konsep dasar. Walaupun keberadaan punggawa ikan tetap dipertahankan, namun sistem perekonomi dan keuangan setempat harus dikendalikan oleh Lembaga Keuangan Mikro atau Bank Perkreditan Rakyat Pesisir (BPR Pesisir). Pemerintah tidak menginginkan punggawa ikan mendominasi perekonomian di lingkungan masyarakat pesisir, karena dapat memicu terjadinya konflik antara punggawa ikan dengan kelompok nelayan tangkap bersama kelompok pemasaran ikan berskala kecil, sebagai akibat terjadinya kesenjangan (gap) sosial, pada gilirannya akan menyebabkan kecemburuan sosial antara kelompok nelayan kecil dengan punggawa ikan sebagai kelompok minoritas yang menguasai sektor perekonomian di dalam masyarakat pesisir.

Tujuan bantuan dan perubahan sistem pengelolaan tersebut, adalah untuk mencari solusi yang paling tepat guna memenangkan kelompok nelayan kecil, kelompok kecil pemasaran ikan, pengolahan ikan dan pembudidaya ikan yang berskala kecil sebagai suatu kelompok masyarakat pesisir yang kuat, khususnya di bidang perekonomian rakyat pesisir. Program PEMP terus mengalami proses dialektika sampai diketemukan suatu solusi yang tepat (sintesis) oleh pemerintah untuk memberdayakan masyarakat pesisir secara sempurna, dengan kata lain proses dialektika berlangsung terus dalam pikiran manusia untuk sampai pada suatu ketika menemukan suatu kebijakan yang tepat, yaitu saat tercapainya sentisis yang paling tinggi dan paling sempurna unsur kebenarannya, yaitu saat pikiran manusia telah berhasil menangkap kebenaran seluruhnya, oleh George Hegel dinamakan ide mutlak.

3. PENGAWASAN

Buku Pedoman Umum Bab 2, butir F halaman 10, menetapkan bahwa fungsi pengawasan terhadap sirkulasi dana dari bank pelaksana ke koperasi dan sebaliknya, serta dana yang dijaminkan, dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat, dengan tidak melanggar aturan-aturan perbankan yang ada.

Pengawasan langsung atas penerimaan dan penyaluran dana PEMP 2006 di Kabupaten Polewali Mandar melalui pola kredit di lakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan karena dana hibah PEMP 2006 berasal dari APBN. Pelaksanaan audit dilakukan pada bulan April tahun 2007 dengan memeriksa lembaga perbankan dalam hal ini BRI Polewali, Koperasi Nelayan Madani dan seluruh kelompok nelayan (penerima dana bantuan). Pelaksanaan audit juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap Koperasi Nelayan Madani dengan membentuk tim dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Koperasi Nelayan Madani juga telah dikunjungi oleh beberapa Pejabat dari Irjen Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, pelaksanaan tugas auditing juga dilakukan oleh Badan Pengawas Koperasi Nelayan Madani sekali setahun.

Setiap tahun sekitar bulan Maret Koperasi Nelayan Madani mengadakan Rapat Anggota Tahunan ( RAT ) yang dihadiri oleh Pejabat dari Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Sistem pengawasan penerimaan dan penyaluran dana PEMP cukup kuat dan berlapis-lapis, namun temuan sistem pengawasan tersebut tidak dtindak-lanjuti, seperti usaha mengatasi pembengkakan tunggakan angsuran dan tunggakan bunga kelompok nelayan.

4. LAPORAN KOPERASI

Laporan bulanan mengenai pemberian pinjaman baru, pembayaran angsuran dan bunga, sisa pinjaman kelompok nelayan dilakukan oleh Koperasi Nelayan Madani kepada Dinas Kelautan dan Perikanan. Laporan koperasi tersebut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan diteruskan kepada Bupati Polewali Mandari, Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) sebagai bahan pengawasan tidak langsung. Di dalam laporan tersebut tergambar kelompok-kelompok nelayan yang tidak menyelesaikan kewajibannya atau menunggak kewajiban pembayaran angsuran pokok dan bunga, namun yang sangat disayangkan instansi-instansi tersebut tidak menindak-lanjuti dari laporan-laporan tersebut.